Mencintai Rasulullah adalah Meneladannya secara Totalitas
MUSTANIR.net – Pada Rabiulawal yang istimewa ini, kaum muslim senantiasa memperingati momentum Maulid Nabi Muhammad ﷺ, kelahiran sosok agung pembawa risalah Islam yang diutus Allah subḥānahu wa taʿālā untuk seluruh umat manusia (lihat QS Saba’ [34]: 28) dan sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 107). Wujud kecintaan pada Rasulullah adalah dengan mengikutinya dan meneladannya secara totalitas, tanpa memilih mana yang sesuai dengan hawa nafsu manusia atau tidak.
Rasulullah adalah Sumber Kebaikan
Dalam QS al-Anbiya: 107, Allah berfirman, “Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Lalu al-Qadhi Iyadh mengutip penjelasan sebagai berikut, “Dikatakan (kerahmatan Rasulullah) bagi seluruh makhluk. Bagi orang mukmin, rahmat dengan hidayah; rahmat bagi orang munafik berupa amannya mereka dari pembunuhan, dan rahmat bagi orang kafir dengan ditundanya azab atas mereka (karena umat terdahulu, azab bagi yang ingkar pada Rasul-Nya diazab langsung di dunia-pen).” (al-Qadhi ‘Iyadh, asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, hlm. 58)
Ada pun fakta hari ini sungguh menyakitkan. Sebagian orang mengaku mewarisi kerahmatan Rasulullah, mengampanyekan kerahmatan Islam, tetapi mereka keras dan memusuhi sesama muslim, dan sebaliknya mereka berkasih sayang dengan orang kafir. Padahal, karakter umat Muhammad adalah keras kepada orang kafir dan lembat lembut di antara kaum muslim.
Dalam al-Qur’an, tidak ada seorang nabi yang dipuji begitu tinggi, melebihi Nabi Muhammad ﷺ. Dalam satu ayat, Nabi ﷺ disebut sebagai teladan yang baik (uswah hasanah), yakni model peran, role model (lihat QS al-Ahzab: 29).
Dalam ayat yang lain, tidak tanggung-tanggung, Allah subḥānahu wa taʿālā menyebut Baginda Rasul ﷺ sebagai manusia dengan pribadi yang benar-benar agung (lihat QS al-Qalam: 4). Mungkin ada yang bertanya, dari mana keagungan itu dicapai oleh Nabi ﷺ?
Keterangan dalam QS al-An’am bisa menjadi kunci jawabannya. Dalam surah ini, diceritakan soal nabi-nabi terdahulu, mulai dari Nuh, Ibrahim, Ya’qub, Yusuf, dan lain-lain. Pendeknya, ada 18 nabi dikemukakan di situ.
Pada ayat ke-90, setelah menceritakan nabi-nabi itu, lalu Allah menegaskan, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS al-An’am: 90)
Para nabi dan rasul Allah itu adalah mereka yang mendapat bimbingan dari Allah. Firman-Nya, “Maka Ikutilah petunjuk mereka.” Jadi, Baginda Rasul mewarisi kemuliaan dan keistimewaan nabi-nabi terdahulu sehingga membentuk akumulasi keagungan yang benar-benar agung. (al-Qadhi ‘Iyadh, asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, hlm. 60)
Bahkan, Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitabnya, asy-Syifa, menyatakan ijmak bahwa orang yang melecehkan Nabi Muhammad ﷺ hukumnya haram dan orang yang melakukannya wajib dihukum mati. Hukum dan hukuman ini diambil dari ayat-ayat al-Qur’an maupun ijmak para sahabat Nabi.
_Hak Nabi yang Harus Ditunaikan oleh Umatnya_
Ada banyak hak Nabi Muhammad ﷺ yang wajib ditunaikan oleh umatnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Mencintai beliau ﷺ. melebihi kecintaan kepada segala sesuatu.
Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS at-Taubah: 24)
Al-Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan serta hujah untuk mewajibkan mencintai beliau ﷺ dan kelayakan beliau ﷺ mendapatkan kecintaan tersebut Ini karena Allah subḥānahu wa taʿālā menegur orang yang menjadikan harta, keluarga, dan anaknya lebih dicintai dari Allah dan Rasul-Nya, serta mengancam mereka dengan firman-Nya, “Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Kemudian di akhir ayat menamakan mereka sebagai orang fasik dan memberitahukan bahwa orang tersebut termasuk sesat dan tidak mendapatkan petunjuk Allah.
Beliau ﷺ juga bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR al-Bukhari)
2. Membuktikan kecintaannya.
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Ketahuilah, barang siapa mencintai sesuatu, pasti dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, berarti kecintaannya tidak dianggap benar, hanya pengakuan belaka. Orang yang benar pengakuan cintanya kepada Rasulullah ﷺ adalah orang yang menampakkan tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda cinta kepada Rasulullah adalah meneladani beliau, mengamalkan sunahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau (contohkan), baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan lapang maupun sempit.” (al-Qadhi Iyadh, asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, Juz 2, hlm. 24)
Pembuktian cinta kepada Rasulullah itu meliputi beberapa hal.
• Pertama, membenarkan seluruh berita Rasulullah ﷺ.
Apa pun yang diberitakan oleh beliau, masuk akal atau tidak, bisa disaksikan indra atau tidak, wajib diyakini kebenarannya. Sebabnya, ucapan Rasulullah ﷺ adalah wahyu dari Allah taʿālā.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm: 3—4)
• Ke dua, menaati Rasulullah ﷺ dengan mengamalkan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
Wajib bagi umat manusia menaati Rasulullah ﷺ. Banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan kewajiban ini. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul, dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS Muhammad: 33)
Rasulullah ﷺ juga bersabda bahwa taat kepada beliau menyebabkan seseorang masuk janah-Nya. “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Mereka bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Siapa yang taat kepadaku, akan masuk surga, dan siapa yang tidak taat kepadaku, dialah yang enggan.” (HR Bukhari)
• Ke tiga, menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai hakim dan pasrah pada keputusannya. Menelaah bahasan Imam Ibnu Atha’illah dalam Kitab at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir hlm. 31-32, memberikan penjelasan keharusan pasrah pada semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa: 65)
Beberapa poin penting dari QS an-Nisa: 65 adalah sebagai berikut. (1) Wajibnya berhukum (bertahkim) kepada Rasulullah saw. dalam perkara yang diperselisihkan. (2) Wajibnya melenyapkan keberatan (haraj) dalam hati, artinya ada kesiapan bertahkim kepada Rasulullah lahir dan batin. (3) Berserah diri (taslim) secara totalitas pada semua perkara, bukan pada perkara yang sedang diperselisihkan saja.
Jadi, tidak ada ruang lagi bagi manusia untuk menentang ketetapan dan hukum Allah dan Rasul-Nya yang ditetapkan kepada manusia. Jangankan menentang, ada keberatan saja tidak boleh. Jangankan keberatan, tidak pasrah pada semua urusan saja tidak boleh.
Mengikuti Sunahnya dalam Politik dan Pemerintahan
Salah satu hadis yang mengandung pesan penting terkait membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah ﷺ adalah hadis dari Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barang siapa yang menghidupkan sunahku, maka sungguh ia telah mencintaiku; dan siapa saja yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR at-Tirmidzi, ath-Thabarani)
Kata “sunah” pada hadis di atas bermakna ‘jalan hidup Rasul’ atau minhaj kenabian. Sunah Rasulullah mencakup semua ajarannya, mulai perkara ibadah hingga perkara politik pemerintahan. Rasulullah berwasiat bahwa sistem pemerintahan yang harus diikuti adalah yang merujuk pada sunah Rasulullah dan contoh para khalifah pengganti beliau dari Khulafaurasyidin.
Dalam sebuah riwayat disebutkan dari Abu Najih al-Irbadh bin Sariah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺ memberikan kami nasihat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata, ‘Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.’
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah subḥānahu wa taʿālā, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Itu karena di antara kalian ada yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunahku dan sunah Khulafaurasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari bidah karena semua perkara bidah adalah sesat.’” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hadis di atas adalah hadis politik yang sangat penting dan agung. Rasulullah ﷺ berwasiat beberapa hal. (1) bertakwa kepada Allah; (2) patuh dan taat kepada pemimpin dalam pemerintahan Islam, bagaimanapun kondisinya; (3) setelah zaman kenabian akan ada banyak perselisihan; (4) perintah mengikuti sunah Nabi Muhammad ﷺ dan sunah Khulafaurasyidin yang mendapat petunjuk (dalam hal penyelenggaraan pemerintahan); (5) perintah berpegang teguh pada sunah bagaikan menggigit sesuatu dengan gigi geraham; dan (6) larangan perilaku bidah karena bidah adalah kesesatan.
Beliau ﷺ memerintahkan untuk menaati para pemimpin karena di dalamnya terdapat maslahat yang besar, selama para pemimpin itu berpegang teguh dengan Islam, menyerukan Kitabullah, bagaimanapun kondisi mereka dalam hal diri mereka sendiri, keagamaan dan akhlak mereka, dan tidak dipatahkan tongkat atas mereka. Namun, jika tampak dari mereka kemungkaran maka mereka diperingatkan dan diingatkan.” (al-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz 4, hlm. 422)
Selanjutnya adalah penjelasan agar kita mengikuti sunah Khulafaurasyidin. Lafaz al-khulafa’ adalah jamak dari kata khalifah. Istilah khalifah itu sendiri jelas identik dengan “kepemimpinan siyasah”, sedangkan istilah sunah adalah “metode/minhaj”, menunjukkan adanya sunah (minhaj) para khalifah (pada kalangan sahabat) berkaitan dengan kepemimpinan, yang diperjelas dalam hadis lainnya.
Rasulullah ﷺ dan Khulafaurasyidin yang menegakkan minhaj pemerintahan dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis, “Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad)
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menegaskan, “Rasulullah ﷺ dan para ulul amri setelahnya (Khulafaurasyidin) telah menggariskan adanya sunah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, dan menyempurnakan ketaatan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan) di atas Din Allah, tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh mengubahnya, tidak boleh pula menggantikannya (dengan sunah selainnya), dan tidak dilihat sedikit pun apa pun yang menyelisihi sunah tersebut; siapa saja yang mengambil petunjuk darinya, maka ia menjadi orang yang tertunjuki; siapa saja yang mencari kemenangan dengannya, maka ia akan diberikan; dan siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat bergantung (selain Allah), dan menyeretnya ke dalam Jahanam, dan ia adalah seburuk-buruknya tempat kembali.” (al-Ajurri al-Baghdadi, asy-Syari’ah, juz I, hlm. 40)
Penutup
Inilah makna mencintai Nabi ﷺ, yakni mencintai syariatnya secara keseluruhan. Mencintai syariatnya terwujud dengan menghidupkan sunahnya dengan mengupayakan tegaknya Islam secara totalitas dalam kehidupan. Kecintaan itulah yang mengantarkan seorang muslim berada di barisan pejuang yang memperjuangkan tegaknya kehidupan Islam.
Nilai apa pun yang posisinya menggantikan al-Qur’an dan Sunah, hakikatnya adalah “jalan” baru selain syariat Allah. Kata Imam Ibnu Katsir, ia adalah jalan menuju kerugian, kehancuran, dan kebinasaan. Bahkan, usai Baginda Nabi ﷺ menyampaikan Khotbah Wadak, turunlah firman Allah subḥānahu wa taʿālā, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS al-Maidah [5]: 3) []
Sumber: Yuana Ryan Tresna, ME, M.Ag – Pengasuh Pusat Pendidikan Hadits Ma’had Khadimus Sunnah Bandung