Jihad di Jalan Allah Wajibkah Minta Izin?
Jihad di Jalan Allah Wajibkah Minta Izin?
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
1. Salah seorang pemuda di desa kami ada yang ingin berangkat jihad ke medan perang. Namun tidak mendapatkan izin dari ibunya. Apakah boleh dia berangkat tanpa mendapat izin dari ibunya?
2. Izin dari siapa sajakah yang dibutuhkan bila seseorang ingin berangkat berjihad?
Terima kasih ilmunya,
wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,”Adakah kamu masih punya kedua orang tua?”. Dia menjawab,”Ya, masih”. Rasulullah SAW berkata,”Berjihadlah pada keduanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA