Kerjasama Suami Istri Dalam Perjuangan Tegaknya Islam
Kerjasama Suami Istri Dalam Perjuangan Tegaknya Islam
Mustanir.com – Menegakkan agama atau iqomatuddin tentunya menjadi tujuan yang sangat prioritas bagi setiap Muslim, tidak terkecuali bagi pasangan suami istri. Dalam meraih tujuan ini dibutuhkan kerjasama yang sangat solid karena hal ini bukanlah perkara mudah.
Abu Rusydan dalam tulisannya yang dipublikasikan kiblat, menjelaskan tentang perkara ini termasuk syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam realisasi proyek besar ini. Berikut tulisnya:
Ada satu kisah nyata yang menarik. Seorang ibu datang kepada saya, dan mengadu. “Ustadz, apakah jihad ini sudah berhenti?” Dalam beberapa saat saya tidak bisa menjawab. Saya terdiam. “Memang ada apa, Bu?” saya coba menelisik. Saya pikir persoalannya serius, panjang. Tapi jawabannya itu menarik. Saya (mungkin antum juga akan) tersenyum.
“Suami saya itu kok kenapa lama di rumah. Ndak pernah pergi-pergi untuk urusan jihad. Saya sampai jenuh. Sampai bosen.”
Bagi saya, kedatangan ibu tadi cukup menarik, karena memberikan gambaran bagaimana suami-istri saling menopang, saling mengingatkan satu sama lain untuk tetap tsabat dalam iqomatuddin. Bahasa lainnya, Husnut ta’awun di dalam urusan iqomatud din.
Lalu, bagaimana agar sebuah rumah tangga bisa harmonis bekerjasama untuk sebuah proyek dan perjuangan besar bernama iqomatuddin? Setidaknya harus ada tiga syarat berikut ini.
- سَمَاحَةُ النَّفْسِ
Yang pertama adalah apa yang disebut dengan samaahatun nafs. Arti paling mudahnya adalah: kedermawanan hati atau kelapangan dada.
Karena persoalan-persoalan yang kita hadapi dalam perjuangan ini jelas panjang dan berat, langkah pertama kita adalah fokus. Fokus bahwa kita punya persoalan besar. Maka, sebaiknya perkara-perkara yang kecil tidak kita jadikan perkara besar. Itu diperlukan samaahatun nafs. Bagaimana kita ini menjadi pemaaf, baik di dalam lingkungan keluarga, di dalam pergaulan sesama ikhwan atau akhwat atau di dalam pergaulan yang lebih besar lagi.
Misalnya dalam sebuah keluarga, suami merasakan pelayanan yang kurang dari istrinya, atau sebaliknya. Maka, berlapang dadalah. Jangan terlalu sibuk dalam urusan-urusan yang sebenarnya masih bisa ditoleransi. Mengapa? Karena kita menghadapi persoalan yang lebih besar lagi. Yaitu persoalan Iqomatud dien ini.
Yang penting kekurangan-kekurangan itu tidak secara fatal melanggar ketentuan syari’at. Misalnya hanya persoalan-persoalan selera atau hal yang sederhana lainnya. Penampilan suami atau istri yang kurang sedap dipandang, asesori dan perlengkapan rumah yang kurang, dan lainnya. Untuk persoalan-persoalan sederhana seperti itu, hendaklah berlapang dada. Marilah kita pikirkan persoalan yang jauh lebih besar daripada itu.
Demikian pula misalnya jatah untuk makanan yang berlebih tidak ada. Pakaian cukup satu pasang satu musim hujan, satu pasang untuk musim kemarau misalnya. Kita harus sabar. Karena apa? Sekali lagi, karena kita punya persoalan yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar urusan-urusan yang seperti itu.
- حُسْنُ التَّعَاوُنِ عَلَى إِقَامَةِ دِيْنِ اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Kemudian yang kedua adalah bagaimana ada husnut ta’awun ‘ala iqomatid dinillah ‘azza wa jalla secara umum dan jihad fi sabilillah secara khusus. Ada kerjasama yang baik di dalam keluarga itu dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan iqomatud din pada umumnya dan al-jihad fi sabililah pada khususnya.
Masing-masing suami istri itu punya harapan kepada pasangannya. Harapan bahwa kehidupan keluarga itu akan harmonis. Tetapi bila ada sedikit yang kurang dari masing-masing pasangan kita, cobalah kita pahami. Yang penting bisa diajak bekerjsama untuk iqomatud din dan jihad fi sabilillah.
Kalau kita tidak bisa, bahasa yang paling ekstrim saya katakan begini: Kalau kita tidak bisa jadi suami yang baik, jangan sampai tidak bisa menjadi partner perjuangan yang baik. Begitu juga para ummahat. Kalau ummahat tidak bisa menjadi istri yang baik bagi suami, paling tidak jangan sampai tidak menjadi partner perjuangan dan iqomatud-din yang baik.
Husnut ta’awun kita harus sampai pada pemikiran seperti itu. Maafkanlah perkara-perkara yang berhubungan dengan hak istri atau hak suami. Agar kita sebagai pasangan, sebagai partner di dalam urusan iqomatud din ini tetap bisa bertahan. Syukur-syukur kalau harapan suami terhadap istri terpenuhi; demikian juga harapan istri terhadap suami juga terwujud.
Kalau kita bisa menjadi partner perjuangan, insya Allah bisa menjadi partner sebagai istri atau istri yang baik. Sebab perjuangan kita dijamin Allah SWT.
Ini perkara penting sekali. Sebab kita menghadapi qadhiyah (masalah) yang lebih besar. Yang pertama,samahatun nafs. Yang kedua adalah husnut ta’awun ‘ala iqomatid dinillahi ‘azza wa jalla wa ‘ala jihadi fi sabilillahi.
Kalau tidak, maka yang terjadi seperti disinggung ayat di bawah ini:
ضَرَبَ اللّهُ مَثَلًا لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا امْرَأَةَ نُوْحٍ وَامْرَأَةَ لُوْطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللّهِ شَيْئًا وَقِيْلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)” (At-Tahrim: 10).
Ada wanita yang Allah jadikan contoh sebagai penghianat atau dijadikan merek bagi orang-orang kafir, yaitu istrinya Nuh AS dan istrinya Luth AS. Bagaimana istri Nuh dan istri Luth yang berada di bawah asuhan dua hamba Allah yang saleh yang juga nabi, tetapi mereka berhianat. Mereka bukan menghianati sebagai istri. Lalu berkhianat dalam hal apa?
Istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth itu disebut berhianat kepada suami-suaminya, bukan karena selingkuh atau yang sejenisnya. Sebagai partner dalam rumah tangga, sebagai istri, mereka partner yang baik. Mereka istri yang baik. Tapi mari kita kaji tafsir.
Istri Nabi Nuh AS disebut berhianat kepada Nabi Nuh karena satu masalah saja: ikut-ikutan orang banyak menyebut Nabi Nuh gila. Sementara istri Nabi Luth AS dianggap sebagai penghianat, juga bukan karena selingkuh, bukan karena tidak baik sebagai istri. Tetapi karena ia memberi tahu orang kampung bahwa ada tamu yang datang ke rumahnya. Itu saja. Coba kita renungkan!
Persoalannya tidak ada husnut ta’awun dari kedua istri tersebut. Tidak ada kerja sama yang baik dalam iqomatud din, menegakkan din Allah SWT. Itulah yang kemudian mereka digelari Allah SAW sebagai penghianat dan dijadikan merek untuk orang-orang kafir.
Terakhir, setelah samahatun nafs kemudian husnut ta’awun, maka yang ketiga ini penting sekali.
- نَشْرُ الْإيْجَابِيَاتِ وَالسُّكُوْتُ عَنِ الْعُيُوْبِ وَالسَّيِئَةِ
Yaitu bagaimana kita menyebarkan optimisme, perkara-perkara yang positif (ijaabiyaat) dan kita berdiam diri terhadap kelemahan-kelemahan, aib-aib dan perkara-perkara yang buruk.
Kalau ada orang datang membicarakan sesuatu yang membuat para mujahid, atau seorang mujahid, atau keluarga mujahid itu menjadi sedih, kecil hati, menjadi dihinakan, jangan kita ikuti! Kita suruh pulang saja orang yang seperti itu.
Kalau ada jaringan twitter, facebook dan SMS yang menyebarkan gosip dan perkara-perkara yang tidak jelas, fitnah terhadap seorang mujahid, dikembangkan menjadi SMS berantai, sehingga tercipta satu opini maka itu adalah racun.
Mari kita coba sebarkan perkara-perkara positif. Kemudian yang baik dan kita berdiam diri terhadap perkara-perkara yang buruk dan aib-aib. Sebab, perkara ini terlalu menyedot energi yang besar di kalangan kaum muslimin, khususnya para mujahidin. Mulai dari SMS berantai, Facebook, twitter sampai berujung menjadi masalah. Membuat opini buruk, menghina seseorang dan sebagainya, padahal orang yang “difitnah” itu seorang mujahid.
Mari kita seriusi tiga perkara ini. Yaitu, bagaimana kita ini bisa toleran, memaafkan untuk perkara-perkara kecil yang ada dalam rumah tangga. Dari ini kita mampu untuk fokus kepada perkara besar, iqomatuddin dan jihad fi sabilillah. Kemudian yang kedua, bagaimana ada kerja sama yang baik di dalam iqomatuddin, khususnya jihad fi sabilillah. Baik di dalam keluarga maupun di dalam hubungan-hubungan yang lain. Kemudian yang ketiga, bagaimana kita menyebarkan perkara-perkara yang membuat para mujahidin dan keluarganya, para aktivis ini menjadi besar hati, tidak malah menjadi sedih. Menjadi bersemangat untuk bekerja.
Mari kita menghindari perkara-perkara yang membuat para mujahidin, para keluarga mujahidin atau para aktivis ini menjadi kecil hati. Menjadi tidak bersemangat, bersedih, pesimistis dan sebagainya. Sebab kalau tidak berlaku seperti itu, secara tidak langsung, kita sedang menikam diri sendiri. (muslimahzone/adj)