Mengapa Panitia Diharamkan Menjual Kulit Hewan Qurban?
Mengapa Panitia Diharamkan Menjual Kulit Hewan Qurban?
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah. Ada yang bilang panitia penyembelihan hewan qurban diharamkan menjual kulit hewan. Pertanyaan saya : apa dasar dari larangan itu dan apa akibatnya bila dilanggar? Apakah larangan ini bersifat mutlak atau ada khilafiyah di dalamnya?
Demikian pertanyaan saya. Semoga bisa cepat dijawab.
Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dasar pelarangan untuk menjual bagian tubuh hewan qurban adalah sabda Rasulullah SAW sendiri.
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Al-Hakim)
Kalau kulitnya saja haram untuk dijual, maka apalagi dagingnya. Dan penjelasan atas ketidak-bolehan seorang yang menyembelih hewan qurban untuk menjual kulitnya bisa kita dapati keterangannya dalam beberapa kitab. Antara lain kitab Al-Mauhibah, Busyral-Kariem, Fathul Wahhab dan juga Asnal Matalib.[1]
Selain larangan dari hadits di atas, ’illat kenapa menjual bagian tubuh hewan udhiyah dilarang adalah karena hewan qurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya. Maka sesuatu yang sudah diserahkan kepada Allah tentu tidak boleh diperjualbelikan.
Meski tidak boleh diperjual-belikan, namun bukan berarti hewan itu dibiarkan saja membusuk. Oleh karena itu siapa saja boleh memakannya, orang miskin, orang kaya, termasuk pihak yang berqurban sendiri pun juga disunnahkan ikut memakannya. Yang penting jangan dijual.
Kira-kira mirip dengan wakaf masjid. Siapa saja boleh shalat di masjid itu termasuk yang mewakafkan hartanya. Yang penting masjid itu jangan dijual. Dan siapapun tidak boleh menjualnya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy-Syafi’i mengatakan :
Hewan qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban. Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.
Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan.
Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli disini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata.
Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Apakah terlarangnya menjual kulit hewan qurban ini sudah mutlak?
Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap Terlarang
Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh Dengan Syarat
Syaratnya adalah asalkan ditukar dengan barang juga dan bukan dengan uang. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Abu Hanifah.
Namun sebenarnya pendapat ini terbantah karena tukar menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i sendiri. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”[2]
Ketiga: Boleh Secara Mutlak
Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagian ulama membolehkan kalau yang menjual adalah fakir miskin. Uang hasil penjualannya 100% milik mereka. Sedangkan panitia tetap terlarang untuk menjualnya. Panitia cukup menyerahkan kulit itu kepada fakir miskin, lalu mempertemukan mereka dengan pembeli kulit, dan biarkan kedua belah pihak bertransaksi.
[1] Al-Mauhibah jilid halaman 697, kitab Busyral-Kariem halaman 127, kitab Fathul Wahhab jilid 4 halaman 196 dan juga kitab Asnal Matalib jilid 1 halaman 125.
[2] Al-Umm, jilid 2 hal. 351
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA