Kedudukan Akal Dalam Islam
Bagaimana kedudukan akal dalam Islam? Apakah akal tunduk kepada wahyu atau sebaliknya?
JAWABAN
Pada dasarnya, akal merupakan asas untuk (1) membuktikan kebenaran Islam, dan (2) untuk memahami ajaran Islam, serta semua hal yang berhubungan dengan Islam. Pertama, jika semesta pembicaraannya adalah akal sebagai alat untuk membuktikan keabsahan Islam sebagai agama, maka kita bisa menyatakan bahwa peran akal di sini berfungsi sebagai dalil (alat bukti).
Misalnya, keimanan seorang muslim terhadap eksistensi Allah, Muhammad Utusan Allah, serta al-Qur’an sebagai kalamullah didasarkan pada dalil ‘aqliy. Artinya, akal sebagai dalil untuk membuktikan apakah Allah SWT itu eksis atau tidak, al-Qur’an itu kalamullah atau tidak, dan Muhammad itu utusan Allah atau bukan.
Dalam tiga hal ini, Islam telah menggariskan bahwa akal berfungsi sebagai dalil atau alat untuk menguji ketiganya. Keimanan terhadap eksistensi Allah, al-Qur’an sebagai kalamullah, dan Mohammad sebagai utusan Allah, adalah fundamen paling mendasar yang akan membangun keseluruhan ajaran Islam.
Sedangkan ketiga hal mendasar ini dibangun di atas pembuktian akal. Berarti, Islam adalah ajaran yang disangga di atas akal. ‘Aqidah dan Syariah Keimanan terhadap eksistensi Allah Keimanan terhadap Muhammad sebagai utusan Allah Keimanan terhadap al-Qur’an sebagai Kalamullah.
Akal (sebagai alat bukti)
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kedudukan akal di atas wahyu. Tidak boleh dipahami demikian. Peran akal di sini hanyalah sebagai alat untuk membuktikan kebenaran dan keshahihan ajaran Islam. Setelah, terbukti bahwa Allah itu eksis, Muhammad itu benar-benar utusan Allah, dan al-Qur’an adalah kalamullah, akal bisa menetapkan, bahwa semua hal yang terkandung di dalam al-Qur’an merupakan kebenaran yang tidak bisa disanggah lagi.
Semua yang terkandung di dalam al-Quran mesti diyakini kebenarannya dan diamalkan oleh seluruh kaum muslim. Misalnya, keyakinan terhadap jin, malaikat, dan hari akhir tidak lagi didasarkan pada akal, akan tetapi didasarkan pada dalil naqliy yang telah dibuktikan kebenarannya melalui jalan akal, yakni al-Qur’an dan sunnah mutawatir. Setiap muslim harus tunduk dengan apa yang dibawa oleh Muhammad Saw. Akalnya harus tunduk dan menerima dengan pasrah semua perkara yang dibawa oleh Muhammad Saw, meskipun itu bertentangan dengan akalnya. Akal tidak bisa menjangkau, mengapa Allah SWT menciptakan surga, mengapa sholat mesti lima waktu dan seterusnya. Dalam perkara semacam ini, akal mesti tunduk di bawah wahyu, akalnya tidak boleh didudukkan sejajar atau lebih tinggi dibandingkan wahyu.
Kedua, adapun peran akal yang kedua adalah memahami wahyu (ajaran Islam) dan semua hal yang berhubungan dengannya. Tatkala seorang telah percaya kepada al-Qur’an dan Nabi Saw, maka ia dituntut untuk melaksanakan semua yang terkandung di dalamnya. Kewajiban untuk melaksanakan kandungan isi al-Qur’an mengharuskan seseorang untuk memahami teks-teks al-Qur’an serta semua hal yang berhubungan dengannya; misalnya memahami fakta yang hendak dihukumi dan sebagainya. Misalnya, seseorang tidak mungkin bisa mengerjakan sholat lima waktu sesuai dengan sunnah, jika ia tidak memahami dengan akalnya tatacara sholat yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.
Seorang muslim juga tidak akan bisa menghukumi dengan tepat status suatu perbuatan atau benda jika ia tidak memahami secara rinci fakta dari perbuatan dan benda tersebut. Demikianlah, kedudukan akal tidak lebih hanyalah sekadar sebagai alat pembukti dan alat untuk memahami wahyu. Pembuktian terhadap eksistensi Allah, Muhammad utusan Allah, dan al-Qur’an sebagai kalamullah, didasarkan pada akal. Sedangkan, penetapan hukum atas suatu perbuatan dan benda —yang dikaitkan dengan halal haram— harus didasarkan pada wahyu, bukan akal. Akal hanya berfungsi untuk memahami, bukan berkedudukan sebagai dalil. Dalilnya tetap al-Qur’an dan sunnah, sedangkan akal hanya berfungsi untuk memahami dalil dan fakta yang hendak dihukumi.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Ustadz Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy