Ilmu dan Akhlak
Ilmu adalah harta yang amat berharga, bahkan lebih berharga daripada kekayaan berupa materi. Paling tidak, begitulah di mata Qadhi Jalaluddin al-Qifthi. Beliau adalah ulama Halab yang memiliki perhatian besar terhadap kitab para ulama. Beliau gemar mengumpulkan kitab para ulama, terutama yang ditulis langsung oleh penulisnya. Tak aneh jika beliau pun menjadi rujukan para ulama pada zamannya.
Suatu saat Qadhi Jalaluddin memperoleh kitab Al-Ansab yang ditulis tangan oleh penulisnya sendiri, yakni Imam as-Sam’ani. Hanya saja, kitab yang diperoleh kurang satu jilid. Qadhi Jalaluddin terus berusaha mencari naskah yang satu jilid itu, namun gagal.
Setelah beberapa hari Qadhi Jalaluddin mulai berputus-asa. Namun, tak lama ada beberapa sahabat beliau menemukan lembaran kertas di pasar peci Kota Halab yang sama dengan naskah yang dimiliki Qadhi Jalaluddin. Mereka menyampaikan informasi itu kepada Qadhi Jalaluddin. Qadhi Jalaluddin pun mendatangi pasar itu. Ia menemui pembuat peci untuk bertanya mengenai kertas-kertas itu, yang ternyata merupakan bagian dari kitab as-Sam’ani yang ia cari-cari itu. Pembuat peci itu berkata, “Saya membeli ini bersama kertas-kertas lainnya, lalu saya jadikan lapisan peci.”
Mendengar jawaban pembuat peci itu, Qadhi Jalaluddin merasa sangat bersedih (I’lam an-Nubala, IV/426).
Karena amat berharga, generasi Muslim pada masa lalu selalu memiliki hasrat yang tinggi untuk menguasai ilmu. Untuk itu, mereka senantiasa berupaya sungguh-sungguh dalam belajar. Terkait kesungguhan dalam belajar ini, Ja’far al-Maraghi mengisahkan: Aku memasuki pemakaman di Tustar, lalu aku mendengar ada teriakan, “Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah; Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah,” terus diulang-ulang dalam waktu yang lama. Aku mencari tahu dari mana asal suara itu. Akhirnya, aku melihat Ibnu Zuhair sedang belajar sendiri menghapal hadis Al-A’masy.” (Al-Jami’ al-Akhlaq ar-Rawi, hlm. 407).
Kesungguhan dalam belajar juga ditunjukkan oleh Imam Abu Ishaq asy-Syiraji. Beliau adalah salah seorang ulama mazhab asy-Syafii yang terkenal dengan hapalannya yang kuat. Hal itu tidak mengherankan karena mujahadah Imam asy-Syirazi dalam belajar pun amat kuat. Mengenai mujahadah beliau dalam belajar, beliau pernah bertutur, “Aku biasa mengulangi setiap masalah qiyas sebanyak seribu kali. Jika aku selesai, aku menghapal qiyas yang lainnya. Demikianlah, aku mengulangi setiap palajaran seribu kali!” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, IV/218).
*****
Selain membuat seseorang menjadi faqih, ilmu sejatinya melahirkan akhlak mulia. Para ulama terdahulu benar-benar telah membuktikan keduanya: faqih sekaligus berakhlak mulia.
Contohnya adalah Imam Abu Hanifah. Beliau memiliki murid bernama Imam Abu Yusuf. Suatu saat Imam Abu Yusuf menghadiri majelis ilmu Imam Abu Hanifah. Namun, ayahnya melarang, “Engkau tidak usah pergi kepada Abu Hanifah. Ia bukan orang kaya, sedangkan engkau membutuhkan bekal harta.”
Sejak itu Imam Abu Yusuf mulai jarang menghadiri majelis Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah pun merasa kehilangan. Suatu saat beliau bertanya mengenai seringnya Imam Abu Yusuf tidak hadir di majelis beliau. Imam Abu Yusuf menjawab, “Saya sibuk bekerja dan menaati apa yang dikatakan ayah saya.”
Mendengar itu Imam Abu Hanifah segera memberi Imam Abu Yusuf uang 100 dirham (kira-kira Rp 7 juta) seraya berkata, “Gunakan ini dan tetaplah mengikuti halaqah. Jika telah habis, sampaikan saja kepadaku.”
Akhirnya, Imam Abu Yusuf aktif kembali dalam halaqah. Imam Abu Hanifah pun terus memberi Imam Abu Yusuf uang dan tidak pernah terlambat. Hal itu terus berlangsung selama 29 tahun sampai Imam Abu Yusuf memperoleh banyak ilmu dan harta dari Imam Abu Hanifah (Muwaffaq al-Khawarizmi, Manaqib Abi Hanifah, 1/469).
Akhlak mulia juga ditunjukkan oleh Imam Abdurrahman. Salah seorang ulama mazhab Syafii ini terkenal dengan sifat wara’-nya. Khurrah binti Abdurrahman as-Sinjawi, istrinya, menyampaikan, bahwa suaminya pernah tidak makan nasi sekian lama. Pasalnya, penanaman padi membutuhkan banyak air. Saat itu, di wilayah tempat tinggalnya, yakni Marwa, air tidak banyak sehingga menjadi bahan rebutan. Akibatnya, banyak petani yang melakukan kezaliman terhadap petani lainnya demi memperoleh air untuk mengairi lahannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa Imam Abdurrahman tidak makan nasi sekian lama (Lihat: Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, V/102).
Akhlak mulia juga ditunjukkan oleh Syaikh ad-Damiri ad-Darini, juga salah seorang ulama besar mazhab Syafii. Suatu saat ulama yang hidup pada abad ke-8 Hijrah ini melakukan perjalanan di wilayah Mesir dengan mengenakan sorban yang telah usang yang telah berubah warnanya hingga terlihat kebiru-biruan, seperti warna sorban yang dipakai oleh para pendeta Qibthi (Kristen Koptik). Karena itulah ada seorang yang tertarik mendekati beliau untuk mendakwahi beliau. Ia menyuruh Syaikh ad-Damiri masuk Islam dan bersyahadat, “Katakanlah aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasulullah.”
Tanpa sedikitpun tersinggung, apalagi marah, beliau segera mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian orang itu berkata, “Pergilah kepada Qadhi untuk bersyahadat di hadapan beliau.”
Syaikh ad-Damiri pun pergi dengan diarak oleh banyak anak kecil di belakang beliau, sebagaimana yang biasa terjadi pada orang yang hendak masuk Islam.
Setelah Syaikh ad-Damiri sampai ke tempat Qadhi, sang Qadhi yang cukup mengenal Syaikh ad-Damiri pun terheran-heran, “Ada apa ini, wahai Syaikh?”
Syaikh ad-Darimi menjawab, “Dia menyuruh aku untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku pun mengucapkannya. Lalu dia menyuruh aku pergi menghadap Anda untuk mengucapkan kalimat syahadat di hadapan Anda. Karena itu aku pun datang kepada Anda.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, VIII/200).
Akhlak mulia pun ditunjukkan oleh Imam Asy-Sya’bi. Suatu saat beliau dicela oleh seseorang. Namun, beliau tidak risau apalagi marah. Beliau hanya menanggapi si pencela dengan berkata, “Jika aku seperti yang engkau katakan, semoga Allah mengampuni aku. Namun, jika aku tidak seperti yang engkau katakan, semoga Allah mengampuni engkau.” (Imam al-Mawardi, Adab ad-Dunya’ wa ad-Din, hlm. 216).
Wa ma tawfiqi illa bilLah.[Arief B. Iskandar]