MUSTANIR.net – Malcolm Gladwell menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Tipping Point, bahwa perilaku individu-individu sangat dipengaruhi oleh konteks yang melingkupinya.

Untuk menguatkan pendapat itu, Gladwell mengetengahkan sebuah kisah nyata tentang maraknya kasus perampokan, perkelahian, penembakan, pembunuhan, dan perkosaan yang terjadi setiap hari di gerbong kereta api.

Pihak kepolisian setempat melakukan berbagai cara untuk menurunkan angka kriminalitas di kota tersebut, khususnya di gerbong kereta tersebut. Mereka pernah menempatkan beberapa orang polisi di gerbong kereta dengan harapan agar pelaku kriminal menjadi segan atau takut melakukan tindak kejahatannya. Namun hal itu seperti tidak berguna sama sekali, angka kriminalitas di gerbong kereta tetap tinggi.

Hingga kemudian pihak kepolisian mendatangkan seorang pakar perilaku sosial untuk meneliti dan memberikan solusi untuk permasalahan tersebut.

Pakar tersebut kemudian melakukan pemeriksaan terhadap seluruh bagian gerbong kereta. Temuannya adalah; gerbong gelap, kumuh, jorok, bau, dan penuh dengan coret-coretan di dindingnya.

Apa yang kemudian dilakukan oleh pakar tersebut? Ia meminta agar seluruh gerbong dilakukan pengecatan ulang, semua tulisan jorok yang ada di dinding gerbong harus ditimpa dengan cat putih bersih, aroma bau harus dihilangkan, suasana kumuh harus diganti dengan suasana nyaman, dan pencahayaan harus ditingkatkan.

Hasilnya? Semenjak perubahan suasana dilakukan, secara ajaib tingkat kriminalitas di gerbong kereta menurun drastis, bahkan hampir tidak pernah terjadi lagi.

Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Ternyata, menurut pakar perilaku sosial tersebut, kejahatan di gerbong kereta menjadi sulit dihilangkan karena konteksnya sangat mendukung orang untuk melakukan kejahatan.

Orang yang punya keinginan kecil untuk berbuat jahat, bisa terpantik untuk berani melakukan kejahatan karena konteksnya sangat mendukung.

Bahkan orang yang tidak ingin melakukan kejahatan sekalipun, bisa terinspirasi untuk melakukan kejahatan karena ia berada dalam konteks yang mendukung untuk melakukan kejahatan.

Dan begitu konteksnya diubah, yaitu mengubah suasana gerbong menjadi tidak kondusif dan tidak inspiratif untuk melakukan kejahatan, orang-orang menjadi enggan untuk berbuat jahat, bahkan orang yang di dalamnya ada keinginan untuk berbuat jahat pun menjadi enggan untuk melakukannya, karena konteksnya yang tidak mendukung perilaku tersebut.

Hal ini agaknya senada dengan yang diajarkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tentang perubahan masyarakat. Bahwa berubahnya masyarakat tidak terjadi semata-mata karena berubahnya individu, melainkan juga pemikiran, perasaan, dan peraturan yang menyatukan individu-individu menjadi sebuah masyarakat.

Kekuatan konteks memang sangat berpengaruh. Konteks yang terjadi di zaman kekhalifahan selama 13 abad menjadikan individu-individu muslim yang hidup dalam konteks tersebut menjadi individu yang begitu khas. Kriminalitas di masa itu sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat yang hidup dalam konteks (sistem) lainnya.

Mengapa? Karena konteksnya sangat mendukung pada ketaatan dan berbuat baik pada sesama, dan sangat tidak mendukung untuk berbuat kriminal (maksiat) atau merugikan sesama.

Dengan demikian, jika kita ingin lebih mudah menjadi individu bertaqwa, dan menginginkan orang-orang sekitar kita juga bertaqwa dan saling berbuat baik pada sesama, mari kita hadirkan konteks yang mendukung untuk itu semua.

Individu dan Masyarakat

Sebagian orang fokus kepada dakwah perbaikan kepada invididu-individu yang ada di dalam masyarakat. Harapannya jelas, jika semua individu itu baik, maka masyarakat itu otomatis akan menjadi baik pula.

Padahal baiknya masyarakat itu bukan semata-mata baiknya individu, namun tergantung kepada pemikiran, perasaan, dan peraturan yang menyatukan semua anggota masyarakat.

Karena individu-individu itu adalah bagian dari masyarakat saja, sedangkan yang menjadi penyatu dalam interaksi mereka di dalamnya adalah dipengaruhi oleh tiga hal tadi, yakni 1). Pemikiran, 2). Perasaan, dan 3). Peraturan yang sama.

Jika individu-individunya menjadi baik, belum tentu masyarakatnya otomatis menjadi baik, karena yang menjadi penentunya adalah interaksi di antara individu itu dengan pemikiran, perasan peraturan yang Islami atau tidak.

Oleh karenanya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam menjelaskan tentang pengertian masyarakat (al-mujtama’). Yaitu kumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lainnya, dan memiliki kesatuan afkar (pemikiran), masya’ir (perasaan), dan nizham (aturan).

Maka, jika ingin mengubah kehidupan masyarakat sesuai dengan Islam, fokus perubahannya adalah pada mengubah pemikiran, perasaan, dan peraturan dari yang tidak Islami menjadi pemikiran, perasaan, dan peraturan yang Islami.

Sebagaimana kaidah yang menyebutkan:

أصلح المجتمع يصلح الفرد ويستمر إصلاحه

“Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik.”

Wallahu a’lam bisshowab. []

Sumber: Abi Syarbaini & Adi Victoria

About Author

Categories