
Muslim Yaman Teraniaya, Siapa yang Bisa Menolong Mereka?
Kondisi Yaman semakin mencekam. Ilustrasi. Foto: NU Online
Oleh: Dzakiyah, Mahasiswa FK Unsri
MUSTANIR.COM – Perang antara Pemerintahan Yaman (Pemerintahan Presiden Hadi) dengan kelompok Houthi yang mulai memanas sejak peristiwa Arab Spring hingga saat ini telah menghasilkan krisis kemanusiaan yang tiada akhir. Hal ini diperparah dengan adanya campur tangan Arab Saudi dipihak pemerintahan serta Iran dipihak Houthi.
Bahkan, pada tahun 2015, Arab Saudi membentuk koalisi negara-negara Arab untuk mengalahkan Houthi di Yaman. Koalisi ini meliputi Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Maroko, Yordania, Sudan, dan Senegal. Beberapa negara di antaranya telah mengirim pasukan untuk bertempur di medan perang darat di Yaman, sementara negara lainnya hanya melakukan serangan udara (Aljazeera.com 25/3/18).
Konflik ini tengah melahirkan kesengsaraan berbagai pihak, namun pihak yang paling dirugikan ialah warga sipil. Berdasarkan data yang dihimpun oleh PBB, Save the Children mengevaluasi angka kematian untuk kasus Malnutrisi Akut Parah yang Tidak Terawat (SAM/ Severe Acute Malnutrition) pada anak di bawah lima tahun. Dengan menggunakan perkiraan konservatif, lembaga bantuan kemanusiaan menemukan bahwa sekitar 84.701 anak-anak dengan SAM mungkin telah meninggal antara April 2015 dan Oktober 2018 (savethechildren.net 21/11/18).
Tak hanya masalah pangan. Akibat dari sanitasi yang buruk dan kurangnya air bersih, menyebabkan peningkatan risiko penyebaran penyakit, seperti kolera. Bahkan, lebih dari setangah fasilitas kesehatan di Yaman telah mengalami kerusakan disertai dengan kurangnya staff dan keuangan.
Tampak jelas nya krisis kemanusiaan dan penderitaan yang semakin parah menunjukkan bentuk abai para pemimpin negara serta lembaga internasional dalam menghadapi ‘perang yang terlupakan’ ini, begitu istilah yang media-media gunakan dalam melihat pengabaian ini.
Masyarakat mulai bertanya kapabilitas lembaga internasional dalam menjalankan fungsinya. Faktanya, memang PBB berencana untuk mengadakan kembali pembicaraan damai di Swedia antara pemerintah yang didukung Saudi yang dipimpin oleh Hadi dan pemberontak Houthi yang didukung Iran di bulan Desember. Namun, mengingat Houthi tidak menghadiri pembicaraan perdamaian Jenewa pada bulan September, apakah mereka akan menghadiri pembicaraan kali ini di Swedia? (Aljazeera.com 1/12/18). Dan dengan membuka peluang diskusi pihak terkait, apakah ada jaminan untuk mengakhiri konflik dan krisis ini?
Pasalnya, berdasarkan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Negara AS, Prancis, dan Inggris memasok pesawat tempur, intelijen, dan amunisi ke angkatan udara Saudi, memungkinkan kematian 2/3 dari kematian warga sipil. Pemerintah AS bahkan telah meluncurkan serangan udara serta mengerahkan pasukan darat.
Faktanya, AS, Inggris dan Perancis adalah anggota dewan Keamanan PBB. Sebuah dewan yang secara efektif merupakan badan paling kuat di PBB, yang memiliki kekuatan untuk menghentikan beberapa konflik sejak dibentuk pada 1945 tetapi tidak dilakukan, hanya karena kepentingan strategis mereka. Yaman termasuk salah satu wilayah yang memiliki kepentingan strategis, sebab, ini merupakan mata rantai penting bagi pengapalan pengiriman minyak dunia. Hal ini menunjukkan, PBB hanyalah alat pendukung kepentingan Barat.
Sedangkan bantuan yang diberikan dari beberapa negara serta UNICEF hanya sekadar solusi temporer yang bahkan mengentaskan kelaparan pun terbilang sulit. Ditambah lagi pertempuran yang dilaporkan semakin intensif di sekitar pelabuhan Hudaydah – dimana hingga 80 persen dari pasokan kemanusiaan Yaman, bahan bakar dan barang-barang komersial dikirimkan. Jumlah korban jiwa bisa menjadi bencana jika pelabuhan rusak, hancur atau terhalang (unicef.org 30/11/18).
Masih percaya kah masyarakat terhadap sistem saat ini? Padahal sudah jelas bukti yang menampakkan ketidakmampuan negara-negara dunia serta lembaga internasional dalam memberikan solusi terhadap Negeri Yaman. Sungguh, dengan kepemimpinan Islam sejati sajalah yang dapat melenyapkan mimpi buruk Negeri Yaman. Hal ini terbukti ketika Umar bin Al Khattab (ra), Khalifah Islam yang kedua mengirim utusannya Muadzh ibn Jabal ke Yaman, kemudian ia tidak dapat menemukan siapa pun untuk menerima Zakat yang telah dikumpulkan dari tanah. Begitulah keberhasilan ketika Islam diterapkan dalam bentuk negara.
Faktanya juga sejalan dengan paparan PBB yang menyebutkan bahwa krisis ini bisa menjadi ‘kelaparan terburuk di dunia dalam 100 tahun’ (bbc.com 15/10/18). Dan hampir dalam kurun waktu 100 tahun pula kepemimpinan Khilafah yang menjaga kebutuhan rakyatnya, telah runtuh di tahun 1924 M. Hanya dengan kepemimpinan Islam sajalah konflik Yaman bisa berakhir tuntas. Bahkan, tak hanya Yaman. Begitu pula halnya dengan daerah konflik lain seperti, Suriah, Palestina, Kashmir, Uyghur dan sebagainya. []