Mewaspadai Gejala Tasaquth dan Insilakh dalam Dakwah

duduk

Oleh: Agus SuryanaStaf Dosen Telkom University

Mengemban dakwah meniscayakan pengorbanan, mulai dari harta, tenaga, waktu, pikiran, sampai nyawa. Meski kondisi negeri kita masih berpihak pada dakwah—tidak seperti nasib tragis yang dialami pengemban dakwah di negeri lainnya—sejatinya pengemban dakwah harus tetap menyiapkan pengorbanan tertinggi untuk dakwah ini yakni jiwa, sebab kesiapannya dalam mengorbankan jiwa karena dorongan keimanan akan menjadi garansi atas kontinyuitas dakwah yang diembannya.

Jika kita hanya siap berkorban sebagian dari yang kita miliki sementara yang lainnya masih dalam pertimbangan bahkan nyaris ragu dan takut, maka dipastikan dakwah akan diemban tanpa totalitas, padahal totalitas adalah harga mati dalam mengemban dakwah untuk mencapai tujuan yang diharapkan yakni kembalinya kehidupan Islam dalam naungan khilafah.

Sebagai contoh, ketika kita hanya siap berkorban harta –karena merasa berkecukupan dalam hal tersebut—tetapi meminta “dispensasi” untuk aktifitas yang lain, seperti kontak rutin, membina dan dibina, rakor dakwah, dll maka dakwah akan telantar, sebab hakikatnya tidak ada pembagian “tugas” pengorbanan dalam hal dakwah. Semuanya dituntut berkorban dari apa yang kita miliki baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Ketika dakwah hanya mendapat prioritas di bawah aktifitas yang lainnya,tidak jauh lebih penting ketimbang bekerja, studi, atau berbisnis, maka konsekuensi yang harus dihadapi adalah berguguran serta lepasnya para pengemban dakwah dalam kancah perjuangan Islam.

Istilah tasaquth (berguguran) dan insilakh (melepaskan diri dari dakwah) diperkenalkan oleh Fathi Yakan dalam bukunya yang mengupas tentang fenomena berjatuhannya para aktivis Islam dalam kancah perjuangan dakwah dari masa ke masa.

Hingga hari ini, fenomena tersebut masih tampak dalam perjalanan dakwah kita, karenanya mengenali gejalatasaquth dan insilakh sangat penting bagi seorang pengemban dakwah agar dirinya mewaspadai bahkan menghindari munculnya tasaquth dan insilakh.

Setidaknya ada lima gejala tersebut. Pertama, pengunduran diri pengemban dakwah dari kancah perjuangan Islam, baik dengan perkataan atau mungkin cukup dengan sikapnya yang semakin menjauh dari dakwah.

Jika seorang pengemban dakwah tiba-tiba jarang hadir dalam agenda-agenda dakwah, dan tidak pernah berkumpul lagi dengan teman-teman aktivis lainnya tanpa alasan yang jelas, maka perlahan namun pasti dirinya sudah bukan lagi bagian integral dari jamaah.

Deteksi awal pada gejala ini sangat penting terutama bagi seorang pemegang kewenangan dakwah, karena pernyataan pengunduran diri dari dakwah selalu dimulai dari gejala-gejala tsb. Di sinilah urgensi supervisi dakwah (mutaba’ah) kepada para pengembannya.

Kedua, hilangnya semangat juang. Hal ini disebabkan adanya kejenuhan para pengemban dakwah, ini tidak terjadi secara tiba-tiba, kemunculannya sangat dipengaruhi oleh kondisi nafsiyahtaqarub yang kurang, dan menoleransi  kemaksiatan, hal tsb berlangsung cukup lama sehingga menghasilkan disorientasi.

Ketiga, kaburnya niatan ikhlas. Pengemban dakwah yang mulai menawar-nawar dan memilih-milih tugas dakwah yang akan diembannya, sesungguhnya dia tengah masuk dalam “perangkap” ketidakikhlasan.

Keempat, ketidakdisiplinan. Menoleransi ketidakdisiplinan sekecil apapun dalam dakwah akan berdampak pada upaya menyepelekan dakwah yang berujung pada pandangan bahwa dakwah tidak lagi urgen dijalani.

Kelima, berkurangnya porsi waktu untuk mengurus dakwah. Ini bisa dipahami jika waktu para pengemban dakwah lebih banyak untuk mengurusi persoalan lain di luar dakwah, bisa urusan kerja, studi, atau bisnis.

Ketika pengemban dakwah sudah banyak mengeluhkan kesibukannya (tapi bukan sibuk berdakwah), maka dirinya akan meminta beban dakwah dikurangi, minta dimaklumi, dan akhirnya berada pada zona nyaman, asyik dengan kesibukannya mengurus dunia.

Ketika porsi waktu untuk mengurus dakwah berkurang, maka dipastikan porsi mengurus hal lain selain dakwah bertambah, pergantian posisi ini sangat berbahaya bagi pengemban dakwah, karena dakwah tidak lagi dijadikan poros kehidupan sehingga dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama dirinya akan berada di luar jamaah.

Maka, selalu berada dalam poros dakwah dan menjadikan Allah SWT sebagai penolong atas kita adalah kunci terhindar dari tasaquth dan insilakh.[]

About Author

Categories