Kapitalisme dan Liberalisme; Ancaman Nyata Indonesia
Kapitalisme dan Liberalisme; Ancaman Nyata Indonesia
(Ary Herawan, pengelola blog aryherawan.blogspot.com)
ISIS, kembali menjadi primadona opini media. Khususnya, setelah 16 WNI tertangkap di perbatasan Turki-Suriah, yang lima orang di antaranya adalah warga Ciamis. Paranoid bahaya ide ISIS pun kembali menggempur benak masyarakat, dari mulai opini ISIS sebagai S3 terorisme sampai pada ancaman terulangnya kembali Bom Bali.
ISIS memang fenomenal, terutama setelah gerakan tersebut mengaku sudah menegakkan khilafah. Namun, Ust. Bachtiar Nashir, dalam ceramahnya yang banyak diunggah di sosial media, menjelaskan bahwa ‘khilafah’ ISIS hanyalah upaya Barat untuk menghadang khilafah yang sebenarnya. Khilafah yang sebenarnya, insyaAllah akan tegak tidak akan lama lagi.
Kita memang perlu kritis terhadap keberadaan dan tingkah laku ISIS yang kontroversial. Pemahaman yang diusung ISIS harus diluruskan. Namun, jangan sampai kita terjebak pada agenda para pembenci Islam. Membelokkan ancaman-ancaman yang nyata di hadapan, menjadi terfokus pada ancaman-ancaman yang bersifat opini semata.
Bila tingkat ancaman itu ditinjau dari jumlah korban yang tewas. Mari kita bandingkan dengan jumlah korban tewas akibat narkoba, miras dan seks bebas. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa hampir 50 orang mati setiap hari karena narkoba di Indonesia. Bahkan, ia menjelaskan bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) hanya mampu merehabilitasi 18 ribu pecandu narkotik per tahun. Perlu 200 tahun untuk merehabilitasi seluruh pecandu yang berjumlah 4,5 juta jiwa.
(indonesia.ucanews.com/05/2/2015). Kemudian dalam Deklarasi Hari Anti Miras di Jakarta, koordinator Gerakan Moral Anti Miras (Genam), Fahira Fahmi Idris menyampaikan bahwa Genam mencatat sekitar 18.000 orang tewas setiap tahun di Indonesia akibat minuman keras (miras). (antaranews.com/1/9/2013). Hal ini berarti sebanding dengan korban tewas akibat narkoba, ada sekitar 49 orang mati setiap hari karena miras.
Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa dari 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA. (health.liputan6.com/13/6/2014). Bahkan, Kepala BKKBN Fasli Djalal saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (29/10) menyampaikan bahwa angka tersebut terus meningkat sekitar 1 persen/tahun. Selanjutnya, Kabar Priangan (12/03/2015) menyampaikan data tentang angka HIV/AIDS di Kota Tasikmalaya. Hingga awal 2015, diperkirakan 21.000 orang di Kota Tasikmalaya memiliki resiko tinggi mengidap HIV/AIDS dan 925 orang dengan HIV/AIDS.
Ratusan korban tewas akibat narkoba, miras dan seks bebas setiap harinya, tentu tidak ada hubungannya dengan paham ISIS. Liberalisme (paham kebebasan)-lah yang berada di balik semua itu. Menurut paham kebebasan, manusia bebas melakukan apa saja, selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Berbagai sarana (tempat) dan tindak kemaksiatan, sering berlindung di balik ide kebebasan tersebut.
Bila ancaman tersebut adalah ancaman terhadap wilayah Indonesia, mari kita bandingkan dengan ancaman akibat liberalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA). Konsorsium Pembaruan Agraria KPA melaporkan bahwa berdasarkan catatan Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dominasi asing di sektor Migas 70%, batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%, tembaga dan emas sebesar 85% serta diperkebunan sawit sebesar 50%. Jumlah ini menunjukkan bahwa betapa lemahnya posisi pemerintah untuk melindungi aset Negara. Selain itu peran pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik agraria di sektor pertambangan juga sangat lemah. Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 38 konflik di sektor pertambangan dengan luas konflik 197.365,90 ha (kpa.or.id/7/3/2014).
Liberalisme pun merasuk di bidang ekonomi. Staf Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Harris Balubun menyampaikan bahwa 34 persen daratan Indonesia diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Luasan tersebut belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C (rmol.co/28/9/2012). Wajar, bila ekonomi liberal disebut dengan kapitalisme. Karena para pemilik modal-lah yang menguasai negara. Pemerintah seolah hanya menjadi pelayan mereka.
Ide kapitalisme pun mengancam kelestarian lingkungan. Kawasan pesisir dan laut yang seharusnya terlindungi, tidak luput dari eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport. 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir (kompas/28/9/2012).
Selain eksploitasi SDA, kapitalisme global pun telah menyeret Indonesia ke dalam jeratan utang. Menurut data Bank Indonesia, total utang luar negeri Indonesia sampai Oktober 2014 dengan kurs Rp12.000/USD, mencapai Rp3.534 triliun. Sumber daya alam dikeruk habis, utang tetap menumpuk. Apalagi yang diharapkan Indonesia selain menyediakan pekerja sebanyak-banyaknya. Menjadi buruh di negara sendiri dengan beban pajak yang semakin berat.
Liberalisme dan kapitalisme akan terus menimbulkan ketidakadilan dan ancaman bagi Indonesia. Karena kedua ide tersebut membangun sistem kehidupan di atas asas selain agama (sekulerisme). Manusia dibiarkan mengatur dirinya sendiri dan melepaskan diri dari aturan Sang Pencipta. Akibatnya, sebagian manusia memangsa sebagian yang lain.
Oleh karena itu, sungguh umat Islam merindukan hadirnya kembali tatanan kehidupan yang tegak di atas aqidah Islam. Penerapan syariah Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Puncaknya, adalah penegakkan khilafah yang merupakan kepemimpinan umum umat Islam untuk menerapkan syariah, serta menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad. Kerinduan ini semakin bertambah seiring dengan bertambahnya pemahaman keislaman masyarakat. Sebuah kerinduan akan janji Allah SWT.
Keberadaan paham ISIS memang harus dikritisi.
Namun jangan sampai kita terjebak pada opini yang dimainkan Barat. Ancaman nyata liberalisme dan kapitalisme diabaikan. Malah sibuk dengan ancaman-ancaman opini yang menciptakan paranoid masyarakat atas istilah syariah, khilafah dan jihad. Padahal sejatinya, syariah dan khilafah adalah solusi hakiki untuk membebaskan Indonesia dari ancaman nyata liberalisme dan kapitalisme.