MUSTANIR.net – Di era kebangkitan (Eropa), lahir sebuah aliran filsafat yang menjadikan manusia sebagai pusat, sentral, dan menjadi standar bagi segala sesuatu, dan sekaligus sebagai pusat alam semesta: antroposentrisme. Orang Arab menyebutnya dengan istilah ‘markiziyyah al-insan’.

Filsafat di atas tak jarang, bahkan niscaya berbenturan dengan agama (baca: Islam, akidah dan syariahnya). Sebab, antroposentrisme meniscayakan kebebasan manusia untuk memilih dan berbuat; baik dalam tataran teori maupun praktik. Abdul Halim Abbas dalam tulisannya di al-Jazeera, dengan judul al-Wa’y wa Markaziyyah al-Insan, mengatakan:

إن قضية مركزية الإنسان ترتبط بالحرية من عدة أوجه نظريا وعمليا. تكلمنا حتى الآن من ناحية نظرية تحليلية تتعلق بعلاقة الوعي بالوجود. هناك الوجه العملي لهذه المركزية والذي يعبِّر عن نفسه في الأخلاق وفي علاقات الاجتماع الإنساني عموما، وفي هذا المستوى تأخذ قضية مركزية بُعدا صراعيا، خصوصا في مجتمعاتنا التي يسيطر فيها الفكر الديني حيث من المفترض أن يدور الوجود حول مركز غير محسوس هو الإله، ويقف النصّ الديني والفكر المرتبط به كتجسيد محسوس لذلك المركز في الواقع التاريخي.

Meski pada akhir tulisan, Abbas menulis:

“إن مركزية الإنسان هي أمر يحتمه وعي الإنسان.. هذه المركزية ليست تعبيرا عن سيادة أو سلطة الإنسان في مواجهة ما يُعتبر سلطة الدين أو سلطة الله، أو أي سلطة أخرى، وإنما هي وصف لعلاقة الوعي بالوجود، ولعلاقة الوعي بنفسه”. …
المفارقة العجيبة هي أن نفي الدين ونفي الله من التصور الإنساني للوجود، والذي قد يبدو كتعبير عن حرية واستقلال الإنسان، يؤدي إلى نفي الحرية والإرادة ، ونفي حتى الوعي نفسه، ونسف المركزية الجزئية التي يمنحها التصور الديني للإنسان.

Namun, tampak bahwa agama —dalam pandangan filsafat ini— jika pun masih dipandang, dia hanya sebagai inspirasi atau dimaknai sebagai nilai-nilai universal kemanusiaan, dan bersifat fleksibel serta moderat dan adaptif.

Sehingga pada gilirannya, filsafat ini tidak jarang menggeser akidah seorang mukmin yang meyakini bahwa Allah-lah pusat, sentral, dan ukuran bagi segala perkara (markiziyyah Allah).

Dalam pandangan Islam, Allah-lah tujuan dari segala aktivitas kita. Tak peduli manusia ridha atau tidak, jika Allah mewajibkan, maka harus dilakukan; jika Allah menganjurkan, maka sangat luar biasa untuk dikerjakan; jika Allah membolehkan, maka tak ada nilai bagi pandangan manusia.

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِی وَنُسُكِی وَمَحۡیَایَ وَمَمَاتِی لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ ۝١٦٢ (الأنعام)

Bukti bahwa filsafat di atas telah menggeser akidah seorang mukmin, kita jumpai banyak orang (Islam) mengatakan: “Tidak masalah dia kafir, yang penting jujur”, “Tak masalah dia fasik, yang penting loyal”, “Tak masalah dia murtad, yang penting sopan”, “Tak masalah dia kafir, yang penting adil”, dst.

Padahal Allah menyatakan:

وَلَأَمَةࣱ مُّؤۡمِنَةٌ خَیۡرࣱ مِّن مُّشۡرِكَةࣲ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ
وَلَعَبۡدࣱ مُّؤۡمِنٌ خَیۡرࣱ مِّن مُّشۡرِكࣲ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ

Perhatikan firman Allah ولو أعجبتكم/ولو أعجبكم (meski membuat kalian kagum)!

Meski membuat kita kagum kecantikannya, meski membuat kita kagum kecerdasannya, kepintarannya, meski membuat kita kagum dia bermuamalah dengan manusia. Intinya, meski luar biasa dalam segala hal, jika dia kafir, maka tak ada nilainya di sisi Allah!

Begitu ‘markiziyyah Allah’ mengajarkan.

Di atas filsafat ‘markiziyyah al-insan’ inilah lahir segala model kebebasan, hak asasi manusia, kebebasan beragama, termasuk demokrasi, dan segala turunannya.

Maka siapa saja yg beriman dengan konsep ‘markiziyyah al-insan’, dia dalam bahaya besar (menurut kaca mata Islam). Di atas filsafat ini, Allah bukan menjadi tujuan. Sakralitas diberikan kepada manusia, bukan agama. Ketuhanan diberikan kepada (hawa nafsu) manusia, bukan kepada Allah.

أَفَرَءَیۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمࣲ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَـٰوَةࣰ فَمَن یَهۡدِیهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ۝٢٣ الجاثية

Karena itu menurut filsafat ini, syariah Allah wajib ditolak. Khilafah Islam adalah ajaran kriminal. Dan ‘kesepakatan’ bangsa adalah harga mati. Hukum buatan manusia disucikan. Begitu seterusnya. Jika ada hukum syariah diterima, maka pertimbangan pun karena manusia, kepentingan manusia, mengakomodir pendapat, atau yang sejenisnya, bukan karena itu perintah Allah.

Di sisi lain, jika al-Qur’an dan as-Sunnah mencela amal manusia yang disertai riya’ (ada unsur agar dilihat manusia), dan para kibar tasawwuf dahulu mewanti-wanti agar semua amal hanya berpusat kepada Allah, tidak huzhuzh nafsi di dalamnya, apalagi jika huzhuzh nafsi berupa hubb as-syuhrah (gila popularitas), justru sekarang di dalam filsafat ini, hal inilah yang menjadi tujuan. Jadi standar telah terbalik.

Maka tak heran hari ini kita jumpai berbagai fenomena gila followers, gila likes, pengejar followers. Manusia memandang ceramah yang baik adalah yang disukai banyak orang. Ustadz dan kiai yang benar adalah yang banyak followers-nya, dst.

Sehingga para da’i, para ustadz, dan para tokoh tidak jarang terseret ke dalam arus ini; “harus menyesuaikan selera pasar”. Begitu kira-kira. Materi yang disampaikan diukur dengan ridha manusia, bukan ridha Allah.

Oleh sebab itu, sepanjang ‘markiziyyah al-insan’ ini masih diimani atau mendominasi, tak mungkin kita dapat menempatkan ‘markiziyyah Allah’. Tak mungkin kita bisa beramal dengan ikhlas, dan tak mungkin kita bisa beribadah kepada Allah dengan makna yang sebenarnya, tak mungkin kita menerima hukum-hukum Allah, apalagi menerapkannya dalam kehidupan dalam segala aspeknya. Kecuali hukum-hukum yang di dalamnya terselip kepentingan manusia.

Wallah a’lam. []

Sumber: Utsman Zahid as-Sidany

About Author

Categories