Momentum Puasa dan Upaya Penegakan Syariat Islam Secara Kaffah
MUSTANIR.net – Puasa Ramadhan dijalankan oleh kaum muslimin di seluruh muka bumi sebagai salah satu bagian syariat Islam yang hukumnya wajib seperti sholat, zakat, haji, dan kewajiban lainnya, termasuk berdakwah dan penegakan hukum Islam melalui penerapan sistem pemerintahan Islam.
Kalau tidak menjalankan kewajiban ibadah puasa, berarti Islam seseorang tidak kaffah. Begitu pula ketika sistem pemerintahan Islam tidak ditegakkan untuk bisa menjamin penerapan hukum Islam, maka Islam kita pun belum dapat disebut kaffah.
Tujuan puasa adalah pribadi yang bertakwa. Takwa artinya menjalankan seluruh —bukan sebagian— kewajiban atau perintah, dan menjauhi seluruh —bukan sebagian— larangan. Jadi, puasa dapat menjadi sarana bagi semua pribadi muslim untuk ikut andil dalam penerapan Islam secara kaffah di seluruh bidang kehidupannya.
Selama ini banyak di antara umat Islam, bahkan mungkin mayoritas muslim, tidak sejalan dengan penegakan syariat Islam dalam kehidupan bernegara, apalagi secara kaffah (menyeluruh). Umat Islam, termasuk penulis, masih mengikuti cara berpikir: “yang penting ada maslahah, syariat itu nanti dulu”, bukan “di mana ada syariat, di situ ada maslahah”. Ini prinsip yang selama ini dipegang sebagian besar umat Islam di NKRI ini.
Kita lebih suka berhukum secara prasmanan. Artinya, berhukum syariat Islam itu sebatas yang “mengenakkan”, ambil yang dianggap menguntungkan, tinggalkan yang dianggap merugikan. Jadi, kita berhukum itu sebatas anggapan manusia sendiri tanpa berkonsekuensi dengan “apa maunya Alloh”.
Mungkinkah kita dengan modal minimalis itu menegakkan syariat Islam, hendak membentuk NKRI bersyariah seperti tekad partai itu? Padahal kita tahu bahwa the end of sharia Islam enforcement adalah tercapainya tujuan negara didirikan, yakni maslahah dhuroriyaat.
Maslahah dhuroriyaat ini yang sekaligus menjadi akhlak negara ada delapan macam, yaitu:
1. Menjaga agama (hifdzud diin).
2. Menjaga jiwa (hifdzun nafs).
3. Menjaga akal (hifdzul aqli).
4. Menjaga keturunan (hifdzul nasl).
5. Menjaga harta (hifdzul maal).
6. Menjaga kehormatan (hifdzul karamah).
7. Menjaga keamanan (hifdzul amn).
8. Menjaga negara (hifdzud daulah).
Penegakan syariat Islam dalam negara selain akan mencegah pelanggaran, mencegah kriminalitas, juga karena penegakannya diwajibkan oleh Pencipta untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Dan seperti yang dituliskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya ‘Mafahim Islamiyah’, bahwa Islam akan mendatangkan maslahah dhoruriyaat, kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi keharusan, yang diperlukan oleh kehidupan individu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Bukankah hal ini juga merupakan buah dari ibadah puasa yang disebut takwa?
Jika kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak ada, maka sistem kehidupan manusia menjadi cacat, manusia hidup anarki dan rusak, dan akan mendapatkan banyak kemalangan dan kesengsaraan di dunia serta siksa di akhirat kelak. Maslahah dhuroriyah tersebut rasanya memang seperti fiksi. Sebatas energi positif yang dapat membangkitkan seseorang, kelompok orang untuk mencapai tujuan mulia tertentu. Namun, salah rasa itu.
Maslahah itu bukan fiksi, apalagi fiktif melainkan realitas. Maslahah dhuroriyaat itu juga sudah dikaji berdasarkan wahyu, ra’yu (olah akal), dan pengalaman sejarah ratusan bahkan ribuan tahun. Namun, ketiga hal itu sering kita kibaskan hanya karena nafsu yang ingin semakin lepas menjauh dari syariat Islam. Kita mesti ingat, tidak ada sebuah komunitas masyarakat di muka bumi ini homogen, tetapi heterogen. Islam setahu saya hadir untuk tetap menghargai keragaman dengan tetap menyerukan amar ma’ruf nahi munkar.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tidak menggunakan hukum Islam sebagai landasan penyelenggaraan negara. Namun demikian, negara tetap memberikan ruang untuk diterapkannya hukum Islam pada tataran tertentu khususnya hukum keluarga. Hukum perkawinan, hukum waris, hukum wakaf, hukum zakat, hukum penyelenggaraan haji mendapat tempat khusus dalam penyelenggaraan negara hingga dibentuk pula peradilan khususnya, yakni pengadilan agama.
Meskipun tidak secara menyeluruh diatur, bukti tersebut sebenarnya mencerminkan bahwa relasi antara negara dan agama begitu tampak jelas. Negara menjamin kepada umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa sebagai kewajibannya, dan jaminan itu seharusnya diberikan secara seimbang terhadap pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar terhadap penerapan syariat Islam secara kaffah melalui dakwah, bukan sebaliknya mengembangkan narasi Islamophobia. []
Sumber: Pierre Suteki