Mengenal Konsep Negara Khilafah

khilafah-dalam-islam

Mengenal Konsep Negara Khilafah

Oleh: Agus Trisa

Dalam beberapa bulan terakhir kita sering dihadapkan pada isu terkait ISIS (Islamic State of Iraq and Sham) yang saat ini mengklaim diri sebagai negara khilafah. Pemimpin ISIS yang bernama Abu Bakar Al-Baghdadi didaulat oleh pengikutnya sebagai khalifah (kepala negara khilafah). Tulisan ini tidak akan mengkritisi soal negara ‘khilafah’ yang didirikan ISIS. Tetapi akan sedikit mengurai tentang negara khilafah itu sendiri. Sebenarnya, masih terlalu banyak hal yang perlu dibahas dan dikaji tentang negara khilafah ini. Membutuhkan waktu khusus dan tidak sebentar untuk mengkaji tentang khilafah. Tetapi di sini akan disinggung sedikit tentang negara khilafah dan kenapa tidak sedikit kaum muslim yang memperjuangkan khilafah.

1. Realitas Khilafah

Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar’i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.

Jika Anda membuka kitab Lisanul Arab karya Imam Ibnu Mandzur, maka Anda semua akan mendapatkan definisi seperti ini.

Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:

a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).

b. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia.  Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.

c. Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.

d. Sistem  pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.

e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.

Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer. Ini bisa kita temukan dalam pembahasan kitab fiqih klasik, seperti Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Al Mawardi, Qawaninul Wuzara’ wa Siyasatul Mulk, juga karya Imam Al Mawardi, Ahkamus Sulthaniyah, karya Abu Ya’la Al Farra’, dan Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah.

Sedangkan dalam karya fiqih yang ditulis oleh ulama fiqih modern, pasca  jatuhnya khilafah Islam, di samping pembahasan mengenai struktur dan peranan setiap struktur negara, juga dibahas bentuk negara, sistem pemerintahan, serta model ideal negara khilafah Islam yang sesuai dengan perkembangan baru. Kajian yang paling lengkap dalam masalah ini adalah buku Nizhamul Hukmi fil Islam, karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, juga Abul A’la Al Maududi. Meskipun karya yang terakhir ini banyak pandangan yang tidak orisinal Islam, dan masih terpengaruh dengan konsep baru yang berkembang pada zamannya, seperti konsep Theodemocracy yang diperkenalkan oleh penulisnya.

2.  Khilafah adalah janji Allah

Allah swt. berfirman,

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasan di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS. An Nur: 55)

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyatakan, “Inilah janji Allah swt. kepada Rasulullah saw. bahwa Allah swt. akan menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafa’ul ardh, yaitu pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (yaitu para khalifah), akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.”

Imam Ath Thabari menyatakan, “Sungguh, Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula Allah akan menjadikan mereka peguasa dan pengaturnya.” Lihat dalam Tafsir Ath Thabari.

Imam Asy Syaukani berkata dalam kitabnya Fathul Qadir, “Inilah janji dari Allah swt. kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal salih tentang kekhilafahan bagi mereka di muka bumi sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi sahabat saja. Sesungguhnya pendapat ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal salih tidak hanya khusus ada para sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.

Rasulullah saw. bersabda,

“‘Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.’ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad dan Al Bazaar)

Hadis di atas adalah kabar dari Rasulullah bahwa suatu saat akan datang kembali sistem khilafah yang diterapkan dengan metode kenabian.

Rasulullah juga menyatakan bahwa orang yang akan menggantikan beliau, mengurusi urusan agama dan dunia adalah seorang khalifah. Beliau bersabda,

’Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, lalu akan ada para khalifah yang banyak.’ Mereka bertanya, ‘Apa yang Anda perintahkan kepada kami?’ Nabi saw. menjawab, ‘Tunaikanlah baiat khalifah yang pertama saja.’” (HR. Bukhari)

Di sini Nabi Muhammad saw. menyebut penggantinya bukanlah nabi, sebab tidak ada nabi lagi melainkan para khulafa’ dan jumlahnya banyak.

3.  Dalil wajibnya keberadaan Khilafah Islamiyah

Banyak nash syara’, baik Alquran maupun Assunnah, yang memerintahkan kaum muslimin untuk merealisasikan adanya khilafah Islam, antara lain:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)

Ayat ini memerintahkan ketaatan kepada Allah, dan Rasul serta pemimpin, dimana hukum ketaatan tersebut adalah wajib. Maka, baik Allah maupun Rasul, keberadaannya sama-sama pasti, karena itu hukum menaatinya adalah pasti; tidak berubah menjadi tidak wajib hanya karena ketiadaan objek yang ditaati. Sebaliknya, jika diperintahkan untuk menaati, maka hukum mewujudkan objek yang ditaati menjadi pasti (wajib). Sebab, tidak pernah ada hukum wajib diperintahkan atas sesuatu yang keberadaannya tidak ada.

Di samping ayat di atas, juga banyak ayat lain yang berkaitan dengan kewajiban untuk melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri, cambuk atas orang yang berzina (ghairul muhshan), dan sebagainya, yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan adanya khilafah Islam. Maka, hukum adanya khilafah Islam adalah wajib, sebagai bagian dari hukum wajibnya melaksanakan hudud tersebut. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul:

Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya  sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu menjadi wajib pula.”

Sedangkan nash hadis adalah sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:

Sesungguhnya imam adalah laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di  belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai pelindung.”   (HR. Muslim)

Hadis di atas memberikan ikhbar (pemberitahuan) yang berisi pujian, yaitu “imam adalah laksana perisai”. Jika adanya “sesuatu yang dipuji” tersebut membawa akibat tegaknya hukum Islam dan sebaliknya apabila “sesuatu yang dipuji” tersebut tidak ada, hukum Islam tidak akan tegak, maka pujian tersebut merupakan qarinah jazimah (indikasi yang tegas), bahwa “sesuatu yang dipuji tersebut” hukumnya adalah wajib.

Ada juga hadis Nabi Muhammad saw. tentang baiat, yaitu dari Abdullah bin Umar,

Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah.  Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah. (HR. Muslim)

Nabi Muhammad saw. telah mewajibkan kaum muslim agar di atas pundak mereka terdapat baiat. Beliau mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada baiat seperti mati jahiliyah. Baiat itu hanya diberikan kepada khalifah, bukan yang lain.

Rasululah telah mewajibkan agar di atas pundak mereka terdapat baiat kepada khalifah, namun beliau tidak mewajibkan setiap orang Islam untuk melakukan baiat saja. Karena yang wajib hanyalah adanya baiat di atas pundak setiap muslim, yaitu adanya seorang khalifah. Sehingga dengan adanya seorang khalifah itu maka baiat bisa diwujudkan. Adanya khalifahlah yang esensinya yang menentukan ada dan tidaknya baiat di atas pundak setiap muslim. Baik mereka membaiatnya secara langsung atau pun tidak. Karena itu hadis di atas adalah dalil wajibnya menegakkan khilafah bukan dalil wajibnya baiat. Karena yang dikecam oleh Rasulullah adalah tidak adanya baiat di atas pundak kaum muslimin, hingga mereka mati, dan bukan mengecam tidak adanya baiat itu sendiri.

Wallahu a’lam.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories