Islam Indonesia Sebuah Ide Yang Absurd
Islam Indonesia Sebuah Ide Yang Absurd
Oleh: Alwi Alatas
IDE ‘Islam Indonesia’ atau ‘Pribumisasi Islam’ merupakan ide yang absurd dan terindikasi ada agenda liberal di belakangnya. Sesungguhnya Islam ya Islam. Tidak ada ‘Islam Arab’, ‘Islam Indonesia’, ataupun Islam dengan embel-embel lainnya.
Dalam beragama, apa yang diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul kita kerjakan, apa yang dilarang kita tinggalkan, apa yang meragukan maka sebaiknya dijauhi. Adapun hal-hal yang mubah, termasuk dalam apa-apa yang bersifat lokal, maka tidak ada masalah untuk tetap berjalan.
Sebagaimana dakwah yang dibawa oleh Rasulullah, maka tidak ada hak bagi kita untuk mengada-adakan Islam lokal.
Dulu menyembah patung termasuk dalam tradisi masyarakat Arab, tapi hal itu dihapus oleh Islam, karena yang dibawa oleh Nabi bukan Islam Arab, tapi Islam yang berintikan tauhid.
Dulu dalam tradisinya, perempuan Arab tidak pakai jilbab, tapi kemudian mereka berbondong-bondong memakai jilbab karena mentaati perintah Allah SubhanahU Wata’ala dan Rasul-Nya. Karena yang dibawa Nabi bukan Islam Arab, tapi agama yang mengajarkan manusia untuk menutup aurat dan memahami adab dalam berpakaian.
Dulu ada empat jenis pernikahan dalam budaya Arab, sebagaimana disebutkan oleh Aisyah ra. Tiga jenis pernikahan yang ganjil kemudian dihapuskan, hanya satu tetap berjalan, dengan dilengkapi tata cara yang disyariahkan. Karena yang dibawa Nabi bukan Islam yang mempertahankan tradisi dengan segala resikonya, melainkan Islam yang menggendaki kemaslahatan manusia.
Dulu minum khamar merupakan budaya Arab, tapi kemudian dihapuskan oleh Islam, dan orang-orang menerimanya. Karena pada akhirnya Islam bukan agama tradisi, tetapi agama yang menerima tradisi yang baik dan membuang tradisi yang buruk.
Niat dan Motivasi
Jadi tidak ada Islam Arab ataupun Islam Indonesia. Islam hanya satu. Kalau manusia berbeda pandangan dalam memahami Islam, sementara ia sudah berusaha dgn sungguh-sungguh untuk mengerti apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul, maka setidaknya ia sudah berusaha. Tapi bagaimana halnya dengan orang-orang yang sejak awal sudah ingin berbeda dan ingin mencampuradukkan Islam menurut hawa nafsunya?
Amal itu tergantung niatnya. Kalau niatnya sudah ingin berbeda, bagaimana dia akan sampai pada kebenaran dan persatuan umat?
Jika yang dikritik adalah ‘Islam Arab’ (kalau saja benar asumsi ini), maka mengapa solusinya ‘Islam Indonesia’?
Lantas apa bedanya yang dikritik dengan yang mengkritik? Apa bedanya problem dengan solusi? Jika yang dikritik adalah ‘Islam Arab’ maka yang seharusnya dijadikan solusi adalah Islam yang universal.
Jelaskan pada bagian mana hal-hal yang merupakan pokok agama yang harus dipegang kuat-kuat dan mana tradisi yang bersumber dari tradisi lokal yang bersifat pilihan.
Pada akhirnya, ide ‘Islam Indonesia’ diduga kuat berangkat dari ide pluralisme yang meyakini bahwa kebenaran itu bukan satu tapi ada banyak. Karena kebenaran itu banyak, maka setiap kelompok masyarakat berhak untuk merumuskan kebenarannya sendiri, sesuai dengan yang ia kehendaki, termasuk dalam membuat embel-embel baru di dalam Islam: Islam Liberal, Islam Indonesia, Islam Nusantara, dan mungkin banyak lagi yang akan menyusul.
Gagasan ini mungkin sengaja dimunculkan untuk mengacaukan cara berfikir kaum Muslimin serta menarik mereka lebih dalam kepada ide-ide pluralisme. Ia hanya wajah baru pluralisme yang berlindung di balik tameng tradisi.
Adapun kata-kata Gus Dur, apakah kita merupakan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia atau orang Indonesia yang beragama Islam, maka sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan di antara keduanya.
Muslim itu bersaudara. Mereka memiliki Tuhan yang sama, Nabi yang sama, kiblat yang sama. Mereka seperti satu tubuh, baik dia orang Indonesia asli maupun bukan orang Indonesia.Wallahu a’lam.* (hidayatullah/adj)
Alwi Alatas adalah penulis buku-buku sejarah perjuangan Islam.