Mengapa Tidak Boleh Menggambar Nabi

Masjid-Nabawi

Mengapa Tidak Boleh Menggambar Nabi

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Baru-baru ini tersiar kabar bahwa di luar negeri sana ada lomba mewarnai gambar Nabi Muhammad SAW. Memang selama ini yang kita ketahui bahwa salah satu cara orang-orang kafir dalam menghina Nabi Muhammad SAW adalah dengan membuat gambar penghinaan kepada beliau SAW.

Namun dibalik semua itu, dalam hati saya kemudian muncul pertanyaan agak ‘nakal’.  Bagaimana kalau seandainya kita menggambar sosok Rasulullah SAW juga, tetapi bukan dengan niat untuk menghina. Niatnya justru untuk membangun kedekatan kita kepada karakter beliau. Maka gambarnya dibuat menjadi sosok yang tampan rupawan, siapa pun yang melihatnya akan mengagumi gambar itu.

Apalagi misalnya untuk kepentingan pendidikan, khususnya anak-anak kita agar lebih mengenal sosok Rasulullah SAW, bukankah ini menjadi hal yang penting?

Maksudnya dari pada anak-anak kita tumbur dan dibesarkan dengan mengidolakan tokoh kartun hayalan, apalagi lewat karakter yang  umumnya didatangkan dari luar yang notabene bukan sosok islami. Apa tidak sebaiknya malah kita buatkan ‘gambar’ sosok Rasulullah SAW saja?

Kira-kira bagaimana pandangan secara syariahnya, adakah kajian dalam masalah hal ini? Atau barangkali ada khilafiyah di antara para ulama tentang boleh dan tidak bolehnya, mohon dijelaskan ustadz.

Demikian pertanyaan kami, semoga ustadz berkenan menjawabnya.

Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seandainya kita lewatkan pembahasan hukum melukis makhluk hidup, yang mana para ulama masih berbeda pendapat di dalamnya. Dan seandainya kita lewatkan bab haramnya menggambar sosok Nabi Muhammad SAW dengan niat buruk dan tujuan jelek, sehingga digambar dengan wujud yang bagus dan rupawan. Dan seandainya kita punya tujuan yang mulia, yaitu ingin mendekatkan sosok karakter Rasulullah SAW kepada umat Islam. Maka tetap saja semua itu masih menyisakan satu masalah penting dan fundamental, yaitu masalah kedudukan sosok dan penampilan Rasulullah SAW yang menjadi rujukan hukum dalam agama.

Perlu kita ketahui bahwa kedudukan Rasulullah SAW dalam aqidah Islam itu bukan sekedar menjadi pembawa wahyu dari Allah semata. Namun peran beliau jauh lebih luas  dari itu. Beliau SAW adalah representasi semua perintah dan larangan Allah SWT, bukan hanya sebatas teks-teks wahyu, tetapi semua yang beliau katakan, semua yang beliau lakukan, bahkan segala penampilan dan gerak-gerik beliau. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa beliau adalah sosok resmi utusan Allah SWT.

Maka penampilan beliau dalam ekspresi wajah, senyum, marah, tertawa, bahkan cara beliau berpakaian, menyisir rambut, merapikan jenggot dan kumis serta hal-hal kecil lainnya, tidak bisa dilepaskan dari sumber hukum dalam syariah Islam.

Dan semua informasi tentang sosok Rasulullah SAW itu harus valid, shahih, benar, dan punya landasan ilmiyah serta bukti otentik. Tidak boleh hanya semata didasarkan pada hayal, ilusi, imajinasi serta perkiraan subjektif dari orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan beliau.

Dalam menjadi validitas syariah, apapun perkataaan yang dianggap sebagai perkataan Rasulullah SAW, pasti akan kita tolak mentah-mentah kalau tidak ada jalur periwayatannya yang shahih dan valid. Dan apapun perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan beliau SAW, juga akan kita buang ke tong sampah, selama tidak ada jalur periwayatan secara resmi dan memenuhi standar baku dan prosedur yang benar.

Maka kalau ada penghayal dari negeri antah berantah melukis wajah manusia, lantas dia mengklaim bahwa gambar itu adalah wajah Rasulullah SAW, seluruh umat Islam sudah berijma’ sepakat bulat bahwa 100% gambar itu bukan gambar beliau SAW.

Kenapa kita tolak mentah-mentah?

Karena kedudukan lukisan Nabi Muhammad SAW itu setara dengan hadits palsu alias hadits maudhu’. Maka kedudukannya cukup kita buang ke tong sampah. Haram hukumnya kita mengatakan bahwa gambar itu adalah gambar Nabi Muhammad SAW. Karena sama saja kita membuat dan menyebarkan hadits palsu kepada orang-orang. Padahal ada ancaman berat tentang orang-orang yang menyebarkan hadits palsu.

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Siapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta. (HR. Muslim)

Lukisan Nabi SAW Karya Shahabat?

Kalau ada orang iseng dan berandai-andai sambil bertanya begini : seandainya ada seorang shahabat yang pernah membuat gambar beliau SAW di masa hidup beliau, bukankah lukisan itu asli?

Memang kelihatannya demikian, tetapi kalau kita ikuti logika itu, tetap saja masih menyisakan masalah besar. Anggaplah shahabat itu memang pernah berjumpa langsung dengan beliau SAW, tetapi masih ada beberapa masalah fundamental lainnya yang harus dijawab :

Pertama, seberapa ahli shahabat itu dalam melukis wajah orang? Jangan-jangan lukisannya malah tidak mirip dan berbeda dari aslinya. Sampai disitu saja masalah lukis melukis wajah beliau SAW sudah jadi masalah.

Kedua, anggaplah ada shahabat yang berprofesi sebagai pelukis ulung dimana lukisannya amat mirip dengan aslinya, tetap saja masih ada masalah. Masalanya adalah siapa yang bisa menjamin lukisan itu terjaga keasliannya hingga 15 abad ini?

Di sisi lain, semua pengandaiannya itu sendiri terlalu memaksakan. Toh tidak pernah ada shahabat Nabi yang diriwayatkan secara orang yang jago menggambar wajah manusia. Dan tidak pernah ada kasus dimana ada lukisan manusia yang diklaim sebagai wajah Rasulullah SAW sepanjang sejarah umat Islam 15 ini.

Kesimpulannya, para ulama telah ijma’ tentang haramnya melukis wajah Rasulullah SAW, apapun alasannya, bahkan meskipun barangkali tujuannya mulia. Dan bab pelarangannya bukan semata karena penghinaan, melainkan karena kepalsuan dan tidak adanya jaminan validitasnya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories