Haji Itu di Arafāh, Bukan di Nusantara

MUSTANIR.net – Aneh, sudah ada hadits haji itu di Arafāh, rukyat yang dipake rukyat Amir Mekkah, eh ini maksain rukyat sendiri. Akhirnya harinya beda. Saat jama’ah haji wukuf, belum puasa Arafāh. Saat jama’ah haji berkorban (Īdul Aḍḥā) malah puasa Arafāh. Ini puasa Arafāh atau puasa Nusantara?

Kalau mau merujuk dalil ya ambil dalil yang kuat, jangan pake ego akhirnya beribadah menyelisihi sunnah. Kalo jama’ah haji telah Īdul Aḍḥā, hari nahar, terus ada yang maksain puasa, apa ini bukan puasa yang diharamkan? Puasa di hari nahar? Puasa saat Īdul Aḍḥā?

Janganlah ikatan kebangsaan dijadikan dasar untuk membuat ujaran berbeda. Sekali lagi, haji itu ya di Arafāh bukan di Nusantara. Saat jama’ah haji wukuf di Arafāh, kaum muslimin yang lain puasa Arafāh. Saat jama’ah haji menyembelih korban, berhari raya, ya seluruh kaum muslimin juga berkorban. Jangan bikin aturan sendiri dan sekehendak hati, bisa kualat.

Itu akibat kita disekat-sekat dengan negara bangsa, semua merasa punya otoritas, semua mengeluarkan fatwa, tidak ada lagi kesatuan pendapat bagi kaum muslimin. Padahal, yang namanya imam itu harusnya satu, pemimpin itu satu, ditaati seluruh kaum muslimin.

Nah, penguasa-penguasa kecil itu membuat sekat-sekat, membuat fatwa sendiri yang menyelisihi kesatuan pendapat kaum muslimin. Ini akan membuat umat terpecah dan tidak khusuk beribadah.

Coba Anda bayangkan, sudah ada kumandang takbir, kumandang Īdul Aḍḥā, eh Anda yang masih bersibuk dan berlapar ria puasa Arafāh. Padahal, jama’ah haji sudah tidak lagi wukuf di Arafāh. Apa Anda mau puasa wukuf di Nusantara?

Saya khawatir, niat tulus ikhlas puasa Arafāh untuk mendekatkan diri kepada Allah justru berbuntut maksiat, karena kaifiyahnya menyelisihi sunnah. Kalau menyelisihi sunnah, masak masih mau terus ditaati?

Kalau nanti yang diikuti masuk jurang, masih mau konsisten ikut jurang? Makanya, yang diikuti itu petuahnya yang sesuai sunnah, bukan orangnya, bukan ketokohannya, bukan kiainya, bukan jabatannya.

Sekarang saya persilakan Anda memilih, mau ikut wukuf Arafāh atau wukuf Nusantara? Mau haji mengikuti ketentuan Amir Mekkah atau Amir Nusantara? Mau puasa Arafāh atau puasa Nusantara? Mau Īdul Aḍḥā atau Īdul Nusantara?

Wahai orang yang beriman, orang yang berakal, kelak Allah subḥānahu wataʿālā akan meminta pertanggungjawaban atas kesadaran akal yang diberikan. Karena itu, jadikanlah agama sebagai pedoman dan akal sebagai sarana untuk memahami. Jangan menjadi pentaklid buta.

Kelak di akhirat ketika yaumul hisab, tidak ada alasan. Tidak ada pembenaran beragama mengikuti nenek moyang, tidak ada pembenaran beragama mengikuti kesepakatan wukuf Nusantara. Perhatikanlah peringatan ini.

Mumpung belum terlambat, segera bertaubatlah. Puasalah ketika jama’ah haji wukuf di Arafāh. Berharirayalah, ketika jama’ah haji ber-Īdul Aḍḥā. Tak usah pedulikan ujaran yang menyelisihi sunnah, kelak di akhirat argumen yang menyelisihi sunnah itu tidak bernilai di hadapan Allah subḥānahu wa taʿālā. []

Oleh: Nasrudin Joha

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories