
Harta Koruptor Wajib Disita
MUSTANIR.net – Korupsi di Indonesia terus merusak sendi kehidupan bangsa, sementara upaya menghadirkan instrumen hukum yang tegas berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset masih saja terhambat di DPR. Publik sudah jenuh mendengar alasan klasik seperti “masih perlu pendalaman”, “butuh sinkronisasi”, atau “belum ada kesepahaman antar-fraksi”. Pada hakikatnya, semua ini mencerminkan tarik-menarik kepentingan elit. Banyak pihak menilai bahwa RUU ini tidak kunjung disahkan karena berpotensi menyentuh langsung urat nadi kekuasaan, sebab jika dijalankan konsisten, ia akan menjadi alat ampuh untuk merampas aset hasil korupsi, termasuk yang telah dialihkan melalui pencucian uang atau atas nama keluarga dan kerabat.
Ketakutan terbesar DPR maupun pemerintah adalah RUU ini bisa menjadi “senjata makan tuan”, menjerat pejabat, pengusaha, atau sponsor politik dari kalangan oligarki. Karena itu pembahasannya sengaja ditunda dan diperlambat. Meski begitu, ada juga kekhawatiran bahwa RUU ini bisa disalahgunakan sebagai alat represif yang justru menyasar rakyat kecil, terutama mereka yang menguasai aset turun-temurun tanpa dokumen resmi. Karena itu, syarat mutlak yang harus dijaga adalah memastikan RUU ini fokus pada aset hasil tindak pidana, khususnya korupsi dan praktik kongkalikong penguasaan sumber daya alam oleh oligarki, bukan harta masyarakat sah yang tak tercatat secara administratif.
Korupsi, suap, dan berbagai bentuk perolehan harta haram telah menjadi penyakit kronis yang merusak tatanan masyarakat. Islam sejak awal sudah memberikan aturan tegas dan adil dalam menjaga harta umat. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
”Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil. Jangan pula kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kalian dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (itu dosa).” (QS. al-Baqarah [2]: 188)
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam pun menegaskan:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
”Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai dalam suatu pekerjaan, lalu kami beri dia suatu gaji, maka yang dia peroleh selain dari gaji adalah harta haram.” (HR. Abu Dawud). Beliau juga bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi). Dengan demikian, Islam melarang segala bentuk manipulasi hukum dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Karena itu, harta haram wajib disita dan dikembalikan kepada pemiliknya atau dikelola negara untuk kepentingan umat.
Islam juga telah menetapkan mekanisme pencegahan korupsi yang jelas: pejabat negara digaji secara layak, harta mereka diaudit sebelum dan sesudah menjabat, setiap tambahan harta yang tidak wajar disita, serta pejabat dipantau langsung oleh Khalifah. Aturan ini membuat hukum berfungsi sebagai pelindung rakyat, bukan alat untuk melegalkan kezaliman sebagaimana kerap terjadi dalam sistem demokrasi hari ini.
Ketegasan ini tercermin dari kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ’anhu. Beliau tidak pernah ragu menyita harta pejabat negara yang diperoleh secara tidak wajar. Umar radhiyallahu ’anhu pernah menyita hadiah kepada Khalid bin al-Walid radhiyallahu ’anhu, menyita 12 ribu dirham yang dibawa pulang Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu setelah menjabat gubernur Bahrain, serta sebagian harta Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu ’anhu yang dinilai berlebihan. Semua harta itu dimasukkan ke Baitul Mal demi kemaslahatan umat. Sejarah ini menunjukkan bahwa sistem Islam benar-benar mampu menutup ruang bagi pejabat untuk memperkaya diri lewat jabatan, karena hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Penguasaan sumberdaya alam (SDA) oleh segelintir oligarki adalah bentuk perampasan hak rakyat yang paling nyata. Dampaknya tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan lingkungan, memicu konflik agraria, dan menjerat rakyat dalam kemiskinan struktural.
Karena itu, RUU Perampasan Aset seharusnya tidak hanya menyasar koruptor perorangan, melainkan juga aset korporasi yang selama ini menguasai emas, perak, migas, batubara, nikel, hutan hingga laut melalui undang-undang dan izin yang mereka rancang bersama politisi. Padahal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam menegaskan:
المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
”Kaum Muslim berserikat (memiliki hak bersama) dalam tiga perkara: padang gembalaan, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah). Hadits ini menjadi dasar hukum bahwa SDA vital merupakan milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang tidak boleh jatuh ke tangan individu, swasta, atau asing, melainkan harus dikelola negara demi kemaslahatan rakyat.
Kenyataannya, UU Minerba, UU Migas, UU Cipta Kerja, dan regulasi investasi justru memberi jalan lebar bagi korporasi besar untuk menguasai SDA. Perampasan ini kerap dilakukan secara “legal” maupun ilegal, mulai dari suap, manipulasi perizinan, hingga penguasaan lahan rakyat secara zalim. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka pada Hari Kiamat dia akan dikalungi dengan tujuh lapis bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Maka, dalam sistem Islam, negara wajib menarik kembali seluruh SDA yang termasuk milik umum, mengelolanya secara langsung, dan memasukkan hasilnya ke Baitul Mal untuk didistribusikan demi kesejahteraan rakyat.
Tarik-ulur pembahasan RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa persoalan utamanya bukan sekadar teknis, melainkan terletak pada sistem dasarnya. Demokrasi membuat hukum tunduk pada kepentingan manusia, sehingga mudah dipelintir, ditarik-ulur, dan dimanipulasi oleh pihak yang berkuasa. Selama sistem ini dipertahankan, hukum sulit berpihak pada rakyat dan mustahil menindak tegas korupsi maupun perampasan sumberdaya alam oleh oligarki.
Solusi sejati bagi bangsa ini bukanlah undang-undang setengah hati yang rawan dimanipulasi, melainkan penerapan syariah Islam secara kaaffah dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah). Dengan sistem ini, harta umat terjamin keamanannya, keadilan bisa ditegakkan, dan praktik korupsi maupun penguasaan SDA oleh oligarki dapat diberantas hingga ke akar-akarnya. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber: Seruan Masjid
