Hukum Bertaqlid : Haram, Boleh atau Wajib?
Hukum Bertaqlid : Haram, Boleh atau Wajib?
Mohon maaf sebelumnya, saya punya pertanyaan seputar masalah taqlid.
1. Saya masih agak bingung dengan istilah taqlid, sebenarnya apa yang dimaksud dengan taqlid itu, ya ustadz?
2. Lalu apa hukum bertaqlid ini, apakah haram hukumnya ataukah boleh? Atau mungkin malah wajib?Demikian pertanyaan saya, semoga ustadz berkenan untuk menjelaskan jawabannya. Dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hukum bertaqlid, yang harus disepakati dulu adalah apakah bertaqlid itu. Jangan sampai kita sudah panjang lebar membahasnya, ternyata objek pembahasan yang kita bicarakan berbeda.
A. Pengertian Taqlid
1. Bahasa
Kata taqlid (تقليد) dalam bahasa Arab berasal terbentuk dari dari tiga huruf asalnya, yaituqa-la-da (قلد).
Dari segi bahasa, taqlid ini punya banyak makna. Di antaranya bermakna mengalungkan sesuatu ke leher, sebagaimana disebutkan dalam kitab Raudhatun Nadhir. [1]
جَعَل الشَّيْءَ فِي عُنُقِ غَيْرِهِ مَعَ الإْحَاطَةِ بِهِ
Menjadikan sesuatu pada leher orang lain sehingga melingkari leher itu.
Sedangkan kata qiladah (قلادة) artinya adalah kalung atau ikatan yang mengikat leher (ما جعل في العنق). Dan ungkapan taqlildul-budni sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul Arab bermakna :[2]
أَنْ يُجْعَلُ فيِ عُنُقِهَا شِعَارًا يُعْلَمُ بِهِ أَنَّهُ هَدْيٌ
Mengikatkan suatu tanda pada leher ternak agar diketahui bahwa ternak itu untuk dijadikan sembelihan.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, para ulama menyebutkan bahwa definisi taqlid adalah :[3]
الأْخْذُ فِيهِ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عَدَمِ مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
Mengambil pendapat dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Dengan definisi ini, maka yang dimaksud dengan taqlid adalah ketika seseorang menjalankan perintah agama atau menerima fatwa dari seorang yang ahli di dalam ilmu syariah, dia menjalankannya tanpa mengetahui langsung dalilnya.
Namun karena yang memberitahu adalah orang yang memang ahli di bidangnya, tentu saja dia tahu pasti ada dalilnya, walaupun tidak tahu persis seperti apa dalilnya.
Selain definisi di atas, sebagian ulama membuatkan definisi taqlid dengan redaksi yang lain menjadi :
الْعَمَل بِقَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
Mengerjakan pendapat orang lain tanpa hujjah.
Yang dimaksud hujjah disini maksudnya sumber asli syariah yang telah disepakati seperti Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma.
Maka merujuk kepada perkataan Nabi SAW yang sharih dan shahih, tidak dikatakan taqlid. Begitu juga bila merujuk kepada apa yang telah menjadi ijma’ para ulama, juga tidak dinamakan taqlid.
Karena merujuk kepada sumber-sumber utama berarti merujuk kepada sesuatu yang statusnya adalah hujjah. Dan hal ini tidak dinamakan sebagai taqlid.[4]
Maka pengertian taqlid dari definisi ini adalah menjalankan suatu ibadah dari orang lain, tanpa merujuk sendiri ke sumber hujjahnya.
B. Hukum Bertaqlid : Khilafiyah di Antara Para Fuqaha
Pendapat umat Islam terhadap taqlid ini memang beragam. Sebagian kalangan dari umat Islam ada yang berpendapat bahwa taqlid itu hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan. Dan ada juga kelompok lain yang tidak mengharamkan taqlid dan membolehkannya.
1. Pendapat Yang Mengharamkan Taqlid
Di antara mereka yang sering disebut-sebut mengharamkan taqlid antara lain Ibnu Abdil Barr, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dan lainnya.
Ada beberapa dalil yang sejalan dengan pendapat mereka, di antaranya :
a. Allah Mencela Taqlid
Menurut mereka, Allah SWT telah mencela perbuatan taqlid di dalam Al-Quran, sebagaimana tertuang dalam ayat berikut ini :
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ
Dan mereka berkata;:”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan. (QS. Al-Ahzab : 69)
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At-Taubah : 31)
b. Para Imam Melarang Orang Bertaqlid Kepada Mereka
Di antara hujjah yang sering dipakai untuk melarang taqlid adalah klaim atas perkataan para imam dan mujtahid yang konon dikatakan telah melarang orang-orang bertaqlid kepada mazhab dan pendapat mereka.
Misalnya sering disebut-sebut bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf pernah berkata :
لاَ يَحِل لأِحَدٍ أَنْ يَقُول بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمَ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ
Tidak halal bagi seseorang untuk berpendapat dengan pendapat kami, hingga dia tahu dari mana kami berpendapat.
Al-Muzani di awal kitab Mukhtasharnya yang terkenal itu mengatakan :
اخْتَصَرْتُ هَذَا مِنْ عِلْمِ الشَّافِعِيِّ وَمِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ مَعَ إِعْلاَمِهِ نَهْيَهُ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ
Aku meringkas kitab ini dari ilmu Asy-Syafi’i. Dan diantara makna perkataanya adalah larangan beliau untuk bertaqlid kepada dirinya atau taqlid kepada orang lain.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata :
لاَ تُقَلِّدْنِي وَلاَ تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلاَ الثَّوْرِيَّ وَلاَ الأْوْزَاعِيَّ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا
Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, dan jangan bertaqlid kepada Imam Malik, Ats-Tsauri atau Al-Auza’i. Tetapi ambil dari mana mereka mengambilnya.
2. Pendapat Yang Membolehkan Taqlid
Pendapat kedua mengatakan bahwa taqlid itu boleh dan tidak haram untuk dilakukan. Sebab ada banyak dalil yang membolehkannya, serta dilakukan juga oleh para shahabat, tabi’in dan para ulama. Bahkan orang awam yang tidak bisa berijtihad, mau tidak mau harus bertaqlid.
a. Perintah Allah Dalam Al-Quran
Perintah untuk bertaqlid disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim, khususnya perintah untuk bertanya kepada orang yang punya ilmu.
فَاسْأَلُوا أَهْل الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl : 43)
b. Taqlid Sesuatu Yang Mustahil Dihindari
Dalam prakteknya, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, mengaku atau tidak mengaku, sebenarnya setiap kita pasti tidak akan pernah terlepas dari praktek bertaqlid.
Karena tidak setiap muslim mampu melakukan istimbath hukum sendiri. Dan tidak setiap muslim mengenal secara langsung dalil-dalil agama.
Padahal sebagai muslim, tidak mungkin meninggalkan beberapa ibadah mendasar, seperti bersuci, berwudhu’, mandi janabah, bertayammum, shalat, puasa, berihram, tawaf, sa’i dan berbagai jenis ibadah lainnya.
Apalagi semua itu sudah terhitung wajib dilakukan ketika seseorang memasuki usia baligh. Dan usia baligh itu adalah usia yang terlalu dini untuk bisa menguasai semua dalil-dalil syar’i atas semua praktek ibadah yang dilakukan.
c. Para Shahabat dan Tabi’in Bertaqlid Juga
Kenyataannya tidak semua shahabat ridwanullahi alaihim punya kemampuan dalam melakukan ijtihad. Bahkan secara statistik bisa dijelaskan bahwa dari sekitar 124 ribu shahabat, yang punya kapasitas sebagai mujtahid terbatas sekali jumlahnya.
Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in menyebutkan jumlah mereka kurang lebih hanya 30-an orang saja. Itupun masih terbagi lagi menjadi tiga tingkatan.
Lalu selebihnya bukan ahli ijtihad, walaupun kedudukan mereka sangat mulia, bahkan mendapatkan gelar radhiyallahuanhum. Namun urusan diridhai Allah tidak otomatis membuat mereka jadi ahli ijtihad.
Walaupun para ulama hadits sepakat bahwa derajat para shahabat nabi itu adil, dalam arti mereka dianggap tidak mungkin berdusta tentang Rasulullah SAW, namun ‘adalatush-shahabah ini tidak ada kaitannya dengan kapasitas sebagai mujtahid.
Sebab keahlian dalam berijtihad bukan sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja. Syarat untuk bisa disebut ahli ijtihad sangat berbeda dengan syarat status menjadi shahabat nabi yang terlalu amat sederhana. Syarat menjadi shahabat sebatas seorang muslim yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW dalam keadaan nyata bukan mimpi, dan ketika wafat berstatus muslim.
Sedangkan untuk menjadi ahli ijtihad, tidak semua shahabat Nabi SAW punya kapasitas dan memenuhi syarat-syaratnya.
3. Pendapat Yang Pertengahan
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang berbeda dengan pendapat pertama dan kedua. Pendapat ini memilah hukum taqlid menjadi tiga macam. Dalam pandangan pendapat yang ketiga ini, taqlid itu tidak selamanya haram, tetapi ada juga taqlid yang halal atau bahkan wajib.
Semuanya kembali ke banyak faktor, baik pelakunya, bentuknya, maupun juga pihak yang ditaqlidi.
a. Taqlid Yang Haram
Taqlid akan menjadi haram hukumnya, apabila terjadi hal-hal yang membuatnya menjadi haram. Dan diantara penyebab keharaman taqlid adalah :
Pertama : Taqlidnya Mujtahid Mutlak
Seorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum syariah, haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lain. Sebab seorang mujatahid mutlak berada pada urutan tertinggi dari para mujtahid. Di bawahnya masih ada empat sampai lima level mujtahid.
Maka mujtahid mutlak diharamkan untuk bertaqlid dengan sesama mujtahid mutlak juga. Apalagi kepada mujtahid yang lebih rendah kedudukannya. Dia diwajibkan untuk berijtihad sendiri atas hukum yang diambilnya menjadi kesimpulan, karena kemampuannya yang di atas semua mujtahid. Dan tentu saja dia harus punya manhaj dan kaidah sendiri dalam menarik kesimpulan hukum.
Kalau ada seorang mujtahid tetapi masih menggantungkan pendapat kepada mujtahid lain, maka statusnya bukan lagi mujtahid mutlak.
Kedua : Taqlid Kepada Selain Mujtahid
Orang awam yang tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan untuk bertaqlid kepada mereka yang statusnya orang awam juga.
Maksudnya dalam hal ini, orang awam yang dia bertaqlid kepadanya hanya boleh berperan sebagai penyampai pesan, atau bisa disebut sebagai informan atas fatwa dari mujtahid yang sesungguhnya.
Al-Hulaimi dan Arruyani sebagaimana dinaql oleh Ibnu Shalat telah berkata : [5]
لاَ يَجُوزُ لِلْمُفْتِي أَنْ يُفْتِيَ بِمَا هُوَ مُقَلِّدٌ فِيهِ
Tidak boleh seorang mufti mengeluarkan fatwa, padahal dia hanya bertaqlid saja.
Dan penulis kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah yang mewakili mazhab Al-Hanabilah berkata tentang mufit yang bertalid : [6]
الْمُفْتِي يَجُوزُ أَنْ يُخْبِرَ بِمَا سَمِعَ إِلاَّ أَنَّهُ لاَ يَكُونُ مُفْتِيًا فِي تِلْكَ الْحَال وَإِنَّمَا هُوَ
Boleh bagi seorang mufti untuk memberi kabar dari apa yang didengarnya. Namun ketika itu dirinya bukanlah mufti tetapi mukhbir (pemberi kabar). Maka dia butuh mengabarkan
Ketika di sebuah madrasah atau pesantren, ada para kiyai dan ustadz yang mengajarkan hukum-hukum agama, maka posisi mereka bukan orang yang berhak untuk ditaqlidi. Sebab kiyai dan guru itu bukan mujtahid, sehingga haram hukumnya bagi murid dan siapapun untuk bertaqlid kepada mereka.
Lalu kalau tidak boleh taqlid kepada mereka, bagaimana kita bisa belajar dan tahu ilmu agama serta hukum-hukumnya?
Jawabannya adalah bahwa saat kita bertanya kepada kiyai, ustadz dan guru agama, posisi mereka hanya sekedar penyampai fatwa dari para mujtahid. Karena mereka punya akses kepada kitab-kitab fiqih dari para mujtahid, sehingga dapat dengan mudah untuk mengetahui fatwa-fatwa itu, untuk disampaikan lagi kepada murid-muridnya.
Maka para murid itu tidak bertaqlid kepada gurunya, melainkan bertaqlid kepada para mujtahid, lewat informasi dari guru mereka.
Ketiga : Taqlid Kepada Orang Sesat
Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu sudah tidak boleh, apalagi bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama, hukumnya tentu lebih haram lagi.
2. Taqlid Yang Wajib
Tidak yang wajib hukumnya adalah taqlidnya kita semua sebagai orang awam kepada para mujtahid yang memang memenuhi syarat ijtihad.
Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya satu pun syarat untuk jadi mujtahid yang bisa diakui secara layak. Kalau satu syarat pun tidak kita miliki, apalagi semua syaratnya, tentu lebih tidak punya lagi.
Dengan keadaan sebagai orang awam seperti kita ini, maka haramlah atas kita untuk melakukan ijtihad fiqih, yaitu melakukan istimbath hukum dari sumber-sumber syariah Islam secara seenaknya sendiri.
Kalau pun kita melakukan ijtihad hukum, hasilnya pun tidak boleh dipakai oleh siapapun, baik oleh mujtahid ataupun untuk orang awam lainnya.
3. Taqlid Yang Boleh
Taklid yang hukumnya boleh adalah taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan, tidak merupakan kewajiban, juga bukan merupakan keharaman.
Taklid yang hukumnya boleh berlaku bagi para mutjahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak. Mereka punya kapasitas dan punya semua syarat untuk berijtihad sendiri.
Namun karena level yang mereka miliki tidak atau belum sampai ke tingkatan mujtahid mutlak, maka mereka masih diperbolehkan untuk bertaqlid dan tidak berijtihad sendiri. Namun dalam hal-hal tertentu yang merupakan cabang dari suatu masalah, mereka pun dibolehkan untuk berijtihad sendiri, dimana hasilnya boleh jadi berbeda dengan ijtihad gurunya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, jilid 2 hal .449
[2] Lisanul Arab hal. 3718
[3] Al-Mustashfa ma’a Muslim Ats-Tsubut, jilid 2 hal. 387
[4] Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, jilid 2 hal .450
[5] Fatawa Ibnu Shalah
[6] Al-Mughni, jilid 9 hal. 41