
Antara Foto/Aprillio Akbar
Jangan Kotori Ruang Publik dengan ‘Ide-ide Ajaib’
MUSTANIR.net – Para santri selain dibekali ilmu isi, juga dibekali ilmu sanad. Mereka, bahkan sebagiannya, diminta menghafal jalur (sanad ilmu), guru-guru mereka, dari guru langsung, gurunya-guru, terus ke jalur atas hingga generasi ulama terdahulu, generasi tabiit tabiin, generasi tabiin, generasi sahabat, hingga sampai pada Rasullullah ﷺ.
Memang benar, ada beberapa jalur ilmu untuk sampai kepada Rasulullah ﷺ. Namun, paling tidak mereka menghafalkan salah satu jalur ilmu hingga sampai dinisbatkan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ.
Seperti belajar ilmu hadits, mereka akan dianggap santri ajaib jika memaparkan ilmu tanpa merujuk sanad. Sanad ilmu bagi para santri, itu laksana sanad hadits dalam mustolahul hadits.
Bahkan, mereka berbangga atas sanad ilmu ini, mereka merasa punya guru dan jalur ilmu hingga dinisbatkan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ.
Menyebut hadits tanpa sanad, atau menyebut mengetahui ilmu tanpa menyebut guru, itu seperti menaiki loteng tanpa tangga. Ajaib.
Bagi kalangan berilmu, pendapatnya disebut ajaib itu merupakan cela, aib. Itu sama saja kredibilitasnya dipersoalkan.
Saya juga ingin menyoal kredibilitas keilmuan, pada konteks yang lain. Saya juga berani, menyebut tokoh ini tokoh yang ajaib.
Penyebutan ‘ajaib’ bukan berarti memiliki keistimewaan. Justru sebaliknya, ‘ajaib’ adalah akronim dari kebodohan, nir argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Belum lama ini, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo menilai memanfaatkan lahan kosong untuk bertanam menjadi salah satu antisipasi jitu untuk mengatasi kekurangan pangan di masa pandemi Covid 19. Hal itu karena kekurangan pangan jadi ancaman serius di tengah pandemi Covid-19.
Dia juga menjelaskan, aksi gerakan menanam itu mudah dilakukan, cukup dengan memanfaatkan bahan bekas seperti botol bekas, kaleng, dan dipadukan dengan sistem hidroponik. Menurutnya, bangsa Indonesia memiliki modal sosial dan budaya sangat kuat untuk menggerakkan kesadaran bersama dalam melakukan gerakan tersebut.
“Bangsa Indonesia adalah negara dengan modal sosial dan budaya yang kuat dalam bahu membahu gotong royong melakukan gerakan menanam ini demi kesejahteraan bersama,” ujar Benny. (27/4).
Mulanya saya bersyukur Kepala BPIP Yudian Wahyudi, menyatakan puasa setahun dari mengeluarkan statement publik. Karena, menurut saya BPIP lebih baik diam ketimbang mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan.
Ternyata, BPIP tetap bersuara. Hanya kali ini melalui Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP. Pernyataan Benny ini terkategori ajaib disebabkan beberapa sebab:
Pertama, ungkapan yang dikeluarkan –meskipun dianggap solusi– tidak sejalan dengan kapasitasnya sebagai staf BPIP. Sebagai organ pembina Pancasila, semestinya Benny lebih banyak bicara bagaimana solusi ideologi Pancasila menghadapi pandemi virus corona.
Solusi tanam menanam, apalagi hanya memanfaatkan botol bekas dan yang semisalnya, semestinya cukup disampaikan oleh YouTubers, atau beberapa kalangan yang masih terkendala aktualisasi dan eksistensi diri di musim pandemi.
Kedua, masalah pangan dan potensi kelaparan adalah problem ikutan, bukan problem utama. Problem utamanya adalah merebaknya virus corona yang mengancam nyawa rakyat.
Mengenai problem utama ini, ada 2 masalah penting yakni: pertama, terkait proses menangani dan menyembuhkan pasien positif Covid-19. Kedua, menjaga masyarakat agar Tetap sehat dan tak tertular Covid-19.
Sebagai pembina Pancasila, Benny semestinya ikut mengkritisi layanan buruk pemerintah dari sisi penanganan pasien (dimulai dari deteksi Covid-19 hingga pelayanan rumah sakit dan pemulasaraan), juga aspek pencegahan yang dianggap sepele.
Sejak awal pemerintah menganggap remeh virus corona, malah membuat iklan pariwisata. Sejak awal juga banyak yang mendorong melakukan lockdown (karantina wilayah), untuk memutus transmisi penyebaran virus corona.
Tapi apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah justru menetapkan kebijakan PSBB, padahal virus telah jauh merangsek ke jantung kehidupan rakyat.
PSBB juga tidak dilakukan secara komprehensif, lintas sektoral, dan dalam 1 simpul komando.
Akhirnya, yang terjadi di tengah pandemik justru muncul silang pendapat dan kebijakan antara menteri, pemda, bahkan aparat desa sampai membuat video terbuka mengkritisi kacaunya penanganan virus corona.
Benny, semestinya bicara tentang hal ini, tentang hal yang lebih strategis, tentang pentingnya negara menjaga persaudaraan Indonesia dengan memaksimalkan tugasnya melayani dan melindungi nyawa rakyat.
Benny juga perlu memberi warning kepada pemerintah. Jika hal ini tidak segera diatasi, akan muncul distrust di tengah rakyat yang ujungnya akan dapat memicu disintegrasi. Dan tentu saja ini ancaman bagi sila persatuan Indonesia.
Ketiga, masalah ketahanan pangan itu terkait erat dengan politik pertanian negara yang dituangkan dalam kebijakan swasembada. Faktanya, kasus pangan itu bukan karena tak ada gerakan rakyat menanam di botol, atau tempat yang lebih sempit dari itu.
Kacaunya strategi pangan kita karena negara telah berubah menjadi pedagang bukan pengatur. Saat ada produk pangan langka, negara bukan menstimulasi agar terjadi penanaman produk pangan dimaksud, tetapi negara justru impor ugal-ugalan.
Akhirnya, bagaimana petani atau rakyat memilih insentif untuk menanam, jika setiap menanam, setiap panen, harga produk amblek karena pemerintah selalu impor?
Mengenai besarnya impor, ketergantungan pangan akan impor, itu bukan salah rakyat. Semua itu salah pemangku kebijakan yang tak becus mengelola pemerintahan.
Pernyataan Benny soal gerakan menanam ini benar-benar ajaib, benar-benar menggelikan. Pernyataan seperti ini hanya menambah penat dan mengotori ruang publik.
Kalau menggunakan istilah anak Betawi, pernyataan ini mirip Jaka Sembung bawa golok. Gak nyambung! []
Sumber: Ahmad Khozinudin