Husein bin Ali Diperingatkan Untuk Tidak Pergi ke Kufah
Husein bin Ali Diperingatkan Untuk Tidak Pergi ke Kufah
Husein tetap ingin pergi ke Kufah untuk mendapatkan dukungan. Sebelum pergi, bahkan di tengah perjalanan, banyak pihak yang mengingatkan agar Husein mengurungkan niatnya. Di antara mereka adalah:
a. Muhammad bin Al-Hanafiyyah
Muhammad bin Al-Hanafiyyah bertemu Husein di Mekkah. Dia memberitahukan kepadanya bahwa keluar itu bukanlah pendapat yang baik pada hari ini. Husein enggan menerima saran dari saudaranya, Muhammad. Dia berkata, “Kamu membenci tempat bapakmu (Ali r.a.) mendapatkan musibah?” Muhammad berkata, “Aku tidak ingin engkau tertimpa musibah atau mereka tertimpa musibah bersama denganmu, walaupun musibah yang menimpamu lebih besar bagi kami daripada mereka.” [1]
b. Abdullah bin Abbas ra
Ketika Ibnu Abbas mendengar tekad Husein, ia pun datang kepadanya dan berkata, “Wahai keponakanku! Banyak orang membicarakan bahwa kamu akan ke Irak. Jelaskanlah kepadaku apa yang akan engkau lakukan.” Dia berkata, “Aku telah memutuskan untuk pergi hari ini atau esok, insyâ Allâh.”
Ibnu Abbas mencoba untuk menahan keponakannya itu, namun Husein tetap pada niatnya. Ibnu Abbas memahami perkataan Husein dan persiapannya bahwa dia tetap akan pergi. Ia berusaha merahasiakan isi hati yang sebenarnya tidak ridha terhadapnya. Karena itulah keesokan harinya Ibnu Abbas datang lagi kepada Husein. Dia berkata, “Wahai putra pamanku, aku berusaha untuk sabar, tetapi aku tidak sanggup. Aku khawatir ini akan berakhir dengan kehancuran. Penduduk Irak sudah pernah berkhianat, maka janganlah kamu tertipu oleh mereka. Tinggallah di negeri ini sampai penduduk Irak mengusir musuh mereka, kemudian datanglah kepada mereka. Jika tidak, pergilah ke Yaman. Di sana banyak benteng dan lembah. Ayahmu juga memiliki banyak pendukung di sana. Menyendirilah dari manusia. Tulislah suratmu kepada mereka dan sebarkan para penyeru untuk mendukungmu di kalangan mereka. Aku berharap jika kamu melakukan hal itu, apa yang kamu inginkan bisa terwujud.”
Husein berkata, “Wahai putra pamanku! Demi Allah, aku mengetahui kamu adalah seorang penasihat yang pengasih, tetapi aku sudah akan pergi.” Ibnu Abbas berkata, “Jika kamu tetap akan pergi, janganlah kamu pergi dengan putra-putra dan istrimu. Demi Allah, aku takut kamu akan dibunuh sebagaimana Utsman telah dibunuh, sedangkan istri dan anak-anaknya melihatnya … dan seterusnya sampai pada perkataannya … demi Zat yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, seandainya aku bisa mengumpulkan manusia untuk memperkuat urusanmu, aku pasti akan melakukan itu.” [2]
Segala upaya Ibnu Abbas untuk meyakinkan Husein bin Ali tidak bermanfaat, walaupun tampak bahwa dia tidak memiliki pandangan yang sama persis dengan Husein. Hal itu karena dia mengetahui rencana Husein itu timbul karena ketidaksetujuannya kepada Yazid dan keinginannya untuk mengubah keadaan. Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya faktor-faktor kegagalan yang mungkin terjadi untuk mewujudkan rencananya itu. Dia mengusulkan kepadanya beberapa alternatif yang mungkin lebih dekat kepada keberhasilan. Yaitu dengan menunggu sampai penduduk menguasai wilayah mereka secara keseluruhan dan membebaskannya dari kekuasaan Bani Umayyah. Dia memahami bahwa mereka tidak mampu melakukan hal itu. Dengan demikian mereka tidak akan mampu melindungi Husein.
Alternatif lain adalah pergi ke Yaman dan melakukan apa yang telah ditunjukkan oleh Ibnu Abbas. Karena, faktor-faktor penopang kesuksesan di sana lebih banyak dan faktor-faktor penyebab kegagalan lebih sedikit daripada kepergiannya ke Irak. Ibnu Abbas mungkin saja tidak menginginkan Husein pergi ke dua wilayah tersebut. Usulan keduanya itu mungkin saja merupakan idenya agar Husein menunda keputusan yang cepat itu untuk pergi ke Irak. Adapun jika dia menerima pendapat Ibnu Abbas untuk menunggu sampai urusan di Irak siap atau mengalihkan diri ke Yaman, ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan pengaturan berbagai hal di sana. Ke Irak atau Yaman, faktor waktu berpengaruh terhadap perubahan situasi dan kemungkinan timbulnya fitnah. [3]
Dapat dipahami dari perkataan Ibnu Abbas ini bahwa dia tidak menentang keinginan Husein untuk keluar dari ketaatan kepada Yazid menurut syariat. Dia hanya berbeda dengannya dari sudut pandang strategi. Menurutnya, Husein tidak perlu terburu-buru untuk pergi ke Irak sebelum yakin dengan kekuatan para pendukungnya dan bahwa Bani Umayyah tidak memiliki dominasi di sana. Jika tidak demikian, Yaman adalah wilayah yang jauh dari kekuasaan Bani Umayyah dan dia memiliki banyak pendukung di sana, sehingga dia mampu mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk menghadapi Bani Umayyah. [4]
c. Abdullah bin Zubair ra
Beberapa riwayat yang dhaif menuduh Abdullah bin Zubair sebagai penyebab Hasan memutuskan keluar ke Kufah. Padahal, Ibnu Zubair telah menegaskan bahwa dia telah memberikan beberapa nasihat kepada Husein. Dia telah mengingatkan akibatnya bila meninggalkan Mekkah dan pergi ke Kufah. Dia telah memberikan nasihat kepada Husein dengan ungkapan, “Ke manakah engkau hendak pergi? Apakah engkau akan pergi ke tempat kaum yang membunuh ayahmu dan yang telah menusuk saudaramu dengan tombak?” Husein berkata, “Jika aku dibunuh di tempat itu, hal ini lebih aku cintai daripada dibunuh di Mekkah dan kota ini dihalalkan.” [5]
d. Abu Sa’id Al-Khudri ra
Dia berkata, “Husein telah mengalahkan saya dengan tetap keluar, padahal aku sudah mengatakan kepadanya, “Takutlah kepada Allah pada dirimu dan tetaplah di rumahmu serta janganlah keluar dari pemimpinmu.” [6]
e. Abdullah bin Jakfar ra
Dia menulis surat kepada Husein dan mengirimkannya melalui kedua putranya yang bernama Muhammad dan Aun, “Aku memintamu dengan nama Allah ketika engkau tetap ingin pergi dan engkau telah mengetahui suratku ini. Aku merasa kasihan kepadamu karena arah yang kamu tuju itu bisa jadi merupakan kehancuranmu dan punahnya keluargamu.” [7]
Tetapi, Husein tidak mau kembali.
f. Umrah binti Abdurrahman
Dia telah menulis surat kepadanya untuk memberitahukan akibat perbuatannya. Dia menyuruhnya untuk tetap taat dan konsisten pada jamaah. Umrah memberitahukan kepadanya bahwa sebenarnya dia digiring kepada kematiannya. [8]
g. Sa’id bin Al-Musayyib
Adz-Dzahabi telah meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, “Jika saja Husein tidak keluar, hal itu benar-benar lebih baik baginya.” [9]
h. Amr bin Sa’id bin Al-Ash
Dia telah menulis surat kepadanya, “Aku meminta kepada Allah agar Dia mengalihkan kamu dari sesuatu yang membahayakan dirimu dan memberikan petunjuk kepadamu ke jalan yang menuntunmu kepada petunjuk. Telah sampai berita kepadaku bahwa kamu pergi ke Irak. Aku meminta perlindungan kepada Allah dari perpecahan.” [10]
Itulah sikap para sahabat dan tabiin tentang keluarnya Husein. Itulah pemikiran mereka terkait permasalahan yang penting ini. Mereka sebenarnya tidak mau membaiat Yazid karena berpendapat bahwa dia lebih utama dari selainnya di antara para sahabat dan tabiin. Tetapi, mereka melakukan baiat itu untuk menghindarkan kerusakan yang akan berujung pada perselisihan di antara kaum muslimin. Buktinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Khalifah bin Khayyath dan Ibnu Sa’ad, dari Daud bin Abdullah Al-Audi, dari Humaid bin Abdurrahman, bahwa dia berkata, “Kami menjumpai salah seorang sahabat Rasulullah saw ketika Yazid bin Muawiyah diangkat sebagai khalifah. Dia berkata, ‘Apakah kalian berpendapat bahwa Yazid bukan orang yang terbaik di antara umat Muhammad; bukan sebagai orang yang paling paham agama; bukan pula orang yang paling agung kemuliaannya?’
Kami mengatakan, ‘Tidak.’ Dia berkata, ‘Aku juga mengatakan pendapat seperti itu. Tetapi demi Allah, aku lebih mencintai umat Muhammad bersatu daripada berselisih. Tidakkah kalian melihat sebuah pintu jika umat Muhammad masuk ke dalamnya, maka pintu itu cukup untuk mereka? Apakah pintu itu tidak mampu menampung satu orang laki-laki saja jika dia masuk ke dalamnya?’ Kami berkata, ‘Tidak.’ Dia berkata, ‘Apa pendapat kalian jika setiap umat Muhammad mengatakan bahwa saya tidak akan menumpahkan darah saudaraku dan tidak mengambil hartanya. Apakah hal itu dapat mereka lakukan?’ Kami berkata, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Itulah yang aku katakan kepada kalian’.” [11]
Yang perlu digarisbawahi adalah kesepakatan mereka yang memberikan nasihat kepada Husein, bahwa dia tidak boleh keluar ke Irak dan tidak percaya kepada penduduk Kufah. Al-Miswar bin Mikhramah ra telah menulis surat kepadanya agar dia tidak tertipu oleh surat-surat penduduk Kufah dan memberikan nasihat kepadanya agar tidak meninggalkan Tanah Haram. Jika mereka benar-benar serius, mereka tentunya akan mengirimkan sejumlah unta tunggangan, sehingga mereka dianggap memenuhi janji kepadanya. Dengan demikian, dia dapat keluar dengan penuh kekuatan dan persiapan. [12]
Yang menarik perhatian, di samping kesepakatan orang-orang yang menasihati Husein terhadap pengkhianatan penduduk Kufah dan kewajiban untuk tidak percaya kepada janji mereka, ketakutan mereka terhadap keselamatan Husein seperti yang terlihat dalam kalimat-kalimat perpisahan mereka. Hal itu tentu saja didasari oleh pengetahuan mereka tentang situasi dan kondisi saat itu. Nasihat itu keluar dari kesadaran mereka berdasarkan pengalaman yang telah lalu dalam setiap peristiwa saat berkobarnya fitnah antara Ali dan Muawiyah. Dari sana mereka bisa menyimpulkan apa keinginan pihak yang hendak memanfaatkan situasi untuk memecah belah dan membuat fitnah.” [13]
Di tengah perjalanan ke Kufah, Husein bertemu dengan Al-Firazdaq, Sang Penyair di Zatu ‘Irqin. [14] Husein bertanya kepadanya tentang pandangannya tentang sikap penduduk Kufah. Dia ingin memberikan penjelasan yang lebih kepada Al-Firazdaq dan berkata, “Inilah surat-surat mereka yang saya bawa.” Al-Firazdaq menjawabnya, “Mereka akan menghinakanmu. Janganlah kamu pergi. Kamu datang kepada suatu kaum yang hatinya bersamamu, namun tangannya melawanmu.” [15]
———————————–
[1] Ath-Thabaqât, Tahqîq As-Sulami, I/154
[2] Al-Kâmil fî At-Târîkh, II/546
[3] Atsar Al-‘Ulamâ’ fî Al-Hayâh As-Siyâsiyyah fî Ad-Daulah Al-Umawiyyah, hal. 475
[4] Al-Fuqahâ’ Wal Al-Khulafâ’, hal. 25
[5] Mushannaf Ibni Abi Syaibah, XV/95 dengan sanad yang hasan
[6] Tahdzîb Al-Kamâl, VI/461; Ath-Thabaqât, Tahqiq As-Sulami, I/445
[7] Târîkh Ath-Thabari, VI/311
[8] Ibid, VII/140
[9] Siyar A’lâm An-Nubalâ’, III/296
[10] Târîkh Dimasyq, XIV/209; Ahdâts wa Ahâdîts Fitnah Al-Haraj, hal. 212
[11] Ath-Thbaqât, VII/147; Târîkh Khalîfah, hal. 164
[12] Mukhtashar Târîkh Dimasyq, VII/140
[13] Atsar Al-‘Ilmi fî Al-Hayâh As-Siyâsiyyah, hal. 481
[14] Dzatu ‘Irqin adalah sebuah tempat sekitar 2 marhalah dari Makkah
[15] Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/510
* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.