Ironi Indonesia; Negeri Kepulauan Yang Impor Garam
Ironi Indonesia; Negeri Kepulauan Yang Impor Garam
Indonesia yang merupakan negara kepulauan harus menerima kenyataan masih mengimpor garam dari negara tetangga. Impor bahkan terjadi hampir setiap bulan, dengan volume dan nilai yang besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, Kamis (2/4/2015), impor pada Februari 2015 adalah 101.622 ton dengan nilai US$ 4,8 juta atau sekitar Rp 62 miliar.
Bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, ada peningkatan yang signifikan. Januari 2015 dilaporkan, impor garam hanya 27.459 ton, atau senilai US$ 1,3 juta. Akumulasi dua bulan tersebut adalah 129.080 ton dengan nominal US$ 6,7 juta
Garam impor paling besar bersumber dari Australia. Volumenya di Februari adalah 101.407 ton dengan nilai nominal US$ 4,8 juta.
Kemudian adalah Singapura, dengan nilai impor 2,5 ton atau nominal US$ 8.417, diikuti India sebesar 112 ton atau nominal US$ 9.393, serta negara lainnya dengan total 100,8 ton atau nominal US$ 13.963. (detik.com/adj)
Technical Problem
Jika kita jujur, keberadaan potensi laut Indonesia sangatlah besar. Bahkan Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di seluruh dunia. Dan sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut/air. Dengan adanya potensi yang sedemikian besar, maka harusnya kita berfikir mengapa Idonesia tak mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Tentu secara sepintas, kita dapat memahami, problem teknis seperti pengelolaan secara industri menjadi salah satu penyebabnya. Dan ada selain itu masih ada problem yang lebih berpengaruh pula.
Liberalisme Biang Kerok
Kebijakan pemerintah dalam melakukan Liberalisasi terhadap sumber daya alam merupakan salah satu biang kerok mengapa Indonesia dan rakyatnya tak pernah benar-benar menikmati hasil dari sumber daya alamnya. Hasil sumber daya alamnya hanya bisa di nikmati untuk segelintir orang.
Terkait dengan ironi impor garam pun, seharusnya kita menilai, bahwa dukungan pemerintah terhadap para petani garam dan industri garam dalam negeri sangatlah sedikit. Bahkan para petani garam tidak merasakan modernisasi. Baik dalam hal proses teknis mengelolanya menjadi sebuah industri, atau dalam memanen hasilnya sehingga sampai pada distribusinya. Termasuk tidak terintegrasinya negara untuk memfokuskan ketahanan pangan dalam negeri, dalam hal ini garam sebagai salah satu komoditas pangan yang di butuhkan masyarakat Indonesia.
Terapkan Sistem Ekonomi Islam Sebagai Solusi Impor Garam Indonesia
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus dikuasai oleh negara. Di dalam sistem ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap seluruh harta kekayaan yang ada di bumi ini dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu:
Pertama: Kepemilikan individu, yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut.
Kedua: Kepemilikan umum, yaitu ijin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda.
Ketiga:Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.
Dari pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam tersebut, maka yang menjadi pertanyaan adalah, dimana posisi sumber daya alam seperti tambang garam, pertambangan batu bara, energi, hutan dsb? Jawabnya adalah masuk kategori yang kedua, yaitu kepemilikan umum. Pendapat ini dapat difahami berdasarkan pada dalil Hadits yang berasal dari Imam At-Tirmidzi yang meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasul untuk mengelola tambang garamnya, lalu Rasul memberikannya. Setelah dia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-”iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-”iddu adalah air yang tidak terbatas jumlahnya. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya tidak terbatas. Hadits ini menjelaskan bahwa Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh. Hal itu menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam jika tambangnya kecil. Namun, tatkala beliau tahu bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang besar (seperti air yang mengalir), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, berarti tambang tersebut merupakan milik umum.
Dalam hadits tersebut, yang dimaksudkan bukan hanya garamnya itu sendiri, melainkan tambangnya. Hal itu berdasarkan bukti, bahwa ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut tidak terbatas jumlahnya, maka beliau mencegahnya, sementara itu beliau sejak awal sudah mengetahui bahwa itu merupakan garam yang diberikan kepada Abyadh. Dengan demikian, pencabutan tersebut bukan karena garam, tetapi karena tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Abu Ubaid memberi komentar terhadap Hadits ini dengan penjelasan sebagai berikut:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
Apabila garam tersebut termasuk dalam kategori tambang, maka pencabutan kembali Rasul terhadap pemberian beliau kepada Abyadh tersebut dianggap sebagai illat ketidakbolehan dimiliki individu, di mana garam tersebut merupakan tambang yang tidak terbatas jumlahnya, bukan karena garamnya itu sendiri yang tidak terbatas jumlahnya. Dari hadits di atas nampak jelas bahwa illat larangan untuk tidak memberikan tambang garam tersebut adalah karena tambang tersebut mengalir, yakni tidak terbatas.
Lebih jelas lagi berdasarkan riwayat dari Amru bin Qais, bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam, di mana beliau mengatakan: “ma’danul milhi” (tambang garam). Maka dengan meneliti pernyataan ahli fiqih, menjadi jelaslah bahwa mereka telah menjadikan garam termasuk dalam kategori tambang, sehingga hadits ini jelas terkait dengan tambang, bukan dengan garam itu sendiri secara khusus.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits dari Abyadh, melainkan mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal adalah terbatas, sehingga boleh diberikan. Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh dan tidak boleh diartikan sebagai pemberian tambang secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul terhadap tambang yang telah beliau ketahui bahwa tambang tersebut mengalir dan besar jumlahnya. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Hukum tambang yang tidak terbatas jumlahnya adalah milik umum, juga meliputi semua tambang, baik tambang yang nampak yang bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan oleh manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal garam, antimonium, batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah payah semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak tanah, maka semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan menurut pendapat Al-”Assal & Karim dengan mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus, maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Sedangkan untuk SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti sumber daya air, sumber daya energi, sumber daya hutan dsb, maka ada dalil lain yang menunjukan bahwa sumber daya itu masuk kategori kepemilikan umum. Dalilnya dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW:
Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam Hadits di atas, selain menyebut air, padang rumput, Rasul SAW juga menyebut lafadz api, yang dimaksudkan adalah energi, seperti: listrik, BBM, gas, batubara, nuklir dsb. Dengan demikian, berbagai sumber daya yang disebut dalam Hadits di atas adalah masuk dalam kategori kepemilikan umum.
Satu-satunya jalan menjadikan Indonesia negara berdaulat ekonomi untuk semua hal adalah dengan menerapkan Sistem Ekonomi Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.