Merdeka Jiwa Lebih Utama

Merdeka Jiwa Lebih Utama

Kalau boleh dibandingkan antara kemerdekaan jiwa dan kemerdekaan raga, maka kemerdekaan jiwa jauh lebih penting daripada kemerdekaan raga semata.

Jiwa yang merdeka tidak bisa dihentikan aktifitas perjuangannya walaupun raganya tersandera, sebaliknya raga yang sehat, kuat dan gagah perkasa, jika jiwanya tersandera, jiwanya menjadi budak, maka kekuatan fisik itu tidak berarti apa-apa.

Bilal bin Rabah r.a, walaupun beliau seorang budak, saat disiksa oleh tuannya karena keimanannya, hingga mereka meletakkan batu besar di atas dadanya ditengah terik matahari seraya memerintahkan Bilal supaya menyekutukan Allah, maka Bilal dengan tegas menolak permintaan mereka, beliau mengucapkan “Ahad, ahad” ((Allah) Maha Esa) berkali-kali, sambil mengatakan:

وَاللَّهِ لَوْ أَعْلَمُ كَلِمَةً هِيَ أَغْيَظُ لَكُمْ مِنْهَا لَقُلْتُهَا

“Demi Allah, kalau aku tahu ada satu kata lain, yang akan menyebabkan kalian lebih marah, tentulah akan aku katakan!”

Begitu juga Habib bin Zaid Al Anshari r.a, walaupun raganya tersandera, ketika Musailamah Al Kadzdzâb berkata kepadanya:

أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?” “Ya, benar”, jawabnya. Kemudian Musailamah bertanya lagi:

أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟

“Apakah engkau juga bersaksi bahwa aku ini Rasulullah? Dia menjawab:

لَا أَسْمَعُ

“aku tidak mendengar (hal tersebut)”. Lalu Musailamah menyiksanya dengan cara memotong-motong tubuhnya hidup-hidup (dicincang), sedangkan Habib bin Zaid tetap teguh dengan sikapnya itu. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/606).

Jika raga yang tersandera tidak mampu menghentikan mereka yang berjiwa merdeka, apalagi jika jiwa sekaligus raga mereka merdeka.

Rib’iy bin ‘Amir, utusan Sa’ad bi Abi Waqqash r.a, sebagaimana diceritakan oleh Imam at Thabari (w. 310H), dalam kitab tarikhnya juz 3 hal 519 dst, dengan pakaian yang sangat sederhana menghadapi Rustum, Jenderal Persia dengan segala kemewahannya, ketika mau masuk, mereka meminta Rib’iy menanggalkan senjatanya. Tanpa merasa minder dengan kemewahan mereka dan kesangatsederhanaan dirinya, Rib’iy menjawab:

إِنِّي لَمْ آتِكُمْ فَأَضَعُ سِلاحِي بِأَمْرِكُمْ، أَنْتُمْ دعوتموني، فان ابيتم ان آتيكم كما اريد رَجَعْتُ

“sesungguhnya aku mendatangi kalian bukan untuk meletakkan senjataku karena perintah kalian, kalian yang telah mengundangku, jika kalian tidak menerima kedatanganku sebagaimana yang aku kehendaki, aku akan kembali pulang”

Akhirnya bertemulah Rib’iy dengan Rustum, ketika Rustum bertanya: ”Apa yang membuat kalian datang ke sini?”

dengan penuh keyakinan Rib’iy menjawab:

اللَّهُ ابْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ…

“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kezhaliman agama-agama kepada keadilan Islam…

Berikutnya terjadilah diskusi antara mereka. Setelah pulangnya Rib’i, Rustum mengumpulkan para petinggi kaumnya kemudian berkata, ”Pernahkah kalian melihat (walau sekali) yang lebih mulia dan lebih benar dari perkataan lelaki ini?”

Mereka menjawab, ”Kami minta perlindungan Allah dari (supaya engkau tidak) terpengaruh kepada sesuatu dari (ajakan) ini dan dari menyeru agamamu kepada (agama) anjing ini. Tidakkah engkau melihat kepada pakaiannya?”

Rustum menjawab,

وَيْلَكُمْ لَا تَنْظُرُوا إِلَى الثِّيَابِ، وَانْظُرُوا إِلَى الرَّأْيِ وَالْكَلَامِ وَالسِّيرَةِ. إِنَّ الْعَرَبَ يَسْتَخِفُّونَ بِالثِّيَابِ وَالْمَأْكَلِ، وَيَصُونُونَ الْأَحْسَابَ

”Celaka kalian! Janganlah kalian melihat kepada pakaian. Akan tetapi lihatlah kepada pendapat, perkataan, dan jalan hidupnya! Sesungguhnya orang ‘Arab menganggap ringan masalah pakaian dan makanan. Tetapi mereka menjaga harga diri mereka.”

==

Pasukan penjajah memang telah pergi dari negeri ini, secara fisik yang memimpin negeri ini adalah anak-anak negeri sendiri, namun sudahkah negeri ini, para penguasanya, mempunyai jiwa yang merdeka, berani menolak hegemoni asing, bahkan menentangnya?

Sungguh menyedihkan, fakta yang terlihat justru sebaliknya, raganya penjajah memang telah pergi, namun sepertinya justru “kita” yang tidak merelakan mereka pergi, “kita” sudah “enjoy” dengan penjajahan.

Raga para penjajah memang kita usir, namun kita masih menggunakan aturan dan pola pikir mereka, mengundang mereka untuk menguasai lebih dari 70% kekayaan negeri ini atas nama investasi, menjadikan rakyat negeri ini sebagai kuli yang bekerja kepada mereka untuk keuntungan mereka, senantiasa berhutang dan berhutang kepada mereka hingga taraf kita kesulitan membayar bunganya.

Kasus Tolikara juga membukakan mata kita, saat GIDI (Gereja Injil Di Indonesia) melarang umat Islam merayakan hari rayanya bahkan membakar masjid mereka, saat bendera Israel berkibar jaya di sana, saat nyata-nyata presiden GIDI, Dorman Wandikbo mendukung separatisme Papua, dengan menyatakan “Papua merdeka itu hak dasar orang Papua,… orang Papua minta merdeka bukan karena penderitaan, kelaparan dan kemiskinan, tapi mau lepas karena ideologi yang harus kita pahami,” [1] kenapa justru digelar karpet merah di istana untuk mereka? Sudah sedemikian rapuhkah kekuatan kita?, ataukah jiwa penguasa negara ini yang terjajah dan terjarah? Sungguh sangat bertolak belakang dengan sikap ksatria yang dicontohkan oleh para sahabat.

Jiwa akan benar-benar merdeka jika hanya menghamba kepada Allah swt, Dzat Yang Maha Perkasa. Jiwa tidak akan merdeka jika masih bergantung pada manusia, sangat senang dengan pujiannya dan sangat khawatir dengan celaannya. Jiwa tidak akan merdeka jika masih menghamba pada hawa nafsu, tidak mau tunduk kepada syari’ah-Nya, jiwa yang seperti inilah penyebab terjadinya kehinaan diatas kehinaan. Umar bin Khattab r.a pernah berkata:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain dengan yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita.” (HR. Al Hakim dengan sanad shahih menurut syarat al Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi). Allahu A’lam. [M.Taufik NT]

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories