L’Internationale dan Jejak Freemason di Balik Revolusi Merah

MUSTANIR.net – Bagi gerakan kiri di seluruh dunia, L’Internationale bukan sekadar lagu. Ia adalah “kitab suci” dalam bentuk syair, mantra perjuangan yang berkumandang di jalanan, rapat-rapat buruh, hingga medan eksekusi. Sejak kelahirannya dari bara Komune Paris 1871, lagu ini telah menjadi simbol paling universal bagi kaum tertindas.

Namun di balik gemuruh seruan “Bangkitlah kaum tertindas!”, ada fakta yang kerap dilupakan: penulis syairnya, Eugène Édouard Jean-Baptiste Pottier (1816–1887), adalah seorang Freemason asal Prancis [1]. Fakta ini membuka perdebatan: sejauh mana keterhubungan antara gerakan kiri radikal dengan jaringan Masonik yang konon menjadi “laboratorium rahasia” bagi gagasan revolusi modern?

Freemasonry pada abad ke-19 di Prancis bukanlah sekadar perkumpulan elit spiritual. Ia menjadi ruang intelektual alternatif di tengah represi monarki dan dominasi gereja. Loge-loge Masonik diisi diskusi tentang rasionalisme, humanisme, kesetaraan, dan anti-klerikalisme [2]. Ide-ide itu kemudian menemukan ekspresi politiknya dalam republik radikal, sosialisme, dan bahkan komunisme.

Dalam konteks itu, Pottier adalah produk zamannya. Ia menyerap nilai-nilai Masonik tentang “Liberté, Égalité, Fraternité” lalu menerjemahkannya ke dalam syair L’Internationale. Bukan kebetulan jika lagu itu kemudian dianggap sebagai himne buruh sedunia—karena secara ideologis, ia lahir dari persilangan Masonry dan sosialisme revolusioner.

Pertemuan antara Freemasonry dan gerakan kiri bukan hanya ada dalam diri Pottier. Sejak awal abad ke-19, banyak tokoh republikan, anarkis, dan sosialis Eropa menjadi bagian dari jaringan Masonik. Bagi mereka, loge adalah ruang aman untuk merancang agenda politik yang tak mungkin dibicarakan secara terbuka. Maka tak heran jika kemudian muncul anggapan bahwa Masonry adalah “dapur rahasia” dari berbagai revolusi modern [3].

Benar bahwa tidak semua Mason adalah komunis, dan tidak semua komunis Mason. Namun, tidak bisa dimungkiri ada persinggungan ideologis yang jelas: anti-feodalisme, anti-monarki, anti-klerikalisme, serta impian egalitarianisme universal.

Di Indonesia, gema L’Internationale muncul dalam konteks tragis. Setelah peristiwa 1965, banyak kesaksian menyebut bahwa kader-kader PKI dan simpatisannya menyanyikan lagu ini menjelang ditembak mati [4]. Lagu yang lahir dari pena seorang Mason Prancis berabad-abad sebelumnya, pada akhirnya menggema di hutan-hutan Jawa dan Nusa Tenggara sebagai nyanyian perpisahan para tahanan politik. Bagi sebagian kalangan, fakta Pottier sebagai Mason adalah bukti keterkaitan laten antara Freemasonry global dan gerakan kiri yang masuk ke Nusantara.

Tetapi pertanyaannya lebih tajam: apakah komunisme adalah anak kandung Freemasonry?

Secara historis, jawaban mutlak tidaklah sederhana. Freemasonry adalah wadah dengan spektrum luas, dari kaum liberal moderat hingga radikal revolusioner. Namun, keberadaan tokoh seperti Pottier menyingkap simpul penting: nilai-nilai Masonik memberi fondasi moral dan intelektual yang memperkuat gagasan-gagasan kiri. Bahkan, ada yang berargumen bahwa sosialisme dan komunisme modern tidak bisa dilepaskan dari atmosfer intelektual Masonik Eropa abad ke-19 [5].

Bila demikian, maka L’Internationale adalah lebih dari sekadar lagu perjuangan kelas. Ia adalah bukti hidup bagaimana sebuah syair bisa menjadi medium ideologi lintas abad, lintas benua, dan lintas jaringan.

Dari ruang loge Masonik di Paris, syair itu lahir. Dari bara Komune, ia menyala. Dari lidah para komunis Soviet, ia menggema. Dan dari bibir para tahanan politik Indonesia, ia menjadi nyanyian terakhir sebelum peluru menutup kisah hidup mereka. Bahwa lagu ini ditulis oleh seorang Mason menjadikan L’Internationale bukan hanya anthem kaum kiri, melainkan juga simbol samar keterhubungan antara Freemasonry dan revolusi global.

Pada akhirnya, provokasi ini tidak bisa dielakkan: setiap kali kaum kiri berdiri tegak menyanyikan L’Internationale, secara sadar atau tidak, mereka sedang mengumandangkan warisan ideologi yang juga ditempa di ruang-ruang rahasia Freemason. Lagu perjuangan yang dipuja kaum komunis ternyata lahir dari pena seorang Mason. Dan di situlah paradoks sejarah menyelinap—bahwa “lagu suci” kaum revolusioner merah adalah jejak terang dari sebuah jaringan yang lebih tua, lebih misterius, dan lebih berlapis dari sekadar sosialisme itu sendiri. []

Sumber: Arman Tri Mursi

Catatan Kaki
[1] Robert Brécy, La Chanson Sociale en France, Paris: Les Éditions Ouvrières, 1990.
[2] Margaret C. Jacob, Living the Enlightenment: Freemasonry and Politics in Eighteenth-Century Europe, Oxford: Oxford University Press, 1991.
[3] Jasper Ridley, The Freemasons: A History of the World’s Most Powerful Secret Society, New York: Arcade, 1999.
[4] John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, Madison: University of Wisconsin Press, 2006.
[5] François Furet, The Passing of an Illusion: The Idea of Communism in the Twentieth Century, Chicago: University of Chicago Press, 1999.

About Author

Categories