Muhammad Al Fatih, Panglima Besar Pembebas Imperium Romawi
Sahibul hikayat ketika maut menjelang, sahabat Rasulullah bernama Abu Ayyub Al Ansary RA berwasiat. Dirinya ingin dimakamkan di bawah dinding benteng Kota Konstantinopel. Setiap ada orang yang bertanya mengapa ia ingin dimakamkan di sana, Abu Ayyub akan menjawab;
“Karena aku ingin mendengar derap tapak kaki kuda sebaik-baik pemimpin yang akan memimpin sebaik-baiknya tentara yang akan membebaskan Konstantinopel, seperti sabda Rasulullah,”
Kala itu menaklukan Konstantinopel, ibu kota kerajaan Romawi Timur ini adalah sesuatu yang teramat berat – untuk tidak dikatakan mustahil-. Sejak zaman Kekhalifahan Bani Umayyah, Abassiyah, hingga Utsmaniyah, para pemimpin berusaha menaklukan Konstantinopel. Selama berabad-abad itu pula ibu kota Romawi Timur ini tak pernah jatuh ke pelukan Islam.
Romawi Timur adalah kerajaan digdaya yang memiliki armada pertempuran mutakhir pada masanya. Kota Konstantinopel dikelilingi benteng yang sangat kokoh. Di bagian luar dikelilingi parit yang dalamnya hingga 7 meter. Pun setelah melewati parit itu, harus berhadapan dengan kokohnya benteng dua lapis setinggi 10 meter.
Tak cukup di situ, sebelah Baratnya dijaga pasukan altileri di balik lapisan benteng. Arah selatan berhadapan langsung dengan lautMarmara yang dijaga sangat ketat oleh kapal-kapal besar. Bagian Timur harus masuk ke celah selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar, hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Pertahanan kota yang demikian sempurna. Arsitek benteng Konstantinopel telah memikirkan matang-matang bagaimana menghindari serangan dari luar. Tidaklah mengherankan berbilang abad berlalu, tak ada kekuatan tentara dan jenderal manapun yang mampu menaklukan kota ini. Semuanya berakhir dengan kegagalan.
Hal ini pula yang dirasakan oleh pemuda bernama Muhammad Al Fatih. Hampir satu bulan ia bersama tentaranya mengepung benteng Kota Konstatinopel ini. Berhari-hari meriam berdentum kencang bersahutan. Menimbulkan asap pekat membumbung menuju langit yang muram.
Namun semua itu tidak memuluskan langkah Al Fatih dan pasukannya untuk dapat memasuki Kota Konstatinopel. Malah menyebabkan banyak di antara pasukan Muslim yang terluka. Sempat terbersit dalam hati, apakah dirinya tidak termasuk ke dalam sabda Nabi bahwa hanya manusia terbaiklah yang dapat membebaskan kota ini?
Ingatan Al Fatih melayang ke masa silam. Bagaimana dirinya menempa diri sedemikian rupa untuk menjadi hamba Allah yang takwa. Meraih ridha Allah dengan jalan yang telah digariskan oleh-Nya.
Dipesiapkan Sejak Dini
Oleh kedua orang tuanya ia diajarkan nilai-nilai luhur agama pada Syeikh Shamsuddin Al Wali, ulama cendekia yang taat dan mengerti luasnya lautan ilmu agama. Hal ini menyebabkan dirinya tumbuh menjadi sosok yang cinta ilmu. Berbagai ilmu pengetahuan yang saat itu berkembang dalam dunia Islam tak luput darinya. Al Fatih menguasai lebih dari tujuh bahasa, mengerti sastra dan budaya, hingga dikenal sebagai ahli strategi perang dan pemerintahan. Karakter kepemimpinan telah muncul dalam dirinya sejak muda.
Tidaklah mengherankan apabila dengan kecakapannya itu, ia sudah diangkat menjadi seorang khalifah pada usia muda. Walaupun memiliki kekuasaan yang luas, kepribadian Al Fatih tidak pernah berubah. Tawadhu, rendah hati, dan mengayomi rakyat adalah sikap yang selalu terpancar dari dalam diri Al Fatih. Bahkan, ketika membangun benteng Rumeli Hissari, Al Fatih enggan berpangku tangan. Ia membuka sorban dan menggantinya dengan pakaian biasa, lantas mengangkat batu dan pasir dengan tangannya sendiri untuk membangun benteng tersebut.
Dari sanalah Al Fatih dan rakyatnya mulai memupuk diri. Membangun harapan untuk menjadi manusia terbaik seperti yang telah disabdakan oleh Rasululullah. Maka Al Fatih di dalam medan pertempuran yang demikian ganas seperti saat itu tidak pernah luput berdoa. Berharap agar Allah meluluskan harapan diri dan pasukannya untuk membebaskan Kota Konstantinopel.
Al Fatih meminta kepada para tentaranya untuk menghentikan serangan. Dirinya mengajak mereka untuk melakukan shalat berjamaah. Hampir seratus lima puluh ribu orang shalat berjamaah dengan diimami oleh Al Fatih. Hal ini tentu saja membuat tentara Romawi gentar. Mereka tidak pernah melihat ada begitu banyak manusia yang beribadah sekhusyuk dan seindah seperti yang telah dilakukan oleh pasukan Al Fatih.
Selesai shalat, tiba-tiba saja Al Fatih mendapatkan sebuah ide cemerlang. Ia berpikir untuk menyerbu lewat Timur, selat Golden Horn. Pasukannya seperti tak percaya mendengar ide pemimpinnya itu. Maklum, bahkan sekoci saja tak akan bisa melewati rantai pembatas yang melingkari benteng Timur Konstatinopel.
Namun, sang Khalifah begitu yakin dengan idenya ini. Malah ia menambahkan sebuah ide ‘gila’ yang nyaris tak masuk akal. Ia perintahkan pasukannya untuk menggotong kapal-kapal perang menaiki bukit di belahan Selat dalam tengat waktu semalam. Setelah itu, menepi di bibir selat dan siap menyerang melalui wilayah Timur yang tak terlalu terjaga.
Pasukannya masih tak percaya dengan rencana junjunannya itu. Semalaman penuh mereka mengencangkan otot. Mengerahkan tenaga, bercucuran keringat, memindahkan kapal laut lewat jalur darat. Suasana yang sangat janggal. Semuanya dilakukan dengan cepat, sigap, gesit. Hingga saat sinar merah menyemburat dari Timur, seluruh pasukan kaum Muslimin sudah berbaris rapi siap menyerang Konstantinopel. Bergema dari seluruh penjuru tanah, asma Allah;
“Allahu Akbar!”
Nyali pasukan Romawi ciut mendengar kalimat tauhid ini menggema ke seluruh penjuru negeri. Merayap dan merobek keberanian mereka. Pasukan Romawi tak menyangka, tiba-tiba saja puluhan kapal perang menyerang dari arah Timur. Konsentrasi terpecah. Serangan dari pelbagai arah mulai dilakukan oleh kaum Muslimin. Sedikit demi sedikit, 150.000 pasukan kaum Muslimin merangsek masuk ke dalam kota. Dan akhirnya setelah sekian abad menanti janji Rasul mulia, Konstatinopel pun takluk.
Tepat pada 29 Mei 1453, Kota Konstantinople jatuh ke tangan kaum Muslimin. Sang Khalifah dengan usianya yang tidak lebih dari dua puluh satu tahun membebaskan kota itu dari cengkeraman kaum nasrani, dan segera mengganti namanya menjadi Istambul (Islam keseluruhan). Pasukan Islam masuk dengan damai. Warga sipil aman, berlindung. Tak ada bangunan ibadah Kristen yang dihancurkan. Malah, sang Khalifah memberikan perlindungan pada orang-orang non-Muslim seperti Yahudi dan Nasrani.
Di tengah euphoria kemenangan ini, Al Fatih bersama pasukannya hendak menunaikan shalat Jumat di kota yang telah dijanjikan oleh Rasulullah ini. Sebelum waktu Jumat tiba, seluruh pasukan berkumpul untuk mencari tahu siapa yang pantas mengimami mereka.
Di tengah suasana seperti itu Al Fatih bertanya:
“Siapakah yang layak menjadi imam shalat Jumat?”
Pertayaan Al Fatih hanya dijawab dengan sunyi senyap. Lalu Al Fatih berdiri dan meminta kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan hal serupa.
Lantas Al Fatih kembali mengemukakan sebuah pertanyaan,
“Siapakah di antara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!!”
Perintah Al Fatih ini hanya dijawab dengan rakyatnya yang tetap berdiri. Tidak ada satu pun dari mereka yang duduk. Subhanallah, Mahasuci Allah! Tidak ada pasukan dari Al Fatih yang pernah melalaikan shalat fardhu sejak baligh hingga pembebasan Kota Konstatinopel.
Al Fatih pun mengedarkan matanya ke sekeliling. Senyum dan rasa syukur mengembang dalam dirinya. Kemudian ia bertanya kembali,
“Siapa di antara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk!!!” Sebagian lainnya segera duduk. Artinya, sebagian pasukan kaum Muslimin ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat sunah rawatib sejak remaja.
Setelah suasana kembali tenang, Al Fatih kembali melontarkan pertanyaan,
“Siapa di antara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!”
Tiba-tiba saja semua pandangan mata tertuju pada diri Al Fatih. Di antara ratusan ribu orang yang hadir saat itu hanya dia seorang yang masih tegap berdiri. Sementara yang lain terduduk.
Al Fatihlah yang tidak pernah meninggalkan shalat yang Fardhu, dan yang sunnah (rawatib dan tahajud) sedetik pun dalam kehidupannya. Yang mengisi setiap hela napas kehidupannya semata untuk Allah.
Dialah, Sultan Muhammad Al Fatih, pemuda berumur 21 tahun, sang pembebas ibukota imperium Romawi Timur, Konstantinopel. Dialah pemimpin yang membawa rakyat dan tentaranya menjadi manusia terbaik yang dijanjikan Allah SWT dan RasulNya. Subhanallah! Allahu Akbar!