
Meneladani Qurban, Meninggalkan Demokrasi
MUSTANIR.net – Setiap kali perayaan Idul Adha tiba, umat Islam di seluruh dunia kembali mengenang kisah agung Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Sebuah peristiwa monumental yang menggambarkan puncak keimanan, ketaatan, dan keikhlasan.
Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail justru menunjukkan sikap tegar yang luar biasa. Tidak hanya menerima, tetapi juga mendukung ayahnya untuk melaksanakan perintah itu. Ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan pelajaran hidup tentang bagaimana seharusnya seorang hamba tunduk kepada Rabb-nya tanpa syarat dan tanpa tawar.
Namun, jika kita tarik benang merah antara semangat qurban dengan realitas hari ini, kontrasnya begitu mencolok. Umat Islam yang setiap tahun menggelar ritual qurban dengan semangat, justru masih enggan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan.
Ibadah qurban dijalankan dengan khidmat, tapi hukum-hukum Allah lainnya dikesampingkan. Masjid penuh saat shalat Id, tapi suara syariat hilang dalam parlemen dan ruang kebijakan publik. Bahkan, sebagian umat dengan enteng berkata bahwa syariat tidak cocok untuk zaman sekarang. Inilah ironi yang harus disadari bersama saat ini.
Dalam Islam, syariat bukan sebatas opsi, tapi kewajiban yang agung. Ketaatan Ibrahim dan keikhlasan Ismail bukan sekadar teladan personal, tapi lebih dari itu merupakan representasi dari cara seorang Muslim seharusnya bersikap terhadap perintah Allah. Tidak memilih-milih, tidak menunda, apalagi menolak.
Sayangnya, mentalitas umat hari ini justru berkebalikan, syariat dipilah, ditafsir ulang, dan dipolitisasi sesuai hawa nafsunya. Demokrasi sekuler mengajarkan bahwa hukum harus tunduk pada suara mayoritas, bukan wahyu. Maka, penerapan syariat sering kali digugat atas nama toleransi, HAM, dan modernitas.
Umat Islam mestinya menyadari bahwa sumber kehancuran umat adalah ketika Islam dipisahkan dari kehidupan. Sistem demokrasi yang meminggirkan wahyu dari ranah publik adalah akar dari segala kegagalan umat dalam menyelesaikan persoalan mereka.
Ketika ekonomi dikendalikan kapitalisme, ketika politik ditentukan oleh kepentingan elite, ketika pendidikan diukur dari standar Barat, dan ketika syariat dianggap tidak relevan di situlah umat kehilangan arah. Mereka menjalankan ritual, tapi menolak sistem. Mereka mengenang Ibrahim, tapi tidak meneladani sikapnya.
Padahal, Islam tidak hanya hadir untuk mengatur ibadah personal, tapi juga untuk membentuk sistem kehidupan. Qurban seharusnya menjadi pengingat bahwa ketaatan kepada Allah harus total.
Tidak cukup menyembelih kambing, tapi juga harus siap menyembelih ego pribadi dan sistem sekuler yang menjauhkan umat dari syariat. Kita harus berani melepaskan diri dari belenggu demokrasi dan nasionalisme, serta menyambut sistem Islam yang kaffah.
Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah tambal sulam, tetapi perubahan total. Khilafah Islamiyyah adalah satu-satunya institusi yang mampu menerapkan syariat secara menyeluruh dan konsisten. Dalam sistem ini, hukum Allah menjadi dasar seluruh aspek kehidupan mulai dari ekonomi, politik, pendidikan, hingga sosial.
Umat dipimpin oleh seorang khalifah yang bertanggung jawab di hadapan Allah, bukan di hadapan pemilik modal atau suara mayoritas. Dengan demikian, semangat qurban akan terwujud dalam bentuk nyata dalam ketaatan sistemik, bukan sekadar ritual tahunan.
Kini saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita benar-benar meneladani Ibrahim dan Ismail? Atau hanya mengenangnya dalam cerita tanpa keberanian untuk meniru keteladanannya?
Jika kita mengaku cinta kepada keduanya, maka sudah seharusnya kita menunjukkan cinta itu dalam bentuk nyata dengan memperjuangkan tegaknya syariat secara kaffah dalam naungan khilafah. Inilah qurban sejati di mana kita umat Islam menyerahkan hidup dan sistem yang yang mengatur kehidupan kita kepada Allah tanpa syarat dan tanpa tawar. []
Sumber: La Ode Mahmud
