Demokrasi Tidak Relevan dengan Karakter Milenial
MUSTANIR.net – Direktur Eksekutif Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkapkan bahwa ketertarikan pemilih muda untuk menjadi anggota partai politik (parpol) ataupun sayap parpol masih rendah. Dalam survei CSIS pada Agustus 2022, tercatat ketertarikan itu hanya 1,1%.
“Kita masih harus terus mendorong anak muda aktif di dalam politik, untuk penyegaran baru dan tema baru di dalam proses bangsa negara kita,” kata Yose dalam sambutannya di acara Konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) bertema “Demokrasi, Anak Muda, dan Pemilu 2024”, di Gedung CSIS, Jakarta, Selasa (14-3-2023). (Kompas)
Peran Milenial
Masih minimnya peran milenial dalam keterlibatan parpol, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pemangku demokrasi. Ini karena pada 2012 lalu saja, suara milenial mendominasi hampir 60% dari kontestan demokrasi atau sekitar 140 juta keterlibatan mereka. Jumlah yang sedemikian besar tentu menjadi indikator kesuksesan perhelatan demokrasi sekaligus indikator keberhasilan keberlangsungan demokrasi di dalam suatu negara.
Milenial adalah orang-orang yang lahir pada rentang 1981-1996 atau pada 2022 berusia 26-41 tahun. Saat ini, bangsa kita didominasi oleh generasi milenial dan generasi ini adalah orang-orang yang melek teknologi dan memiliki interaksi dengan dunia Internet lebih dari 80%.
Anggapan bahwa “millennials kill everything” menjadikan mereka sebagai agen perubahan yang dahsyat dalam bisnis sains dan teknologi yang cepat berubah, sekaligus membangun komunitas baru dengan kemampuannya membangun nilai-nilai yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dalam hal ini adalah menuntut kecepatan, kemudahan, keadilan, dan kualitas hidup yang baik tanpa birokrasi yang ribet.
Karakter milenial yang demikian akan bertentangan dengan karakter demokrasi yang dikenal penuh dengan birokrasi yang lelet dalam merespons perkembangan atau perubahan sosial ekonomi politik di tengah umat. Sifat tidak melihat regulasi yang ada dan senantiasa keteteran dalam menghadapi berbagai macam perubahan yang ada, barangkali merupakan alasan yang membuat demokrasi tidak menarik di kalangan milenial.
Milenial di Tengah Pusaran Politik Praktis ala Demokrasi
Demokrasi dianggap tidak relevan dan sejalan dengan karakter milenial, walaupun ada banyak usaha agar partisipasi milenial makin besar dengan dilibatkannya mereka menjadi kontestan. Milenial menyadari bahwa demokrasi ini tidak relevan sehingga bisa jadi milenial yang justru mendisrupsi demokrasi karena sudah tidak sesuai lagi dengan spirit kaum milenial.
Bukan hal yang baru, selama ini demokrasi dikenal sangat lamban dan penuh problem dalam menyelesaikan berbagai programnya. Bahkan, demokrasi tidak adil dalam memihak kepentingan rakyat. Demokrasi lebih mengutamakan kepentingan para pemodal dan oligarki, bahkan rakyat hanya menjadi stempel bagi kepentingan mereka.
Para oligarki pemodal dan korporatokrasi telah membajak demokrasi, menjadi satu ekosistem untuk melanjutkan pemerintahan yang korup, kekuasaan yang menindas, dan menjadi jalan bagi keserakahan para oligarki dan pemuda untuk melestarikan kekuasaannya secara ekonomi maupun politik.
Sayangnya, partisipasi politik pemuda diartikan sebatas keterlibatan mereka dalam praktik politik praktis. Para pemuda dijadikan supporting system atau penerus “kaum tua” dalam aktivitas politik para parpol kontestan demokrasi. Dari sudut pandang ini, kita melihat adanya perpolitikan dinasti, yakni para penerus parpol adalah anak keturunan atau keluarga para pendiri parpol ataupun orang-orang yang terlebih dahulu ada di parpol tersebut.
Di sisi lain, ruang partisipasi politik pemuda di ekstraparlemen sangat dibatasi dengan berbagai macam strategi dan program kepemudaan. Pemuda disibukkan oleh aktivitas remeh yang orientasinya sekadar mengejar kepuasan materialistis. Kepedulian dan kepekaan mereka terhadap kondisi politik dan berbagai permasalahan bangsa itu sengaja dibatasi, bahkan dicegah sedemikian rupa.
Agen Perubahan
Sudah selayaknya milenial sebagai agen perubahan, mengganti sistem demokrasi dengan sistem yang lebih baik sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, dan membangun kesejahteraan bagi semua golongan. Ialah sistem Islam yang akan menerapkan syariat Islam secara kafah.
Sistem inilah yang akan menyelesaikan perbedaan-perbedaan manusia dengan lebih cepat tanpa interupsi. Juga lebih adil karena tidak ada kepentingan ekonomi maupun politik bagi golongan tertentu sebagaimana terjadi di alam demokrasi.
Sistem Islam sesuai dengan hukum Allah Sang Pencipta yang akan membawa pada rahmat bagi seluruh alam. Terbukti, pada masa kejayaan Islam, begitu banyak pemuda yang namanya menjadi inspirasi karena kemuliaan dan tunduknya sikap mereka dalam memuliakan Islam.
Sejak generasi sahabat, bahkan hingga Sultan Muhammad al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel yang menjadi gerbang tersebarnya Islam ke Eropa. Umar bin Khaththab ketika masa mudanya pun dihabiskan untuk mengikuti pertemuan para petinggi. Meskipun kala itu ia belum masuk Islam, kita bisa lihat semangatnya dalam memahami politik.
Nabi ﷺ pun mengingatkan kaum muslim untuk menjaga masa muda mereka sebaik-baiknya, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu…” (HR Baihaqi)
Wallahualam. []
Sumber: Novita Sari Gunawan