Penyebab Umat Gagal Paham

MUSTANIR.net – Saat ini umat seolah linglung dengan mana yang boleh diemban, diambil, dan dipakai, dengan mana yang tidak boleh. Pemahaman inilah yang perlu diluruskan agar umat tidak lagi salah kaprah dalam menyikapi hal ini.

Umat Islam mengalami kemunduran akut sejak mereka meninggalkan ijtihad. Padahal ijtihad sangat penting dilakukan demi menghadapi persoalan-persoalan baru yang barangkali belum pernah ada di masa sebelumnya, atau di masa Rasulullah masih hidup. Akibat ijtihad ini berhenti, yang terjadi adalah taklid buta dan gagap peradaban.

Hal ini sudah terlihat pada masa-masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Serbuan pemikiran Barat tidak mampu disaring. Umat Islam bingung dengan banyaknya pemikiran asing yang masuk ke dalam tubuh umat Islam ini.

Sebenarnya mana yang boleh diambil dan mana yang tidak? Apakah harus ditolak semuanya? Atau justru diambil semuanya?

Dan akhirnya yang terjadi adalah diambil semuanya. Entah produk teknologinya atau produk peradabannya. Alhasil, umat Islam saat ini dikuasai oleh hegemoni Barat nyaris di setiap sudut kehidupan. Sistem demokrasi dipaksakan di negeri-negeri Islam. Kapitalisme sukses memiskinkan kaum muslimin. Liberalisme mengacaukan akidah umat dan menghancurkan generasi muda umat Islam.

Meski demikian, seruan-seruan untuk kembali kepada Islam terus didengungkan. Tetapi umat pun bingung. Jika ingin kembali pada Islam, maka apa yang harus dilakukan dengan pengaruh Barat yang sudah masuk ke tengah-tengah kaum muslim?

Dari sini kemudian muncul dua kubu:

• Kubu pertama adalah kubu yang menyeru untuk mengambil semua apa yang berasal dari Barat, baik teknologinya maupun peradabannya.

Akibatnya, mereka menjadi kelompok liberal yang mengagungkan kebebasan dan memuji-muji peradaban Barat. Kubu inilah yang mengatakan bahwa para pejuang Islam tidak konsisten, menghina demokrasi, tetapi memanfaatkan ‘produk demokrasi’. Merekalah tipe yang menghalangi kebangkitan Islam dan sudah benar-benar dirasuki pemikiran Barat.

• Kubu berikutnya adalah kubu yang menolak semua yang berasal dari Barat.

Menurut mereka, produk teknologi, peradaban, ideologi, semuanya haram. Dampak negatif dari hal ini adalah mereka terus berada dalam ‘keterbelakangan’ di tengah kemajuan Iptek dan bahkan bisa membawa mereka pada kebodohan yang tak berujung. Kubu ini pun terkadang mencela pejuang penegak khilafah karena tidak meninggalkan produk thagut.

Jika kita telisik lebih dalam. Sebenarnya kerancuan yang mengacaukan pemahaman umat ini adalah ketidakpahaman atau yang sekarang lebih sering disebut sebagai gagal paham terhadap hadharah dan madaniyah. Gempuran paham dan penerapan sistem kapitalisme-sekulerisme adalah penyebab utama umat kebingungan dengan mana yang boleh diambil dan mana yang harus ditinggalkan.

Akhirnya mereka malah dengan rela digiring oleh Barat mengambil paham-paham yang bukan berasal dari Islam dan malah menolak hal-hal yang justru mubah hukumnya dalam Islam. Ini adalah bentuk keberhasilan orang-orang kafir dalam merusak akidah umat.

Untuk meluruskan pemahaman ini, kita harus terlebih dahulu memahami definisi dari hadharah dan madaniyah. Dalam kitab Nidzamul Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani disebutkan bahwa:

“Hadharah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunya fakta) tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia.

Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadharah, seperti patung termasuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi industri termasuk madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini bukan milik umat tertentu, akan tetapi bersifat universal seperti halnya sains dan teknologi.”

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa hadharah adalah peradaban, sedangkan madaniyah adalah produk/materi peradaban. Hadharah yang harus kita ambil hanyalah hadharah Islam saja. Haram hukumnya mengambil hadharah yang bukan berasal dari Islam, karena tentu bertentangan dengan asas dan pandangan-pandangan Islam tentang kehidupan dan standar kebahagiaan dalam Islam.

Oleh karena itu, kita tidak boleh mengambil ideologi sekularisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme, apalagi menerapkan dan menyebarkannya. Haram juga mengambil sistem demokrasi, teokrasi, HAM, karena semua itu produk hadharah asing yang bertentangan dengan hadharah Islam. Termasuk haram menerapkan sistem ekonomi ribawi, liberalisme, pluralisme, dan sebagainya, karena itu merupakan peradaban Barat.

Hadharah Barat dibangun berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan, dan pengingkaran terhadap peran agama dalam kehidupan. Hal ini berakibat munculnya paham sekuler, yaitu pemisahan agama dari urusan negara—suatu hal yang wajar bagi mereka yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengingkari keberadaan agama dalam kehidupan. Di atas landasan inilah mereka tegakkan sendi-sendi kehidupan beserta peraturan-peraturannya.

Kehidupan menurut mereka hanya untuk meraih manfaat/maslahat. Manfaat menjadi ukuran bagi setiap perbuatan mereka. Manfaat merupakan dasar tegaknya sistem dan hadharah Barat. Dari sinilah manfaat menjadi paham yang menonjol dalam sistem dan hadharah ini. Menurut mereka, kehidupan ini semata-mata hanya digambarkan dalam kerangka manfaat.

Sedangkan kebahagiaan mereka artikan sebagai usaha untuk mendapatkan sebanyak mungkin kenikmatan jasmani, serta tersedianya seluruh sarana kenikmatan tersebut. Dengan demikian hadharah Barat adalah hadharah yang dibangun berdasarkan maslahat saja. Tidak ada nilai lain selain manfaat. Mereka tidak mengakui apa pun selain manfaat. Mereka jadikan manfaat sebagai ukuran bagi setiap perbuatan.

Ada pun hadharah Islam berdiri di atas landasan yang bertentangan dengan hadharah Barat. Pandangannya tentang kehidupan dunia juga berbeda dengan yang dimiliki oleh hadharah Barat. Demikian pula arti kebahagiaan hidup menurut Islam sangat berlawanan dengan arti kebahagiaan hidup menurut hadharah Barat. Hadharah Islam berdiri atas asas dasar iman kepada Allah subḥānahu wa taʿālā, dan bahwasanya Dia telah menjadikan untuk alam semesta, manusia dan kehidupan ini suatu aturan yang masing-masing harus mematuhinya.

Diutusnya untuk kita Nabi Muhammad ﷺ dengan membawa agama Islam. Jadi, hadharah Islam berdiri di atas aqidah Islam yaitu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab suci-Nya, hari kiamat serta kepada qadha dan qadar baik/buruknya dari Allah ﷺ. Aqidahlah yang menjadi dasar bagi hadharah ini. Dengan demikian hadharah ini berlandaskan pada asas yang memperhatikan ruh (yaitu hubungan manusia dengan Pencipta).

Konsep kehidupan menurut hadharah Islam, dapat dilihat dalam konsep dasar Islam yang lahir dari aqidah Islam serta yang menjadi dasar bagi kehidupan dan perbuatan manusia di dunia. Konsep dasar itu adalah penggabungan materi dengan ruh, yaitu menjadikan semua perbuatan manusia berjalan sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya.

Ada pun kebahagiaan menurut Islam adalah mendapatkan ridha Allah subḥānahu wa taʿālā. Bukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia. Sebab, pemuasan kebutuhan manusia, baik yang bersifat jasmani maupun naluri merupakan sarana mutlak untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, tetapi tidak menjamin adanya kebahagiaan.

Ada pun mengenai madaniyah, seperti yang telah dipaparkan oleh Syekh Taqiyuddin di atas, maka madaniyah yang berasal dari hadharah Islam, tentu boleh digunakan. Begitu pun madaniyah yang sifatnya umum dan universal, bukan berasal dari hadharah Barat, maka itu pun hukumnya mubah. Contohnya adalah produk teknologi, transportasi, Facebook, dan lain-lain.

Namun madaniyah yang berasal dari hadharah Barat, inilah yang haram kita gunakan. Seperti topi kerucut tahun baru dan ulang tahun, salib, pohon Natal, bahkan UU yang dihasilkan dari sistem demokrasi misalnya UU Migas, UU Penanaman Modal, dan lain-lain. Dengan demikian maka jelaslah sekat mana yang boleh diambil, dan mana yang harus ditinggalkan.

Ada beberapa kisah dari Rasulullah berkaitan dengan hadharah dan madaniyah ini. Suatu ketika Rasulullah didatangi oleh seorang yang bernama Adi bin Hatim yang mengutarakan keinginannya masuk Islam dan meninggalkan agama Nasrani.  Berbahagialah Rasulullah. Kemudian dengan disaksikan beberapa orang sahabat, Adi bin Hatim mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Rasulullah.

Rasulullah melihat kalung salib yang masih menggantung di leher Adi bin Hatim. Lalu didekatilah ia, dilepaskanlah pelan kalung salib tadi dari leher Adi bin Hatim, seraya melantunkan surat at-Taubah ayat 31 yang terjemahannya:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan…” (TQS at-Taubah 31)

Tiba-tiba Adi bin Hatim mengelak dan berkata bahwa ia tidak pernah menyembah rahib-rahib atau pendeta-pendetanya. Kemudian dengan tenang Rasulullah bertanya pada Adi bin Hatim, “Apakah rahibmu menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan kamu menghalalkannya? Dan apakah rahibmu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan kamu menghalalkannya?” Lalu dengan penuh kesadaran, Adi bin Hatim mengakui kesalahannya dan bertaubat kepada Allah, juga segera mencampakkan kalung salib tadi.

Berkaitan dengan madaniyah, Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh. Rasulullah ﷺ juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam perang Khaibar ketika menggempur benteng an-Nizar milik Yahudi bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.

Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam Perang Khandaq. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah yang berasal dari Persia mengusulkan agar di sekeliling kota Madinah digali parit sebagaimana ia dulu pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi.

Kemudian, Umar bin Khatab juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Persia untuk mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain Islam halal untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup tertentu.

Jika kita telaah, persoalan kebingungan umat seperti ini tidak pernah terjadi saat Islam diterapkan dan sedang dalam kondisi berjaya. Ketika Islam masih diamalkan secara serius dalam setiap sendi kehidupan, ketika kaum muslimin berlomba-lomba membuat karya pemikiran Islam yang cemerlang dan mampu mencerahkan peradaban manusia.

Mereka tahu mana yang boleh diambil, dan mana yang tidak, mana yang merupakan hadharah asing dan produknya, dan mana yang yang hanya madaniyah. Kebingungan ini baru muncul setelah umat mengalami kejumudan berpikir. Oleh karena itu, kita harus mengembalikan cara berpikir umat kepada pemikiran Islam, agar mereka tidak terus menerus terjebak dalam kebodohan dan kebingungan.

Selain itu, semakin terasa pula bahwa ketiadaan daulah Islam membuat umat seperti anak yang kehilangan induknya. Tidak ada yang menjaga aqidah dan memberikan perlindungan ketika umat sedang kehilangan arah. Bahkan mereka malah ikut terombang-ambing dalam kesesatan yang diciptakan oleh penguasa ideologi yang sedang berkuasa saat ini.

Maka, mengembalikan kekuasaan di tangan umat pun menjadi salah satu PR besar kita untuk mengembalikan kecemerlangan umat dan cahaya Islam. Dengan dakwah, hanya dengan dakwah di tengah-tengah umatlah semua akan terwujud. Perjuangan tanpa henti mengembalikan taraf berpikir umat. Semoga akan menjadi jalan Islam kembali bisa diterapkan dalam kehidupan kita dan membawa pada keridhoan Allah Sang Pencipta alam semesta.

Wallahu’alam bi ash-shawab. []

Sumber: Rianny Puspitasari, S.Pd, M.Pd (Dosen STBA Sebelas April Sumedang)

About Author

Categories