Mengenal Keistimewaan Mukaddimah Ibnu Khaldun
Mengenal Keistimewaan Mukaddimah Ibnu Khaldun
Tak ramai tokoh yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan multidisipliner seperti al-Allamah Ibnu Khaldun alias Abdul Rahman bin Muhammad bin Khaldun (1332-1406 M). Ini ditunjukkan oleh karya-karyanya, antara lain: Kitab al-‘Ibrar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min Dzawi al-Sulthan al-‘Akbar (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa politik tentang Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian dikenal dengan nama kitab al-‘Ibrar. Namun uniknya, pengantar kitab inilah yang justru lebih dikenal luas daripada buku aslinya. Buku pengantar yang berjudul al-Muqaddimah ini menjadikan nama Ibnu Khaldun begitu harum.
Proses penulisan buku itu dilakukan oleh Ibnu Khaldun saat menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibnu Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan.
“Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta’rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim.
Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
“Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Al-Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; “Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”
Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste Comte, pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.
Keahliannya dalam sosiologi, filasafat, ekonomi, politik dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat yang sama, Ibnu Khaldun juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislamannya, ketika menghuraikan tentang ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainya.
Salah satu teorinya tentang ekonomi, apa yang disebutkan dengan “Model Dinamika”. Teori tersebut memberikan pandangan jelas bahwa semua faktor-faktor dinamika sosial, moral, politik, dan ekonomi meski berbeda, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara. Selain itu, Ibnu Khaldun juga telah menyumbangkan pemikiran tentang teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang disusun dalam kerangka sejarah.
Dalam soal politik, Ibnu Khaldun mengetengahkan teori tentang ashabiyah sebagai perekat hubungan politik antarwarga dalam sebuah negara. Dengan keluasan wawasan ini, wajar jika ilmuwan yang menulis tentang sosok Ibnu Khaldun, antara lain: Spengler yang menulis: Economic Thought of Islam:Ibnu Khaldun, Ahmad Ali menulis Economics of Ibnu Khaldun-A Selection, T.B Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture, dan masih banyak lagi literatur lainya