Ketika Mashlahat Dakwah Dipertuhankan Oleh Aktivis Dakwah
Ketika Mashlahat Dakwah Dipertuhankan Oleh Aktivis Dakwah
Mustanir.com – Masih segar dalam ingatan kita manuver para petinggi partai –yang mengaku- Islam yang tanpa rasa malu mempertontonkan tingkah polah mereka yang lebih layak dilakukan oleh para badut politik. Berbagai pernyataan yang membingungkan umat pun meluncur deras dari mulut-mulut mereka. Dari “Kekecilan baju kalau memakai atribut Islam, Isu syari’ah Islam sudah tidak menjual lagi, NKRI sudah final, Cuma selembar kain kok diributkan dan sebagainya”.
Kita mungkin heran, bagaimana bisa para figur panutan yang dulunya begitu fasih menjelaskan makna Thoghut kepada para mad’u nya, begitu bersemangat mendakwahkan syari’ah Islam dan menanamkan Aqidah Al Wala’ Wal Bara’ kepada umat, kini berubah 180 derajat, berkoalisi dengan partai sekuler yang sangat anti syari’ah Islam bahkan menjadi kepanjangan tangan musuh-musuh Islam.
Sebenarnya fenomena seperti ini sudah diingatkan oleh Asy Syahid –Insya Allah- Sayyid Quthub Rahimahullah yang nota bene adalah “guru spiritual” para tokoh politik itu. Bahwa setiap penyelewengan dari manhaj dakwah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam walau sejengkal saja, pada akhirnya pasti akan menjadi penyimpangan yang luar biasa jauhnya.
Dalam surat wasiat [1] untuk adiknya, Aminah Quthub, Sayyid Quthub Rahimahullah menulis :
“Sulit bagi saya membayangkan bagaimana mungkin kita akan sampai pada tujuan mulia dengan menggunakan wasilah (alat bantu/perantaraan) yang kotor. Tujuan yang mulia hanya akan hidup di dalam hati nurani yang mulia pula. Karenanya, bagaimana mungkin nurani yang mulia itu mau menggunakan wasilah busuk lagi kotor. Atau –yang lebih ironis lagi- bahkan mendambakan hidayah dan pertolongan Allah melalui wasilah busuk itu ?
Ketika kita telah tersesat dalam sebuah penyimpangan, sebagai dampak dari lumpur kesalahan yang kita lalui, maka tidak terelakkan lagi kita pasti akan berada dalam penyelewengan yang sangat kotor. Karena jalan yang penuh dengan lumpur pasti akan meninggalkan bekas kotor pada kaki orang-orang yang melewatinya. Demikian pula halnya dengan wasilah yang kotor, pastilah akan menimbulkan noda hitam yang akan terus menempel dan meninggalkan bekas kekotoran pada jiwa kita serta pada tujuan yang akan kita capai”.
Dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, menjelaskan surah Al Hajj ayat 52, yang artinya
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS Al Hajj 52)
- Sayyid Quthub Rahimahullah mengatakan :
“Panasnya pergolakan dan kecamuk pertarungan telah mendorong para aktifis dakwah sepeninggal Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam untuk terus merupaya menegakkan Risalah ini. Namun di sisi lain tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengambil jalan pintas dengan menggunakan berbagai wasilah, strategi dan metode yang melenceng dari kaidah dan manhaj dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Hal itu tidak lain disebabkan oleh ketergesa-gesaan dan ketidak sabaran untuk segera memperoleh kemenangan dan keberhasilan dakwah mereka.
Jalan pintas itu adalah hasil ijtihad mereka atas apa yang mereka sebut dengan “mashlahat dakwah”. Padahal yang dimaksud dengan mashlahat dakwah yang sebenarnya adalah sikap istiqomah dari para pengemban amanah dakwah agar senantiasa berada di atas manhaj dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam tanpa sedikit pun tergoda untuk berpaling darinya walau selangkah pun. Adapun hasil akhir dari dakwah adalah perkara ghaib yang tidak ada satupun yang tahu kecuali Allah Azza Wa Jalla wa Jalla.
Dengan demikian tidak selayaknya bagi para aktifis dakwah menjadikan hasil akhir sebagai tolok ukur dan tujuan utama dakwah mereka. Kewajiban mereka hanyalah menegakkan dakwah di atas manhaj yang lurus dan bersih dari berbagai penyimpangan, seraya bertawakkal dan menyerahkan seluruh hasil usaha yang telah dilakukan dengan penuh istiqomah kepada Allah Azza Wa Jalla wa Jalla. Jika ini telah dilakukan, niscaya kebaikan lah yang akan diperoleh, apapun hasil yang dicapai.
Ayat di atas mengingatkan mereka bahwa syaitan tidak akan pernah berhenti menghembuskan tipu daya dan godaan-godaannya terhadap para aktifis dakwah. Allah telah melindungi para Rasul dan nabi yang ma’shum sehingga mereka mampu membebaskan diri dari setiap tipu daya syaitan dan tetap istiqomah pada manhaj dakwah yang lurus. Namun tidak demikian halnya dengan para aktifis dakwah setelah mereka. Karena itu sudah seyogyanya bagi setiap aktifis dakwah agar berhati-hati dan waspada terhadap godaan syaitan ini dan tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada syaitan untuk menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan disebabkan oleh besarnya keinginan untuk segera mencapai keberhasilan dakwah dan memberikan “mashlahat” bagi umat Islam.
Tidak ada jalan lain, kalimat “mashlahat dakwah” harus dibuang jauh-jauh dari kamus para aktifis dakwah, karena ia telah memalingkan mereka dari tujuan dakwah yang mulia dan menjadi pintu masuk syaitan untuk menyesatkan mereka setelah gagal menjerumuskan mereka melalui pintu mashlahat pribadi.
- Lebih lanjut Sayyid Quthb menambahkan :
“Mashlahat dakwah” telah menjelma menjadi berhala, Ilaah yang diibadahi oleh para aktifis dakwah dan menjadikan mereka melupakan manhaj dakwah Rasul yang murni dan orisinal. Karena itu, wajib bagi setiap aktifis dakwah untuk tetap istiqomah di atas manhaj Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam serta dengan sekuat tenaga menjaga agar tidak tergoda oleh segala bujuk rayu yang pada akhirnya justru akan menghancurkan bangunan dakwah yang telah mereka bina.
Ketahuilah bahwa satu-satunya bahaya yang harus terus diwaspadai oleh para aktifis dakwah adalah penyimpangan dari manhaj dakwah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam dengan alasan apapun, sekecil apapun penyimpangan itu. Karena sesungguhnya Allah lah yang lebih Mengetahui tentang mashlahat dibandingkan mereka. Sedangkan mereka tidak dibebani sama sekali untuk mewujudkan mashlahat itu. Mereka hanya diwajibkan atas satu hal saja : “agar tidak menyimpang sedikit pun dari Manhaj Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam dan tidak menyerah kalah lalu meninggalkan jalan dakwah yang penuh berkah ini. “ . [2]
Semoga Allah merahmati Sayyid Quthub atas nasehat yang sangat berharga ini, di saat kita menyaksikan dengan mata telanjang aksi para politikus partai –yang mengaku- Islam yang menghalalkan segala cara, menjual diri kepada para Thaghut dengan mengatasnamakan “mashlahat dakwah”.
Rasanya siapa pun yang memiliki hati nurani yang bersih pasti akan mengatakan bahwa tingkah polah mereka hanyalah menjual agama untuk kepentingan syahwat dan nafsu kekuasaan belaka. Mereka mengatasnamakan Islam untuk semua tindakan mereka, padahal Islam telah berlepas diri dari mereka.
Jika memang kemenangan yang mereka dambakan, alangkah jauhnya perbandingan antara tingkah polah yang mereka pertontonkan dengan gambaran Al Qur’an tentang para pejuang Tauhid sejati dalam surat Al Buruj. Lebih lanjut Sayyid Quthub menulis dalam bukunya “Ma’alim Fit Thariq” tentang arti dan hakekat kemenangan sejati :
“Kehidupan dunia yang diwarnai oleh berbagai macam keadaan dan suasana. Kenikmatan hidup, kesenangan, penderitaan, kebahagiaan memperoleh sesuatu, kekecewaan kehilangan sesuatu, bukanlah merupakan nilai yang paling mahal di dalam neraca timbangan. Kehidupan dunia lahiriah ini bukanlah merupakan faktor yang menentukan nilai menang atau kalah, untung atau rugi. Kemenangan hakiki bukanlah selama-lamanya berarti kemenangan lahiriah, yang nampak dipandang oleh mata kasar. Sebab kemenangan yang nampak disaksikan oleh mata kasar dan panca indera lahir itu hanyalah salah satu bentuk kemenangan saja. Padahal kemenangan itu amatlah beragam bentuknya.
Sesungguhnya nilai yang paling berharga di dalam neraca Allah Ta’ala adalah nilai aqidah. Sesuatu yang paling laris dalam perniagaan Allah adalah iman. Kemenangan yang paling bernilai di sisi Allah ialah kemenangan ruh atas kebendaan, kemenangan aqidah menghadapi sakit dan sengsara, kemenangan iman menempuh badai fitnah dan ujian.
Di dalam kisah pembunuhan beramai-ramai di dalam parit api (Ashabul Uhdud), yang kita perbincangkan ini, nyata sekali kemenangan orang-orang beriman itu mengalahkan perasaan takut dan sakit. Kemenangan mengatasi godaan-godaan duniawi, kemenangan menghadapi fitnah, kemenangan kehormatan dan harga diri umat manusia di sepanjang zaman. Inilah kemenangan sejati !”. [3]
Sebuah pelajaran amat berharga dari seorang Sayyid Quthub yang telah menorehkan sejarah hidup dan perjuangannya dengan tinta dan darahnya, hingga syahid menjemput.
Allahumma Anta Rabbuna, farzuqnaa al istiqomah wasy syahadah, Ya Allah, Engkaulah Rabb kami, maka anugerahkanlah kepada kami sikap istiqomah dalam berjihad di jalan-Mu dan matikanlah kami sebagai para syuhada’.
[1] Wasiat ini pertama kali dirilis oleh Majalah Al Fikr Tunisia edisi VI Maret 1959 dengan judul “Cahaya dari Kejauhan”.
[2] Tafsir Fi Dzilalil Qur’an Juz 4 halaman 2435, Al Qoul An Nafiis Fit Tahdzir Min Khodi’ati Iblis (Mashlahah Da’wah) karangan Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi halaman 60 – 61
[3] Petunjuk Sepanjang Jalan (Ma’alim Fit Thariq) 161 – 162