Skenario Global di Balik Industri Islamofobia
MUSTANIR.net – Pada tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamofobia menulis sebuah artikel berjudul ‘RAND Corporation and Fixing Islam’. Dalam tulisannya tersebut, Pipes mengaku senang. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti RAND Corporation, Cheryl Benard.
Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah religious building, upaya untuk membangun agama Islam alternatif. Benard mengakui bahwa misi ini sangat berbahaya dan kompleks, jauh lebih menakutkan dibanding misi nation building. Sedangkan Pipes, menganalogikan misi ini sebagai upaya untuk masuk ke dalam wilayah yang belum terpetakan. “Ini adalah sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya,” tulisnya.
Sebelumnya, Cheryl Benard yang berdarah Yahudi ini pernah mencetuskan ide untuk mengubah Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada pemerintah AS. Serangkaian strategi pun dirancang dan dituliskan. Ia memaparkan konsepnya itu dalam buku berjudul ‘Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies’.
Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Bagi mereka, ini adalah masalah besar.
Gayung bersambut. Presiden George W Bush Jr. menyambut strategi tersebut. Khilafah menjadi salah satu ajaran dalam Islam yang mereka hantam. Dalam sebuah pidatonya pada bulan September 2006, Bush mengungkapkan:
“Mereka berharap untuk membangun utopia politik kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut khilafah. Khilafah ini akan menjadi kekaisaran Islam totaliter yang mencakup semua wilayah muslim, baik saat ini maupun di masa lalu, membentang dari Eropa ke Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia Tenggara.”
Tak hanya itu, dalam pidato yang sama, Bush pun bersumpah, tak akan membiarkan khilafah tegak. “Saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Dan tidak ada seorang pun Presiden Amerika di masa depan yang akan membiarkannya juga.”
Jika AS mampu mencegah pembentukan kekhalifahan, mengontrol minyak dan sumber daya energi lainnya di dunia Islam, maka akibatnya mereka akan memiliki kekuatan untuk memaksakan kebijakannya di seluruh dunia yang bergantung pada minyak tersebut.
Misi yang dicanangkan oleh Benard adalah bagian dari program perang melawan teror, sebuah perang yang menurut Presiden George W Bush dan Menteri Luar Negeri saat itu, Colin Powell, identik dengan Perang Salib.
“Perang Salib ini, perang melawan terorisme ini akan memakan waktu cukup lama. Dan rakyat Amerika harus bersabar. Saya akan bersabar,” kata Bush dalam pidatonya tahun 2001.
Pada tahun 2004, dalam percakapannya dengan Presiden Pakistan saat itu, Pervez Musharraf, Powell mengatakan, “Saya memanggil Presiden Musharraf dan berkata: ‘Kami butuh jawaban Anda sekarang. Kami membutuhkan Anda sebagai bagian dari kampanye ini, Perang Salib ini’.”
Islam ala RAND Corp
Pertanyaannya, bisakah Amerika meyakinkan kaum muslimin di seluruh dunia untuk menerima ‘Islam ala RAND’ ini? Tidak. RAND Corporation pun telah mengakui hal ini. Mereka meyakini bahwa umat Islam telah kehilangan kepercayaan kepada Amerika. AS kalah dalam perang gagasan di dunia Islam, gagal mempromosikan kebijakannya kepada umat Islam yang waspada terhadap niat dan kemunafikan Amerika, menurut penasihat Pentagon.
Maka dari itu, RAND Corp menyatakan bahwa dalam program ini tangan Amerika harus disembunyikan. Sementara, boneka muslim yang dipilih dengan hati-hati harus berada di garis depan untuk mengantarkan Islam versi baru ini.
Lantas siapa yang akan menjadi boneka dalam Islam ala RAND Corp?
Bagi mereka, mitra ideal untuk menjalankan pekerjaan ini adalah muslim dari ‘dalam’ komunitas umat Islam yang akan bekerja untuk kepentingan Amerika. RAND melabeli mereka sebagai kaum ‘modernis/moderat’. Ciri dari kelompok modernis ini, menurut Benard, adalah keinginan untuk “memodernkan dan mereformasi Islam, agar sejalan dengan zaman”.
Lalu, bagaimana mereka mampu menjalankan misi dari pemerintah AS tersebut?
Pertama, RAND merekomendasikan agar muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. RAND memberi saran kepada Amerika untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati.
Setelah menyingkirkan kelompok ‘fundamentalis’, AS akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dominasi Amerika. RAND menyarankan:
“Buat role model dan para pemimpin (dari kalangan modernis) … Mereka harus dipelihara dan ditampilkan secara publik sebagai wajah Islam kontemporer … Modernis yang berisiko menghadapi persekusi (karena penodaan dan pengkhianatan mereka) harus dibangun (citranya) sebagai pemimpin hak-hak sipil yang pemberani. Publikasikan dan distribusikan karya mereka dengan dukungan biaya. Dorong mereka menulis untuk masyarakat dan para pemuda. Perkenalkan pandangan mereka ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Beri mereka panggung di publik. Buat pendapat dan penilaian mereka tentang pertanyaan mendasar dari penafsiran agama tersedia bagi masyarakat, dalam persaingan dengan para fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki website, penerbitan, sekolah, institut, dan banyak kendaraan lain untuk menyebarkan pandangan mereka.”
Untuk strategi jangka panjang, RAND menyarankan agar para boneka modernis ini mampu membuat para pemuda Islam memeluk sekularisme, bangga dengan sejarah non-Islam dan pra-Islam, melalui kurikulum sekolah dan media lainnya. Dengan demikian, konsep mengenai syariat, jihad, dan khilafah yang benar akan rusak dalam pikiran para pemuda Islam, bahkan membuat mereka benci dan menjauhinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, RAND juga menyarankan agar pemerintah AS mendukung pengembangan ormas yang bisa dimanfaatkan.
“Generasi muslim berikutnya dapat dipengaruhi jika pesan Islam demokratis bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan media publik di negara-negara yang bersangkutan … Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan ‘tandingan’ untuk para pemuda Islam yang tidak puas. Fasilitasi dan dorong kesadaran akan sejarah dan budaya pra-Islam dan non-Islam mereka, di media dan kurikulum negara-negara terkait. Bantu pengembangan organisasi kemasyarakatan yang independen, untuk mempromosikan budaya sipil.”
Islam Nusantara?
Jika kita lihat di Indonesia, semua strategi tersebut sudah dan sedang diterapkan. Tapi, apakah masih ada strategi lain?
Ya, tentu ada. RAND juga merekomendasikan perpecahan di dunia Islam dengan menciptakan Islam versi nasionalistik negara tertentu.
“Kembangkan Islam Barat, Islam Jerman, Islam AS, dan lainnya. Hal ini membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang komposisi, praktek dan pemikiran yang berkembang di dalam komunitas-komunitas ini. Bantu dalam memunculkan, mengekspresikan, dan ‘mengkodifikasi’ pandangan mereka.”
Tiga belas tahun berikutnya, tepatnya bulan Maret 2016, strategi penerapannya di Asia Tenggara kembali digodok di Semarang. Beberapa pakar diundang untuk merumuskannya. Pesertanya dari Indonesia, Australia, Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, hingga Filipina. Dari Indonesia, hadir Wahid Institute dan Ma’arif Institute.
Narasi alternatif yang direkomendasikan untuk menangkal ajaran Islam yang kerap didiskreditkean sebagai ide terorisme.
Rekomendasi dari forum tersebut dituangkan dalam sebuah laporan berjudul ‘Counter-Narratives for Countering Violent Extremism (CVE) in South East Asia’ yang dirilis oleh Hedayah Center, lembaga think tank yang berbasis di Uni Emirat Arab yang lahir atas inisiatif sebuah forum global pimpinan Inggris. Laporan tersebut merekomendasikan tiga ajaran dalam Islam yang harus dimodifikasi, yaitu khilafah, jihad, dan al-wala’ wal-bara’.
Modifikasi ajaran Islam tidak hanya dilakukan dengan mengubah definisi. AS juga menyarankan agar penggunaan beberapa istilah-istilah Islami mulai dihindari, seperti jihad, syariah, dan ummah, sebagaimana yang ditulis dalam laporan yang dirilis Dewan Penasihat Keamanan Dalam Negeri AS pada tahun 2016.
Selain itu, rekomendasi lainnya adalah dengan mengembangkan Islam dalam konteks lokal. Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia. Narasi yang lebih dikedepankan adalah narasi toleransi dan pluralisme, dan bahwa Islam juga sama dengan agama-agama yang lain. Untuk membangun identitas Islam lokal tersebut, antara lain dengan mengembangkan materi khutbah dengan konteks lokal yang mengedepankan tema-tema toleransi, perdamaian, hak perempuan, dan seterusnya.
Rekomendasi lebih detail dirilis pada bulan Agustus 2016 dengan judul ‘Undermining Violent Extremist Narratives in South East Asia: A How to Guide’. Laporan tersebut berisi panduan yang lebih praktis dalam mengimplementasikan strategi di atas. Sasaran utama dari proyek ini adalah pemuda dan wanita.
Agar pesan-pesan dan narasi tersebar lebih efektif, mereka menyarankan penggunaan tokoh agama yang bisa digalang untuk menyebarkan Islam alternatif ini. Untuk medianya penyebarannya, dilakukan mulai dengan menggunakan media sosial, televisi, film, radio, media cetak, komik, buku, hingga kegiatan-kegiatan diskusi.
Skenario Islamofobia
Terakhir sebagai tambahan informasi, dalam bukunya yang berjudul ‘Islamophobia and the Politics of Empire’, Prof. Deepa Kumar menjelaskan tentang dua skenario Islamofobia yang menurutnya berakar dari narasi Paus Urbanus pada saat Perang Salib. Saat itu, Paus membangun narasi yang menggambarkan Islam dan Nabi Muhammad ﷺ dengan begitu buruk. Hal ini dilakukan untuk memobilisir warga Eropa agar mau melakukan Perang Salib dan untuk mencegah mereka dari masuk Islam.
Kumar menjelaskannya dengan istilah Islamofobia konservatif dan Islamofobia liberal. Istilah Islamofobia konservatif mungkin cukup familiar bagi kita. Ialah mereka yang memandang bahwa Islam secara intrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dan semacamnya. Sementara Islamofobia liberal, jelas Kumar, dilabelkan kepada mereka yang muncul dalam retorika lebih lembut. Meski sebenarnya tidak kalah jahat. Mereka membagi adanya ‘good muslims’ dan ‘bad muslims’. ‘Good muslims’ adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Barat. Kumar menganalogikan pendekatan Islamofobia liberal sebagai “penjajahan berbulu domba”.
Jadi, jika hari ini kita mendapati begitu banyak fenomena industri kebencian pada Islam dan ajarannya dengan berbagai tingkatannya, tidak perlu heran. Ada sebuah skenario global yang sangat besar dengan dana milyaran dollar yang saat ini sedang dijalankan, sebagai tindak lanjut dari kebencian ratusan tahun yang bermula dari Perang Salib di masa lalu. Pertanyaannya, di posisi mana kita berada? []
Sumber: Saifullah al-Maslul