Menanggapi Tentang Fatwa BPJS Haram Oleh MUI
Menanggapi Tentang Fatwa BPJS Haram Oleh MUI
Oleh: dr.Ahmad Adityawarman
Majelis Ulama Indonesia akhirnya menyatakan bahwa jaminan sosial oleh BPJS kesehatan tidak sesuai prinsip syariah karena mengandung gharar, maisir dan riba. Bagi tenaga medis sendiri, sistem JKN dan BPJS masih diwarnai polemik pada pelaksanaan teknisnya. Tak sedikit dokter yang merasa terzalimi karena fee jasa yang dianggap tidak sesuai. Ada juga kasus dimana pasien yang harus mengantri panjang untuk menjalani suatu tindakan medis, atau ada yang harus dirawat inap beberapa kali dulu meski tanpa indikasi demi menjalani pemeriksaan penunjang tertentu. Beberapa (atau sebagian besar?) akhirnya memilih melakukan fraud dengan alasan keterpaksaan, agar RS tidak rugi.
Baca Juga: Alasan Dibalik Fatwa Haram BPJS Oleh MUI
Nah, kalau masalah pelaksanaan teknis, insya Allah jika terus diperbaiki oleh tenaga ahli, evaluasi dan koreksi di sana sini, ke depannya bisa saja menjadi lebih baik. Namun bagi seorang muslim, fatwa dari majelis ulama tentunya bukanlah hal yang bisa disepelekan. Ini menyangkut surga neraka masalahnya!
Tidak semua rakyat Indonesia mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya, kita tidak memungkiri hal itu. Apalagi biaya kesehatan mahal. Tanpa jaminan kesehatan dari pemerintah, masyarakat miskin yang masih sangat banyak jumlahnya itu pasti akan sangat menderita jika sakit. Tapi bagaimana jika sistem jaminan kesehatannya melanggar aturan Islam?
Saya teringat ketika beberapa bulan lalu berkunjung ke Dinas Kesehatan Kota dalam rangka mengajukan permohonan kerja sama untuk acara dakwah. Terjadi dialog dengan seorang bapak, beliau berucap kurang lebih begini: “Hizbut Tahrir bisa saja mengatakan BPJS itu haram. Tapi kamu sebagai praktisi nanti akan merasakan sendiri bagaimana fakta di lapangan. Mau bagaimana lagi? Harus diakui banyak rakyat yang perlu BPJS.” Waktu itu belum ada fatwa dari MUI.
Baca Juga: Fatwa Haram BPJS Oleh MUI, Tetapi Pemerintah Belum Bereaksi
Iya kita tidak akan naif. Saya sendiri beberapa kali terpaksa menganjurkan kepada beberapa pasien/keluarga pasien untuk mendaftar BPJS. Misalkan di stase bedah waktu koass dulu, ada pasien di IGD yang harus menjalani operasi, namun keluarganya sempat keberatan karena tidak mampu secara finansial. Masa saya harus bilang, “oh kalau begitu ya sudah pak, silakan pulang tapi kami nggak nanggung kalau pasiennya kenapa-kenapa.” Maka, kami sampaikan bila anda mendaftar BPJS -dengan prosedur yang relatif mudah- insya Allah biayanya akan ditanggung. Akhirnya keluarga pasien bersedia dilakukan operasi.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme sekular saat ini, agama tidak mendapat porsi utama dalam mengatur kehidupan. Jadi wajar saja bila pemerintah bakal tidak terlalu acuh dengan fatwa para ulama. Rakyatnya, yang mayoritas muslim, ya terpaksa menjalani konsekuensi pelaksanaan aturan sekular itu. Maka yang wajib bisa jadi “haram”, contohnya melaksanakan qishosh. Nah gilanya juga, yang haram jadi “wajib”, seperti BPJS ini. Semua rakyat Indonesia diwajibkan terdaftar.
Baca Juga: Pengaturan Pelayanan Kesehatan Dalam Islam
Akhirnya, paling banter kita harus mengaku berada dalam kondisi “terpaksa” melakukan keharaman, sehingga secara fiqih tidak akan berdosa. Tapi kondisi “terpaksa” ini kan ada syaratnya, yaitu tidak tinggal diam, terus berusaha semaksimal mungkin keluar dari kondisi keharaman, yaitu memperjuangkan terwujudnya negara yang akan menerapkan sistem yang menjamin kemaslahatan rakyatnya tanpa menabrak rambu-rambu syariah Islam. Tapi kalau cuma diam, pasrah menjalankan bahkan enjoy saja, kira-kira itu namanya terpaksa atau rela?
Wallahu a’lam.