Kita ini Orang Islam yang Kebetulan Hidup di Indonesia, ataukah Orang Indonesia yang Kebetulan Beragama Islam?
Beberapa dekade yang lalu, seorang tokoh nasional yang sekarang sudah wafat, pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, “Kita ini, sebetulnya orang Islam yang kebetulan hidup di Indonesia, ataukah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam?” Pertanyaan ini sepintas bukan sesuatu yang serius, tetapi jika dibaca pelan-pelan dengan cermat, maka termuat dua paradigma yang sangat bertolak belakang secara fundamental.
Lalu menurutnya, jawaban yang benar adalah jawaban yang dibangun dengan paradigma, bahwa kita adalah “orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam”. Menurutnya, paradigma ini memandang Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal, seperti: kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid.
Kemudian, ia melanjutkan bahwa untuk menjadi Muslim, seseorang tidak harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara yang kearab-araban, berjenggot, menggunakan jilbab, dan lain sebagainya. Ciri khas Muslim asli Indonesia, diantaranya: Menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktivitasnya, dan senang berziyarah kubur. Bagi lelaki, menggunakan peci khas Jawa dan bersarung. Sementara bagi wanita menggunakan kerudung hanya untuk menutup rambut dan lehernya dibiarkan terbuka, serta menggunakan pakaian jarik.
Lebih dari itu, lalu ia menarik simpati dari banyak orang dengan mengatakan, bahwa Islam asli Indonesia adalah Islam yang damai, toleran dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, Islam yang “bukan Indonesia”, menurutnya, cenderung tidak cintai damai, suka kekerasan, suka perang, mengijinkan aksi terorisme, dan lain-lain. Dengan pernyataan yang tampak memukau ini, dia berhasil mendapatkan pengikut dan simpati dari kalangan pemuda pada waktu, yang sekarang sudah menjadi tua. Bahkan, sampai sekarang, banyak pemuda yang terpesona dengan gagasannya, dan “siap melakukan apapun” untuk membelanya.
Bagaimana sebenarnya mendudukkan masalah ini secara proporsional? Mana yang benar: “Kita ini sebetulnya orang Islam yang kebetulan hidup di Indonesia, ataukah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam?”
*******
Dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan dan pertanyaan apapun, hal itu sangat ditentukan oleh pemahaman seseoarang. Bagi seseorang yang memahami Islam lebih penting dari Indonesia, maka ia akan menjawab bahwa: “ia adalah orang Islam yang kebetulan hidup di Indonesia”, tetapi bagi seseorang yang menganggap Indonesia lebih penting daripada Islam, maka ia akan menjawab bahwa: “ia adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam”. Tetapi, jawaban ini tentu saja sangat subyektif.
Selain aspek “mana yang lebih penting”, dalam memberi jawaban atas pertanyaan ini juga ditentukan oleh “definisi Islam” dan “definisi Indonesia” yang dipahami olehnya. Terkait definisi Islam, ada yang memahami Islam hanya sekedar budaya, ada yang memahami Islam hanyalah sekedar agama seperti Hindu atau Buda, ada yang memahami Islam adalah ideologi, dan ada yang memahami bahwa Islam adalah jalan hidup (diin atau way of life) yang diturunkan oleh pencipta alam semesta ini. Sementara tentang definisi Indonesia, ada yang memahami Indonesia sebagai sebuah bangsa, ada yang memahami Indonesia sebagai negeri, ada yang memahami Indonesia sebagai negara, ada yang memahami Indonesia sebagai budaya, dan lain sebagainya. Pemahaman tentang definisi yang beragam tentang Islam dan Indonesia ini akhirnya membuat seseorang berbeda dalam memberikan jawaban.
Di sini, saya tidak akan membahasa panjang lebar tentang definisi Islam dan Indonesia. Tentang definisi Indonesia saya sudah membahasa pada tulisan yang lain. Namun demikian untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut kita memang perlu definisi tentang Islam dan Indonesia. Di sini Islam didefinisikan sebagai diin (jalan hidup atau way of life) yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan orang lain. Sementara Indonesia didefinisikan sebagai bangsa dan negeri (tempat), bukan sebagai negara. Bangsa adalah masyarakat dengan kesamaan asal-usul dan nenek moyang. Negeri adalah nama suatu tempat atau wilayah di dunia ini, dimana masyarakat hidup di dalamnya.
Dengan pemahaman yang baik tentang definisi Islam dan Indonesia, maka kita akan dengan mudah memberikan jawaban yang obyektif tentang pertanyaan ini.
Untuk menjawab dengan obyektif, pertanyaan tersebut akan sedikit dimodifikasi terlebih dahulu: “Kita lahir di Indonesia itu kebetulan (takdir) atau pilihan? Dan kita memeluk Islam itu kebetulan atau pilihan?”.
Pertanyaan pertama: “Kita lahir di Indonesia itu kebetulan (takdir) atau pilihan?” Jawaban dari pertanyaan ini sangat jelas, bahwa kita lahir di Indonesia adalah takdir (kebetulan), bukan suatu pilihan. Bagi orang yang mengidolakan barat, seandainya disuruh milih, pasti dia ingin dilahirkan di Amerika atau Inggris dan diberi nama Michael atau George, namun apa daya, ia lahir di Indonesia dan diberi nama Siti Musdah atau Paijo, dan lain-lain. Jadi, kita lahir di Indonesia dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia adalah suatu yang kebetulan atau takdir, bukan suatu pilihan.
Sementara untuk tinggal di Indonesia atau selain Indonesia, ini memang pilihan. Bisa saja kita lahir di Indonesia, namun kita kemudian pindah ke Amerika, Inggris, Irak, Mesir atau yang lain. Meski demikian kita tetap dianggap memiliki kewarga-negaraan Indonesia.
Pertanyaan kedua: “Kita memeluk Islam itu kebetulan atau pilihan?”. Saya tidak tahu pendapat orang lain, namun bagi saya sangat jelas, meskipun saya ditakdirkan lahir di keluarga Muslim (dan saya sangat bersyukur atas hal itu), namun Islam itu adalah pilihan saya. Kalau saya mau, saya bisa memilih agama apapun selain Islam. Namun, menurut saya, Islam adalah agama yang diridloi Allah, yang akan mengantarkan orang yang konsisten di dalamnya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Saya dulu dan sekarang memilih Islam dan semoga ke depan Allah membuat hati saya tetap istiqomah di dalam Islam. Jadi, Islam itu bukan kebetulan, tetapi pilihan.
Dengan demikian, lahir di Indonesia itu “kebetulan”, tinggal di Indonesia itu “pilihan”, dan beragama Islam itu juga “pilihan”.
Karena itu jika ditanyakan: “Kita ini sebetulnya orang Islam yang kebetulan lahir di Indonesia, ataukah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam?”, maka kita dapat memberikan jawaban yang obyektif, yaitu “Kita ini sebetulnya orang Islam yang kebetulan lahir di Indonesia”, bukan “orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam”.
Namun jika pertanyaannya diubah sedikit: “Kita ini sebetulnya orang Islam yang kebetulan hidup (tinggal) di Indonesia, ataukah orang yang hidup (tinggal) di Indonesia yang kebetulan beragama Islam?”. Maka pertanyaan ini, tidak ada jawabannya. Sebab “hidup di Indonesia” dan “beragama Islam”, itu sama-sama pilihan, sama-sama bukan kebetulan. Ini salah pertanyaan. Wah, saat masih sekolah, kalau dapat soal seperti ini, pasti para siswa senang sekali, karena dapat soal bonus.
*****
Kita beragama Islam itu pilihan. Karena Islam itu pilihan, maka saat kita memutuskan ber-Islam, maka kita harus konsekuen dengan Islam yang jadi pilihan kita, termasuk konsekuensi pelaksanaan syariah Islam, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat atau negara.
Dan, ternyata Islam itu memang indah dan sangat komprehensif. Islam mengatur manusia dalam semua aspek kehidupannya, agar manusia hidup dalam kebahagiaan. Islam tidak pernah mengekang manusia, tetapi Islam mengatur manusia agar pemenuhan semua kebutuhan dan nalurinya berjalan dengan baik dan memuaskan semua pihak.
Hal ini sangat wajar, karena Islam berasal dari pencipta alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia, yaitu Allah SWT. Ini berbeda dengan agama dan ideologi lain yang merupakan produk akal manusia yang serba terbatas. Aturannya tidak komprehensif, kontradiktif dan bertentangan satu dengan yang lain.
Karena itu, Islam memang diturunkan Allah SWT sebagai rahmat bagi seluru alam, termasuk bagi bangsa Indonesai, dan tentu saja kepada bangsa-bangsa lain yang ada di dunia ini. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya’ 107).
Pertanyaan lain yang masih berkaitan dengan pertanyaan ini: Apakah Islam bertentangan dengan adat dan budaya masyarakat, termasuk bangsa Indonesia? Jawabnya adalah sebagai berikut: Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam memiliki hukum-hukum yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupa. Dalam Islam, aturan itu diklasifikasi menjadi 5 (ahkam al khomsah), yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Jika kita cermati bahwa adat (kebiasaan) dan budaya itu masuk pada perbuatan manusia (af’al al-insan), karena itu adat dan budaya juga masuk dalam hukum yang lima itu. Sehingga hukum adat (kebiasaan) itu harus dirinci satu persatu. Tidak bisa dipukul rata.
Bagaimana hukum menghormati orang lain (katanya, saling menghormati adalah adat orang Indonesia)? Hukum menghormati orang lain dalam Islam adalah wajib. Jadi, adat seperti ini adalah kewajiban, menurut Islam.
Bagaimana hukum membantu orang lain yang sedang membangun rumah atau yang sedang mengadakan walimatul ursy (katanya, saling membantu adalah adat dan budaya orang Indonesia)? Hukum membantu orang lain dalam Islam adalah sunnah. Jadi, adat seperti ini sangat dianjurkan oleh Islam.
Bagaimana hukum menutup aurat dengan menggunakan sarung bagi lelaki (katanya, sarung adalah pakaian khas Indonesia)? Jawabnya adalah mubah. Menutup aurat itu hukumnya wajib, sedangkan pilihan apakah sarung atau celana, ini mubah. Kita boleh pakai celana, boleh pakai sarung, dan juga boleh pakai yang lain, yang penting menutup aurat.
Bagaimana hukum menggunakan kerudung bagi wanita, yang hanya menutup rambut, sementara leher dibiarkan terbuka (katanya, kerudung seperti ini adalah khas Indonesia)? Jawabnya adalah haram. Sebab kerudung seperti itu tidak menutup aurat dengan sempurna.
Jadi, menilai suatu kebiasan, adat atau budaya, apakah sesuai dengan Islam atau tidak, harus dinilai satu persatu. Tidak bisa dipukul rata.
*****
Terkadang kita ini sok jagoan, lalu menilai sesuatu secara sembarangan. Kita sering mengatakan bahwa jilbab itu sekedar budaya Arab. Padahal jilbab itu adalah bagian dari syariah Allah. Allah berfirman: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 59)
Ada yang mengatakan bahwa sholawat al-Barzanji itu khas Indonesia. Padahal al-Barzanji itu bukan nama orang Indonesia. Kitab al-Barzanji adalah buah karya Syeikh Jafar Al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M), seorang qadli (hakim) dari Mazhab Maliki yang bermukim di Madinah. Judul asli kitab tersebut, ‘Iqd al-Jawahir (untaian permata). Jadi, al-Barzanji sebetulnya adalah nama seorang ulama yang menulis kitab. Dan tentu saja beliau bukan orang Indonesia.
Kita sering menganggap bahwa ziarah kubur itu adat dan kebiasaan khas Indonesia. Padahal ziarah kubur itu juga kebiasaan umat Islam lain di luar Indonesia. Meski memang ada sebagian Umat Islam yang tidak mau ziarah kubur. Jadi, ada perbedaan pendapat terkait hukum ziarah kubur ini, baik umat Islam di Indonesia atau di luar Indonesia.
*****
Jadi, kita ini sebetulnya orang Islam yang kebetulan lahir di Indonesia, meski saat ini diantara kita ada yang tinggal di Indonesia atau di luar Indonesia.
Islam adalah pilihan kita, sementara kita lahir di Indonesia hanyalah kebetulan. Karena itu, sebenarnya kita adalah orang Islam yang lahir dan tinggal di Indonesia, sama dengan orang Islam di manapun di dunia ini. Orang Islam yang ada di Mesir, Irak, Suriah, Iran, Arab, Jepang, Malaysia, Filipina dan lain-lain, mereka semua adalah saudara kita. Mereka semua sama dengan kita. Allah berfirman: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujuraat 10).
Karena itu, semua masalah yang dihadapi mereka juga masalah kita. Kita tidak boleh bercerai berai. Kulit kita bisa jadi berbeda, bahasa kita bisa jadi berbeda, status sosial kita bisa jadi berbeda, bangsa kita bisa jadi berbeda, kekayaan kita bisa jadi berbeda, tetapi kita adalah umat yang satu, yaitu umat Islam. Kita tidak boleh berpecah-belah.
Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayangi dan saling mencintai adalah seperti sebuah tubuh. Jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam.” (HR. Muslim. Shahih Muslim No.4685).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan, di mana bagian yang satu saling menguatkan bagian yang lain.” (HR. Muslim. Shahih Muslim No.4684).
Karena itu, siapa saja yang merasa berbeda dengan umat Islam yang lain karena merasa “Islam Indonesia”, sebaiknya tidak usah mengharap syafaat dari Rasulullah, sebab Rasulullah bukan “Islam Indonesia”, tetapi “Islam” saja, tidak menggunakan embel-embel tambahan.
Wallahu a’lam.