Menakar ‘Gubernur Konten” dalam Timbangan Syariah

MUSTANIR.netKepemimpinan Viral atau Kepemimpinan Amanah?

Belakangan ini, sepak terjang Dedi Mulyadi kembali mencuat seiring terpilihnya ia sebagai Gubernur Jawa Barat. Namun bukan hanya soal kemenangannya di bilik suara yang ramai diperbincangkan.

Sosok yang dijuluki sebagai “Gubernur Konten” ini dikenal publik bukan hanya karena kebijakannya, melainkan juga karena keaktifannya membagikan keseharian dan interaksi sosialnya lewat kanal media sosial. Masyarakat menyambut gaya ini dengan antusias, kontennya menampilkan narasi “merakyat” penuh empati dan dekat dengan wong cilik.

Namun, apakah model kepemimpinan seperti ini layak dianggap sebagai bentuk kepemimpinan ideal khususnya dalam perspektif Islam?

Tulisan ini mencoba menimbang dua model kepemimpinan: kepemimpinan viral à la demokrasi dan kepemimpinan amanah dalam sistem Islam. Dua kutub ini layak dibandingkan secara vis à vis, sebab keduanya merepresentasikan sistem dan nilai yang sangat berbeda.

Populisme Demokrasi, Pemimpin yang Viral

Dalam sistem demokrasi, terutama yang berbasis pemilu langsung, pemimpin tak jarang dibentuk oleh pencitraan. Sosok yang rajin hadir di layar, aktif di media sosial, sering menyuarakan hal-hal yang viral, lebih berpeluang merebut simpati publik. Popularitas menjadi instrumen utama.

Kang Dedi Mulyadi adalah contoh konkret. Ia bukan hanya pejabat, tapi juga “influencer”. Kanal YouTube dan media sosialnya dipenuhi kisah orang miskin yang dibantu, warga yang ditegur atau dinasihati, serta aksi-aksi simpatik yang menyentuh hati penonton. Banyak yang menganggap ini sebagai bentuk keteladanan dan keberpihakan.

Namun, benarkah demikian?

Masalahnya, pencitraan tidak selalu berbanding lurus dengan kejelasan visi, ketegasan hukum, dan integritas sistemis. Dalam politik demokrasi, yang penting adalah bagaimana terlihat baik, bukan apakah sistem yang diterapkan sesuai syariat atau tidak. Akibatnya, pemimpin bisa saja mencuri perhatian publik namun tetap menerapkan sistem kapitalis sekuler yang zalim.

Lebih jauh, gaya ini menciptakan relasi “personal” antara pemimpin dan rakyat bukan relasi institusional yang berbasis hukum syariah. Pemimpin menjadi tokoh sentral yang dikultuskan karena sikap empatinya, bukan karena integritas sistem yang ia jalankan. Ini adalah jebakan populisme yang rentan melahirkan loyalitas semu dan pengabaian terhadap pelanggaran hukum syar’i.

Amanah Syariah, Pemimpin dalam Sistem Khilafah

Berbeda dengan pemimpin yang lahir dari pencitraan demokrasi, Islam menetapkan standar kepemimpinan secara ideologis dan sistemis. Dalam sistem khilafah, pemimpin tidak dipilih karena popularitas, melainkan karena ketakwaannya, ilmunya, dan kemampuannya menerapkan hukum Allah. Khalifah adalah pelaksana hukum syariah, bukan ikon personal yang harus tampil simpatik di depan kamera.

Syakh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan umat berdasarkan hukum Allah, bukan kehendak mayoritas. Maka yang menjadi ukurannya adalah seberapa konsisten ia menerapkan syariat, bukan seberapa banyak ia menginspirasi atau ditonton jutaan orang.

Kepemimpinan dalam Islam juga dibangun atas prinsip hisbah (pengawasan), syura (musyawarah), dan qadha mazhalim (pengadilan untuk pejabat). Artinya, sistem Islam membatasi kekuasaan pemimpin agar tidak sewenang-wenang atau menjadi figur tunggal yang tak tersentuh kritik.

Lebih penting lagi, sistem Islam tidak membutuhkan viralitas untuk legitimasi. Legitimasi berasal dari baiat atas dasar syariah, bukan suara terbanyak atau popularitas semata. Ini menegaskan bahwa dalam Islam, amanah lebih utama daripada pencitraan.

Antara Pencitraan dan Ketundukan pada Syariah

Model kepemimpinan à la Dedi Mulyadi memang mengundang simpati. Namun, jika dicermati lebih dalam, ini hanyalah hasil dari panggung demokrasi yang menempatkan popularitas di atas prinsip. Gaya kepemimpinan viral mungkin berhasil menenangkan emosi rakyat untuk sementara, tetapi gagal memberikan solusi sistemis yang permanen. Bahkan, ia bisa menjadi pelarian dari substansi ke permukaan.

Islam memandang kepemimpinan bukan sekadar soal siapa yang dekat dengan rakyat, tetapi siapa yang tunduk pada hukum Allah. Kepemimpinan bukan panggung drama, tetapi amanah agung yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Karena itu, umat Islam harus mewaspadai jebakan pencitraan dan kembali pada sistem kepemimpinan yang berbasis syariah, yakni khilafah ala minhaj an-nubuwwah.

Saatya mendukung lahirnya pemimpin sejati, bukan dari tayangan yang mengharukan, tetapi dari sistem yang menerapkan syariah secara kaffah. []

Sumber: La Ode Mahmud

About Author

Categories