Islam Berbicara Tentang Hak Pengasuhan Anak
Islam Berbicara Tentang Hak Pengasuhan Anak
Mustanir.com – Al-Hadhanah atau al-Hidhanah adalah: Mendidik (merawat) orang yang tidak bisa melakukan urusan-urusannya sendiri (seperti anak kecil, orang gila dll) dengan sesuatu yang baik untuknya dan melindunginya dari segala sesuatu yang membahayakan sekalipun ia berusia dewasa.(al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Isthilahan, hal. 93).
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadhanah adalah upaya penjagaan terhadap anak yang belum sampai usia tamyiz (tidak bisa membedakan baik dan buruk), dan belum mandiri, mendidiknya dengan hal-hal mendatangkan kebaikan baginya, dan melindungi dari hal yang menyakitinya. (Raudhatuth Thalibin, 9/98)
Konsekuensi dari hadhanah adalah penjagaan terhadap anak yang diasuh, melindunginya dari hal-hal yang menyakiti, mendidik sampai dewasa, dan mengerjakan segala sesuatu untuk kebaikannya, seperti memperhatikan makanan, minuman, memandikan, dan kebersihan lahir dan batin. Demikian juga perhatian terhadap urusan tidur, dan bangunnya serta berusaha memenuhi semua kebutuhan dan permintaannya.
Hukum Hadhanah
Hadhanah hukumnya wajib atas seorang pengasuh (ibu atau selainnya), karena seorang anak akan binasa atau mendapatkan bahaya jika tidak ada yang menjaganya. Wajib untuk menjaganya dari kebinasaan. Dan menjadi wajib kifayah jika ada lebih dari satu orang pengasuh.
Ibnu Qudamah berkata, “Jika sepasang suami istri berpisah (cerai atau berpisah) dan keduanya meninggalkan anak kecil atau anak gila, maka wajib untuk mengasuh anak tersebut, karena jika ia dibiarkan akan binasa dan celaka. Wajib untuk menjaga hidupnya.” (al-Kafi fii Fiqhil Imami Ahmad, 3/244)
Syarat-syarat Hadhanah
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan hadhanah (mengasuh anak) hal-hal berikut ini:
1. Islam
Tidak ada hak pengasuhan anak bagi orang kafir atas anak muslim, karena tidak ada perwalian orang kafir atas orang muslim, dan dikhawatirkan anak yang diasuh tersebut akan keluar dari Islam.
2. Baligh (dewasa)
Anak kecil tidak memiliki hak pengasuhan, karena ia sendiri membutuhkan pengasuhan. Bagaimana mungkin ia mengasuh orang lain?
3. Berakal
Tidak ada hak pengasuhan bagi orang gila dan idiot, karena keduanya membutuhkan bantuan orang lain yang mengurusi dirinya, bagaimana mungkin mereka mengurusi orang lain?
4. Amanah baik agama maupun kehormatan
Tidak ada hak pengasuhan bagi pengkhianat dan orang fasiq, keduanya tidak bisa dipercaya, dan tinggalnya anak bersama mereka akan berdampak buruk bagi jiwa dan hartanya.
5. Mampu secara jasmani dan harta
Tidak ada hak pengasuhan bagi orang yang lemah karena usia lanjut, atau memiliki cacat seperti tuli, bisu dan lainnya. Demikian juga bagi orang fakir/miskin, atau orang yang sibuk, karena dapat menyebabkan anak yang diasuh tersebut terbengkalai. Juga kepada wanita yang terkenal lalai dalam mengurus anak.
6. Tidak memiliki penyakit menular
Seperti kusta dan yang semisalnya.
7. Memiliki kematangan dalam berfikir
Tidak ada hak pengasuhan bagi orang bodoh yang suka menghambur-hamburkan harta, supaya ia tidak menghabiskan harta anak yang diasuhnya.
Syarat-syarat di atas berlaku secara umum baik laki-laki ataupun perempuan, dan bagi perempuan ditambah satu syarat yaitu, belum menikah. Karena hal itu membuat ia sibuk melayani suaminya, sebagaimana sabda Nabi,
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى
“Kamu (ibu) lebih berhak terhadapnya (dalam pengasuhannya) selama belum menikah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh al-Hakim)
Hak pengasuhan akan gugur jika tidak terpenuhi salah satu syarat dari syarat-syarat di atas, atau adanya salah satu penghalang.
Batas akhir pengasuhan
Hak pengasuhan berakhir jika anak yang diasuh sudah tidak membutuhkan pengasuhan, sudah menginjak usia tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk), dan sudah mampu melakukan kebutuhannya sendiri, seperti makan, berpakaian, dan membersihkan diri. Dan hal itu tidak dibatasi oleh umur/usia tertentu, tetapi tolak ukurnya adalah tamyiz dan kemandirian.
Fatwa madzhab al-Hanafiyah dan selainnya menyebutkan bahwa batas usia pengasuhan yaitu bagi anak laki-laki sudah berumur tujuh tahun, dan anak perempuan sudah berusia sembilan tahun. Mereka berpandangan bahwa penambahan batasan usia bagi anak perempuan adalah agar ia mampu membiasakan diri dengan “kebiasaan perempuan” yaitu belajar dari perempuan yang mengasuhnya. (Fiqhus Sunnah Sayyid Sabiq, hal. 2/346)
Apabila seorang anak sudah tamyiz (tujuh tahun atau Sembilan tahun), maka anak tersebut diberikan hak untuk memilih antara tinggal bersama ayah atau ibu. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya dari shahabat Abu Hurairah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيَّرَ غُلَامًا بَيْنَ أَبِيهِ وَأُمِّهِ
“Sesungguhnya Nabi memberikan pilihan kepada seorang anak kecil antara (mengikuti) ayahnya atau ibunya.”
Dan sabda Nabi kepada salah seorang anak yang diperebutkan oleh kedua orangtuanya,
يَا غُلَامُ! هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ
“Wahai anak kecil! Ini bapakmu dan ini ibumu, pilihlah salah satu di antara keduanya yang kamu suka.”
Lalu anak itu memilih pergi bersama ibunya. (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi)
Yang Paling Berhak Terhadap Hadhanah
Hak pengasuhan bayi adalah milik kedua orangtuanya, selama tali pernikahan masih tersambung. Adapun jika keduanya telah berpisah (cerai/faskh) maka ibulah yang paling berhak untuk mengasuhnya selama ia belum menikah dengan laki-laki lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan anak/bayi tersebut. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa seorang wanita –yang telah diceraikan oleh suaminya- datang bersama anaknya kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini, dahulu perutku (rahim) adalah kantongnya, dadaku (payudaraku) adalah minumannya, pangkuanku adalah pelindungnya, dan bapaknya telah menceraikanku, lalu ia ingin merampasnya dariku. Rasulullah berkata kepadanya,
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِى
”Engkau lebih berhak atasnya, selama engkau belum menikah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Hakim) (al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah, hal. 334)
Syaikh ‘Abdullah al-Muthlaq hafizhahullah berkata, “Orang yang paling berhak untuk mengasuh anak kecil, atau orang yang cacat mental adalah ibunya, jika ibu memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan, dan belum menikah lagi.”
Beliau hafizhahullah melanjutkan, “Ibu lebih utama dibandingkan bapak karena ia lebih penyayang, dan ia sendiri yang akan mengasuh anaknya, berbeda dengan bapak yang akan menyerahkan pengasuhan anak tersebut kepada istri barunya. Dan tentunya ibunya lebih berhak dibandingkan wanita baru tersebut.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Ibu lebih pantas (lebih baik dalam mengasuh anak) dibanding bapak, karena ia lebih lembut, lebih berpengalaman dalam menyediakan makanan dan menggendong, lebih sabar, dan lebih penyayang. Ia lebih mampu, lebih berpengalaman, lebih penyayang dan lebih sabar di bidang ini. Ibulah yang paling berhak berdasarkan syariat dalam mengasuh anak yang belum mumayyiz.”
Namun jika ibu menikah dengan laki-laki lain, atau tidak memenuhi syarat-syarat untuk mengasuh anak, maka para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang paling berhak untuk mengasuh anak, dan yang masyhur di dalam madzhab imam Ahmad adalah beralihnya hak hadhanah kepada nenek dari jalur ibu sampai ke atas, kemudian beralih ke ayah. Dan dalam riwayat yang lain dalam madzhab Hanbali menyebutkan bahwa nenek dari jalur ayah didahulukan dibandingkan nenek dari jalur ibu. Konsekuensi dari riwayat ini adalah mendahulukan ayah dibandingkan nenek, dan ini juga pendapat madzhab Hanafi. Sedangkan asy-Syaukani menyebutkan bahwa bibi anak tersebut (saudara ibu) lebih berhak untuk mengasuh anak tersebut dibandingkan ayah, kemudian setelah itu ayah. (al-Adillah ar-Radhiyyah,137).
Sebenarnya masih banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan hadhanah ini, namun baru inilah yang bisa kami sebutkan dalam pembahasan kali ini. Wallahu a’lam bish Shawab. (SUMBER)