
Marhaban yâ Ramadhân
MUSTANIR.net – Marhaban yâ Ramadhân. Selamat datang Ramadhan. Tak terasa, Ramadhan akan kembali menyapa kita. Kali ini kita akan segera memasuki Bulan Ramadhan 1445 H.
Ramadhan adalah bulan istimewa. Bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa, yang bisa mengantarkan seorang Muslim meraih derajat takwa. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Ramadhan adalah bulan yang bertabur dengan pahala dan aneka keberkahan. Pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Rasulullah saw. bersabda:
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ
Sungguh telah datang Bulan Ramadhan. Bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan atas kalian puasa di dalamnya. Pada Bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu (HR Ahmad).
Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Itulah Lailatul Qadar. Pada malam ini pula Allah SWT menurunkan al-Quran, pedoman hidup manusia, yang menjadi sumber kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Allah SWT berfirman:
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ . وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ . لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ
Sungguh Kami telah menurunkan al-Quran pada saat Lailatul Qadar. Tahukah engkau, apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan (TQS al-Qadar [97]: 1-3).
Singkatnya, Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah berlimpah. Karena itu selayaknya setiap Muslim bergembira sekaligus menyiapkan diri sebaik mungkin setiap kali menyambut kedatangan Ramadhan. Tamu agung yang membawa banyak sekali keutamaan.
Perisai dan Penghapus Dosa
Puasa Ramadhan yang benar-benar dijalankan secara ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariah adalah perisai (pelindung) dari siksa api neraka. Rasul saw. bersabda:
الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ
Puasa Ramadhan merupakan perisai (pelindung) dari azab neraka, seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan (HR an-Nasa’i dan Ahmad).
Puasa Ramadhan juga bisa menjadi sarana penghapus dosa. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharap ridha Allah, dosa-dosanya yang telah lalu pasti diampuni (HR al-Bukhari).
_Puasa dan Takwa_
Memasuki Ramadhan kali ini, tentu kita berharap puasa kita benar-benar bisa mewujudkan ketakwaan hakiki pada diri kita (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183).
Tentu Allah SWT tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa Ramadhan dengan benar (sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud dalam dirinya.
Apa yang disebut dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan QS al-Baqarah ayat 183 di atas, antara lain mengutip Imam al-Hasan yang menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka sekaligus melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan kepada mereka.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân li Ta’wîl al-Qur’ân, I/232-233).
Takwa dalam pengertian semacam ini tentu harus selalu melekat pada setiap Muslim dimana pun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun. Demikian sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw. kepada Muadz bin Jabal ra.:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun (HR at-Tirmidzi).
Terkait dengan frasa ittaqilLâh (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak ciri/sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (Muttaqîn).
Orang bertakwa antara lain adalah orang yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian harta, mengimani al-Quran dan kitab-kitab yang Allah SWT turunkan sebelum al-Quran dan meyakini alam akhirat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 1-4).
Orang bertakwa juga biasa menginfakkan hartanya pada saat lapang ataupun sempit, mampu menahan amarah, mudah memaafkan kesalahan orang lain, lalu jika melakukan dosa maka ia segera ingat kepada Allah SWT serta memohon ampunan-Nya dan tidak meneruskan perbuatan dosanya (Lihat: QS Ali Imran [3]: 133-135).
Tentu masih banyak ciri/sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam al-Quran maupun as-Sunnnah.
Ada pun terkait frasa haytsuma kunta, dapat dijelaskan bahwa kata haytsu di sini bisa merujuk pada tiga makna: tempat (makân), waktu (zamân) dan keadaan (hâl). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut adalah isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tak hanya di Madinah; tak hanya saat turun wahyu-Nya; tak hanya saat bersama beliau; juga tak hanya saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, 42/4-8).
Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait aqidah dan ibadah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun ‘uqûbât (sanksi hukum) seperti hudûd, jinâyât, ta’zîr maupun mukhâlafât.
Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan menolak penerapan syariah secara kâffah dalam semua aspek kehidupan.
Totalitas Takwa
Perlu dipahami, tak hanya puasa yang bisa mengantarkan pelakunya meraih derajat takwa. Di dalam al-Quran tak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang diakhiri dengan frasa; la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Di dalam beberapa ayat lain Allah SWT juga berfirman, antara lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 21).
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Bagi kalian, dalam hukum qishâsh itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179).
وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa (TQS al-An’am [6]: 153).
Jelas, tak cukup dengan puasa orang bisa meraih derajat takwa. Ibadah (yakni totalitas penghambaan kita kepada Allah SWT), pelaksanaan hukum qishâsh serta keberadaan dan keistiqamahan kita di jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariah Islam, itulah yang bisa mengantarkan diri kita meraih derajat takwa.
Perlu Pemimpin Bertakwa
Di tengah sistem kehidupan sekuler yang tidak menerapkan syariah Islam secara kâffah saat ini, kaum Muslim tentu membutuhkan pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa dalam dirinya, yakni takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah menjaga puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zûr). Kedustaan hanya akan membuat puasa seseorang sia-sia. Nabi saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya (HR al-Bukhari).
Pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang adil, yakni yang menerapkan syariah Islam. Pemimpin yang bertakwa sekaligus adalah pemimpin yang amanah. Ia tidak akan mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya atau secara sengaja menyalahi al-Quran dan as-Sunnah. Pemimpin semacam ini tak akan mengkriminalisasi Islam dan kaum Muslim. Mereka pun tidak akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan syariah, termasuk penegakan Khilafah yang merupakan tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) dalam Islam. Bahkan mereka akan berupaya menerapkan syariah Islam secara kâffah sebagai wujud ketaatan total diri mereka kepada Allah SWT.
Alhasil, mari kija jadikan Ramadhan kali ini sebagai momentum untuk mewujudkan totalitas takwa baik dalam level pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber: Buletin Kaffah