
(thoughtco.com)
Kaitan Renaisans, Humanisme, dan Depopulasi
MUSTANIR.net – “Hanya ada satu hal yang lebih cepat menular daripada virus, dan itu adalah rasa takut.” (Dan Brown, Inferno, hlm. 593, bab 96)
1720, The Great Plague of Marseille
Pada tahun ini, tercatat dalam sejarah, ada 100.000 orang yang menjadi korban wabah penyakit yang disebabkan bakteri ‘Yersinia Pestis’. Penyakit tersebut menyebar di beberapa negara Eropa, hingga akhirnya sampai di Marseille, Perancis. Orang Arab menyebut penyakit ini ‘ath-Tha’un al-A’dzham’.
1820, The First Cholera Pandemic
Sama seperti 100 tahun sebelumnya, ada 100.000 yang meninggal dunia setelah menderita penyakit mematikan, Kolera. Penyakit menular ini, disebabkan bakteri bernama ‘Vibrio Cholerae’. Thailand, Filipina, dan Indonesia adalah negara-negara yang lebih dahulu diserang penyakit ini, sebelum tersebar luas ke seluruh Eropa.
1920, The Spanish Flu
Kali ini dunia mulai berhadapan dengan virus mematikan yang belum pernah diketahui sebelumnya; ‘H1N1 Influenza’. Pandemik ini cukup menghebohkan dan menimbulkan kekacauan. Virus yang kemudian menyebar sampai Arktik ini, menewaskan sekira 50 sampai 100 juta orang di seluruh dunia.
2020, The Novel Coronavirus
Sampai detik ini, dunia secara serentak, ‘mengumumkan perang’ melawan virus Corona yang namanya semakin sering disebut-sebut sejak awal kemunculannya di Wuhan-China, di penghujung tahun lalu. Sekarang, sekolah-sekolah mulai diliburkan. Beberapa kota-kota besar di dunia, lockdown; ditutup sementara untuk mencegah bertambahnya jumlah pasien yang mengidap virus penggerogot paru-paru ini.
Pemaparan data berikut angka-angka di atas, 1720-1820-1920-2020, bukan dalam rangka cocoklogi. Juga bukan ingin menggiring opini bahwa ada konspirasi Illuminati di balik semua ini. Sebab ada yang lebih penting untuk direnungi, dosa apa yang telah manusia perbuat sehingga Allah menurunkan wabah yang berpandemi? Penyakit yang mematikan, datang menyerang manusia setiap 100 tahun sekali. Anehnya, mereka seakan tidak mengambil pelajaran dan tetap mempertontonkan kejumawaan yang memuakkan; hutan digunduli, laut dicemari, hewan-hewan didzhalimi, dan begitu banyak aturan-aturan Allah yang mereka selisihi.
Sungguh, pada dasarnya, semua makhluk ciptaan Allah yang ada di muka bumi, berhak mendapat keselamatan dan menikmati keindahan yang Dia ciptakan. Keteledoran dan keserakahan manusialah yang merusak segalanya. Betapa banyak destinasi-destinasi wisata yang begitu eksotis tapi kini harus ditutup karena surga-surga kecil dunia itu, malah jadi tempat pembuangan sampah. Belum lagi bicara tentang keserakahan manusia yang terwujud dalam bentuk eksploitasi besar-besaran berbagai sumber daya alam yang memicu terjadinya berbagai bencana.
Dengan melihat potensi hancurnya dunia akibat ulah manusia, bahkan bertambahnya populasi mereka dianggap sebuah ancaman, maka muncullah depopulasi; ide gila untuk membunuh sebagian umat manusia seperti yang dipikirkan oleh Thanos dalam Avenger Endgame, Valentine dalam Kingsman The Secret Service dan Bertrand Zorbist dalam Inferno.
Tapi siapakah sebenarnya orang yang pertama kali mencetuskan ide depopulasi ini? Entahlah. Mungkin salah satu inspiratornya adalah Machievelli yang dalam Inferno karya Dan Brown disebutkan bahwa ia pernah berkata, “Ketika semua tempat di bumi ini penuh sesak dengan penghuni, sehingga mereka tak bisa bertahan hidup di tempat mereka berada, dan juga tidak bisa pindah ke tempat lain, dunia ini akan mebersihkan dirinya sendiri.” Selanjutnya ia bicara mengenai wabah sebagai cara alami dunia untuk membersihkan dirinya sendiri.
Dalam novel setebal 640 halaman ini juga disebutkan bahwa, “Black death (wabah hitam) merampingkan populasi dan membuka jalan renaisans.” Ada keterkaitan yang hendak dijelaskan di sini. Antara renaisans, humanisme, dan depopulasi. Sebagaimana jamak diketahui, renaisans adalah kelahiran kembali bangsa Eropa dari keterpurukan mereka dengan meninggalkan dogma-dogma agama. Sedangkan humanisme adalah paham yang memengaruhi terjadinya renaisans itu. Yaitu ketika manusia dijadikan sentral dari kehidupan ini. Manusia, dengan akalnya, dianggap mampu menyelesaikan seluruh problem kehidupan.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai intleketual yang banyak mengkritik pemikiran Barat menjelaskan dalam bukunya, Misykat, bahwa; “Sejarahnya, memang di Barat terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat).” Dengan doktrin empirisme, Tuhan dianggap tidak riel, dan manusia dianggap riel. Inilah hakikat dari humanisme yang sesungguhnya. Lalu, apa kaitannya dengan depopulasi atau pelenyapan manusia?
Singkatnya, humanisme secara langsung atau tidak langsung telah menuhankan manusia dengan segala produk pikirannya. Maka ketika para humanis ini berpikir bagaimana menyelamatkan dunia, mereka hanya mengandalkan logika dan data statistik. Menurut hitung-hitungan mereka, dunia hanya bisa dihuni oleh 4 miliar orang saja. Sedangkan jumlah penduduk dunia telah mencapai angka 7,7 miliar jiwa.
Melihat fakta ini, tidak heran jika kemudian humanis radikal mencibir WHO yang dianggap lamban dalam membendung arus pertumbuhan populasi dunia. Seperti ejekan Bertrand Zorbist kepada Elizabeth yang membagikan kondom gratis di Afrika. Hal itu ibarat mengayunkan penepuk lalat pada asteroid yang akan menabrak bumi. Ya, boleh jadi, wacana-wacana KB (Keluarga Berencana) juga produk turunan dari usaha pencegahan membludaknya overpupalsi manusia. Maka karena agenda ini kurang efektif, mereka yang katanya ingin menyelamatkan manusia dan dunia, menggunakan wabah sebagai solusi.
Jika pada 1720 dan 1820 pandemik berasal dari bakteri, pada 1920 dan 2020, wabah penyakit yang tersebar berasal dari virus. Kenapa program depopulasi sekarang mengandalkan virus, bukan bakteri? Masih tentang perhitungan manusia. Masih tentang efektivitas dan efisiensi. Setelah diteliti, virus lebih mematikan daripada bakteri.
Dari segi ukuran, virus jauh lebih kecil daripada bakteri. Perbandingganya seperti bola voli dan mobil. Dari segi eksistensi, bakteri bisa hidup sendiri. Tapi setelah dibasmi dan mati, maka ia tidak bisa hidup lagi. Sedangkan virus justru tidak bisa hidup jika ia tidak menempel di makhluk hidup yang lain. Ia membutuhkan inang karena tidak memiliki struktur atau metabolisme sendiri. Maka ketika ia telah masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan, virus akan menempel di salah satu sel, berkembang biak di sana, dan mengambil alih tubuh tersebut.
Demikianlah sekelumit maklumat terkait depopulasi sebagai isu yang acapkali diperbincangkan setiap ada momen seperti sekarang ini. Namun, terlepas dari benar atau tidaknya bahwa dalang dari virus Corona adalah Illuminati sebagaimana disampaikan oleh salah seorang penceramah kondang yang dikenal pakar akhir zaman, tulisan ini lebih ke arah refleksi atas kejadian yang sedang kita hadapi.
Bahwa manusia seringkali merasa bisa tapi lupa untuk bisa merasa. Kecenderungan untuk menjadi seorang egois yang mendahulukan kepentingan pribadi, ada di setiap individu. Besar kecilnya, hanya bisa dikendalikan dengan agama (dien Islam) dan tata nilainya yang arif. Kembali bersandar kepada wahyu. Menggunakan akal budi untuk memahami pesan-pesan Ilahi. Adalah solusi dalam berinteraksi dengan sesama makhluk yang mendamba hidup lestari. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thoriq. []
Sumber: Muhammad Faishal Fadhli, Jurusan Ushul Fiqh di Mahad Aly an-Nuur lid Diroosaat al-Islamiyah