Kegagalan Manusia Menata Peradaban
Kegagalan Manusia Menata Peradaban
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).— TQS. Ar-Rum: 41
Anda tentu masih ingat dengan the days of ignorance (zaman jahiliah) di jazirah Arab. Saat itu manusia hidup dengan hukum dan budaya jahiliah (kebodohan). Berbagai kerusakan menjadi bagian kehidupan manusia. Seorang ayah merasa malu bila memiliki anak perempuan. Sebagian dari mereka tega membunuh anak sendiri sebelum beranjak dewasa. Moralitas juga hancur. Pelacuran tumbuh subur. Tidak hanya pelacuran, sebagian suami malah merelakan istrinya digauli laki-laki lain demi perbaikan keturunan. Perbudakan terhadap manusia juga jauh dari perikemanusiaan. Zina, riba, dan minuman memabukkan tampak secara nyata dalam kehidupan. Zaman kebodohan ini beranjak pergi setelah manusia diatur dengan aturan Ilahi yang berasal dari Al-Khaliq. Muhammad saw. dan pengikutnya membawa perubahan di jazirah Arab dan sekitarnya dengan me-landing-kan Islam.
Dunia juga mengenal the dark ages (zaman kegelapan) di abad pertengahan Eropa. Saat itu doktrin gereja dan otoritas absolut penguasa mengatur manusia dengan kekuasaan represif. Gereja dan raja berkolaborasi mengatur manusia. Semboyan L’etat c’est Mo (negara adalah saya) begitu terasa di tengah kehidupan masyarakat. Raja diposisikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan gereja memberi legitimasinya. Itulah kekuasaan teokrasi. Hasilnya? Manusia hidup tertindas di bawah kekuasaan despotik dan represif. Kebenaran harus tunduk di bawah doktrin gereja dan raja. Ilmu pengetahuan dianggap bid`ah dan korbannya adalah para ilmuwan yang mengemukakan kebenaran saintifik. Manusia hidup tertekan dan terpasung dengan doktrin-doktrin yang dipaksakan. Penindasan terjadi di mana-mana, termasuk penindasan terhadap kebenaran. Suara kebenaran dipasung dan banyak yang mati di tiang gantungan, salah satunya penyuara teori heliosentris, Copernicus.
The dark ages berakhir dengan perjuangan ilmuwan dan intelektual di abad kegelapan Eropa melahirkan abad pencerahan, the age of enlightenment. Ini terjadi sekitar abad ke-18 M. Mereka bersemangat melakukan revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional dari berbagai aspek, terutama terkait falsafah soverignity, kedaulatan. Kedaulatan tidak lagi ditangan raja atau biarawan, tapi di tangan rakyat (demokrasi). Suara rakyat adalah suara Tuhan menggeser pandangan raja sebagai wakil Tuhan. Benturan keras antara prinsip gereja dengan kegelisahan intelektual melahirkan kompromi berupa ide sekulerisme. Sekulerisme ini adalah paham yang memisahkan agama dari urusan publik. Artinya, agama boleh saja ada tapi tidak boleh dibawa-bawa masuk ke ranah negara dan masyarakat. Agama haram mengatur wilayah politik, ekonomi, hukum, sosial, dan masalah publik lainnya. Karena ekonomi merupakan aspek yang paling dominan dari sekulerisme, maka kemudian faham ini juga dinamakan Kapitalisme. Ideologi Kapitalisme inilah yang kemudian melahirkan Impreialism Era, zaman penjajahan.
Sekarang kita hidup di era dengan wajah yang agak berbeda. Sekulerisme atau Kapitalisme semakin mengglobal. Imperialisme masih mewarnai dunia dengan wajah baru (new imperialism). Saya telah memberi gelar untuk zaman kita hari ini dengan gelar The Failure Era, Era Kegagalan. Mungkin Anda bertanya kenapa disebut Era Kegagalan.
Ciri yang pertama adalah banyak manusia yang gagal menata kehidupan pribadinya. Mereka tidak mengetahui bagaimana meraih kebahagiaan, dan terperangkap dalam kesenangan yang dapat menyengsarakan. Di samping itu banyak pula yang tidak mendapatkan kehidupan yang layak, menderita dan tidak bahagia. Ciri kedua adalah kegagalan manusia secara kolektif menata peradaban. Manusia gagal menata kehidupan agar menjadi lebih baik, walaupun secara kumulatif manusia memiliki keberlimpahan materi dan ilmu pengetahuan.
Cobalah tengok dunia kita hari ini. Bisakah Anda temukan berbagai krisis yang melanda umat manusia? Bila ada sedikit kepedulian maka kita mudah menemukan kenyataan adanya krisis multi dimensi. Wajah penuh krisis yang menunjukkan peradaban manusia sedang sakit. Berbagai krisis terus menggulung dunia dan menjadi bagian lazim dari kehidupan. Anda tentu mengenal krisis ekonomi, krisis finansial, krisis lingkungan, pemanasan global, krisis sosial, krisis moral, krisis kemanusiaan dan berbagai krisis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semua jenis krisis ini menandakan bahwa manusia memasuki era kegagalan. Bila dibahas satu per satu semua krisis ini, In Sya’a Allah tidak akan pernah selesai dalam berlusin-lusin buku.
Tidak banyak orang yang peka dengan kepedihan dan penderitaan di balik judul berita di atas. Mudah-mudahan kita tidak termasuk di dalamnya. Kita masih bisa merasakan impuls-impuls perihnya problem peradaban yang terjadi di seluruh dunia. Berita-berita yang semacam ini menunjukkan banyak sekali pekerjaan rumah untuk membenahi peradaban. Sebuah peradaban di Era Kegagalan yang dihasilkan oleh para Erisychthon modern.
Penyebutan istilah Era Kegagalan untuk zaman sekarang saya kira sangat tepat, mengingat manusia sekarang hidup dalam keberlimpahan ilmu dan teknologi. Seperti yang dikatakan Prof. James Duderstadt, dalam The University for the 21st century, bahwa era sekarang adalah the age of abundance knowledge. Manusia telah memproduksi ilmu pengetahuan dengan kecepatan yang mengagumkan dan dalam jumlah yang berlimpah ruah. Cabang-cabang ilmu yang dihasilkan semakin banyak. Belum lagi kerja dan temuan ilmiah yang jumlahnya tidak terhingga. Namun, keberlimpahan ilmu ini tidak membawa dunia berjalan lebih baik.
Saya ingin memberi gambaran tentang banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Ilmu pengetahuan sekarang dapat dibagi dalam cabang-cabang seperti ilmu alam (natural science), ilmu sosial (social sciences), sains formal (formal sciences), dan sains terapan (applied science). Ini tidak termasuk filsafat, ilmu agama dan ilmu interdisipliner.
Ilmu alam secara garis besar terbagi menjadi physical science (termasuk fisika dan kimia),earth science (termasuk oceanography, geology, metereology, ecology dan lain-lain), life science (termasuk anatomi, fisiologi, biokimia, pertanian, zoology, botani, embryology dan lain-lain).
Untuk ilmu sosial termasuk di dalamnya anthropology, archaeology, business administration, communication, criminology, economics, education, government, linguistics,international relations, political science, psychology, sociology, history, law dan lain-lain.
Sains formal seperti logic, mathematics, statistics, theoretical computer science, information theory, game theory, systems theory, decision theory, dan lain-lain. Sains terapan termasuk di antaranya applied engineering, applied mathematics, archaeology, artificial intelligence,computing technology, electronics, energy technology, engineering physics, food science,fisheries science, material science and engineering, medicine, nanotechnology, nuclear technology, optics, security technology dan lain-lain.
Demikianlah cabang dan ranting ilmu yang tidak mungkin bisa kita tuliskan di sini seluruhnya. Pertanyaan yang patut direnungkan mengapa keberlimpahan ilmu di atas tidak membuat manusia sukses menata peradaban?
Manusia terus menerus memproduksi ilmu pengetahuan namun terus menerus pula memproduksi krisis. Manusia tidak mampu menciptakan peradaban yang berkah. Seharusnya, dengan modal ilmu yang menggunung membuat manusia semakin canggih dalam mengatur dunia. Bukankah manusia semakit hebat dalam analisa, perencanaan, proses, prediksi, kendali dan berbagai instrumen sebagai bekal mengatur dunia? Namun, modal berlimpah ini tidak membuat kehidupan manusia menjadi semakin sehat, tapi malah terlihat semakin sempoyongan.
Lihat saja paradoks berikut. Manusia memiliki segudang ilmu ekonomi, tapi mengalami krisis ekonomi, krisis moneter, kemiskinan, kelaparan dan kesenjangan ekonomi. Manusia memiliki segudang ilmu politik, tapi politik menjadi sesuatu yang paling kotor dalam pandangan banyak orang. Para politisi oportunis mudah dilihat, janji palsu menjadi bagian kampanye, pemilu berbiaya mahal, keserakahan menjadi budaya politisi dan rakyat tidak dilayani dengan layak. Manusia memiliki segudang ilmu sosial, tapi masalah sosial semakit akut dan kronis. Di antaranya manusia akrab dengan narkoba, pergaulan bebas, kerusuhan, kekerasan dalam rumah tangga, human trafficking, dan lain-lain. Manusia memiliki segudang ilmu hukum, tapi juga akrab dengan kebobrokan aparat hukum, kriminalitas, jual beli hukum dan lain-lain. Manusia akrab dengan ilmu lingkungan tapi juga akrab dengan kerusakan lahan, banjir, penggundulan hutan, erosi, limbah industri, tailing dan global warming. Manusia memiliki segudang ilmu pendidikan, tapi terus memproduksi manusia hedonis, materialis, pengangguran, miskin nilai, teralienasi, serakah dan lain-lain. Manusia memiliki segudang ilmu kesehatan tapi berbagai bibit penyakit terus mengancam seperti HIV/Aids. Singkat kata, manusia telah gagal menata peradaban walaupun memiliki modal ilmu dan teknologi.
(Dicuplik dari Bab 7 The Failure in Civilization, buku The MODEL).
baca juga: artikel yang serupa disini