Muslimah Bukan Perempuan Matre

merenung-akhwat

Muslimah Bukan Perempuan Matre

Perempuan Matre

Selama ini memang ada anggapan perempuan sosok materialistis. Istilah gaulnya cewek matre. Mana ada perempuan yang tak tergiur dengan harta. Cari suamipun yang kaya raya. Tak peduli duda, sudah bersuami atau tua renta, yang penting nafkah terjamin.

Apalagi, biaya hidup perempuan saat ini sangat tinggi. Fashion harus up to date dan bermerek. Tas dan sepatu wajib branded original. Perawatan tubuh mulai ujung rambut sampai ujung kaki butuh ratusan ribu rupiah rutin. Kosmetik pemutih hingga produk pelangsing jadi anggaran belanja wajib.

Kaum lelaki pun seperti sudah mahfum dengan paradigma ini. Mereka paham betul dengan ungkapan: ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Ya, kaum adam tahu benar memanfaatkan kelemahan perempuan. Umpan berupa materi hampir pasti akan selalu mulus ¨memelet¨ kaum hawa.

Bagi laki-laki, buruk rupa atau usia renta bukan kendala. Asal harta berlimpah, wanita–yang paling cantik dan seksi sekalipun—mudah digaet. Itu pula yang mendorong laki-laki bekerja keras–kalau perlu culas—demi menumpuk harta. Tak peduli jalan haram, yang penting hasrat tersalurkan. Sungguh bukan perilaku terpuji, apalagi islami.

Tanpa bermaksud merendahkan para perempuan yang terseret dalam pusaran kasus di atas, terbukti harta memang telah menggelapkan mata. Norma-norma kebaikan pun dilanggar. Terlebih syariah Islam, tak lagi dihiraukan.

Itu semua terjadi karena para perempuan kebanyakan sudah dicuci otaknya oleh pemahaman sekuler-kapitalis yang memberhalakan harta. Bagi mereka, kebahagiaan adalah diperolehnya sebanyak mungkin materi. Suami kaya, rumah bagus, mobil mewah hingga perhiasan mentereng adalah tujuannya.

Bahkan, jika suami tak mampu memberikannya, dia sendirilah yang akan maju untuk memperebutkan harta dan tahta. Bertameng ¨keadilan dan kesetaraan gender¨, saat ini semakin banyak perempuan disibukkan mencari pundi-pundi materi dengan bekerja atau menjadi pejabat. Bahkan, rela sekadar mengeksploitasi tubuhnya untuk kepuasan kaum Adam dengan imbalan menggiurkan.

Pembela Kebenaran

Dalam filosofi masyarakat Jawa, posisi istri terhadap suami diistilahkan: ¨surgo nunut, neraka katut” (surga ikut, neraka terbawa). Artinya, masa depan istri itu tergantung suami. Bila suami berperilaku baik hingga masuk surga, istri pun akan serta. Sebaliknya, bila suami masuk neraka, istri akan terbawa juga.

Memang, istri atau suami akan mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing. Namun, idealnya antara suami dan istri saling membentengi diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa sehingga sama-sama bisa menuju surga. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (TQS Tahrim 66:6)

Semestinya, para istri menjadi pengerem para suami agar berada pada rel kejujuran dalam melaksanakan tugas pernafkahannya. Jangan serta merta bangga ketika suami berhasil meningkatkan uang belanja, tapi layak untuk curiga. Apalagi jika suami ¨hanya¨ berstatus pegawai dengan gaji rutin yang bisa dihitung.

Banyak kasus, pegawai atau pejabat korupsi karena dirongrong istri yang tak pernah puas dengan jatah uang bulanan. Apalagi para istri yang selalu memandang ¨rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumahnya.¨

Demikian pula para perempuan lajang, jangan mudah terpana dengan kemewahan yang disodorkan kaum Adam. Jangan menjual harga diri dengan begitu mudah, sekadar diiming-imingi hadiah yang mencurigan, sekalipun tanpa pamrih. Hari gini, tidak ada makan siang gratis. Tak ada laki-laki yang begitu royal menggelontorkan harta bendanya jika tanpa maksud tersembunyi. Toh cepat atau lambat, akhirnya terbongkar juga kebusukannya.

Muslimah Zuhud

Tak ada larangan bagi wanita untuk menikmati dunia. Harta adalah salah satu kesenangannya. Mengoleksi baju, tas, sepatu atau rumah mewah tidak diharamkan, selama diperoleh dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Namun ingatlah, harta bukanlah segalanya. Harta tak akan menyelamatkan diri di akhirat jika tidak dimanfaatkan untuk kebajikan.

Dalam hal ini, mari kita meneladani para shahabiyah atau generasi muslimah islam terdahulu. Tak sedikit dari mereka yang berlimpah harta, namun tetap menempatkan ketakwaan di atas segalanya. Bahkan, lebih memilih zuhud dibanding bergelimang harta.

Salah satunya adalah kisah istri Said bin Amir, Gubernur Provinsi Himash di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Suatu ketika, Khalifah Umar meminta delegasi dari Provinsi Himash untuk menuliskan daftar fakir miskin yang berhak diberi bantuan dari kas negara. Umar heran karena terdapat nama Said bin Amir. “Siapa Said bin Amir ini?” tanya Umar. “Gubernur kami,” jawab mereka. “Apakah gubernur kalian fakir?” selidik Umar. Mereka membenarkan, “Demi Allah, kami jadi saksi.” Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam sebuah kantong dan meminta mereka menyerahkannya kepada sang gubernur.

Menerima sekantong uang berisi seribu dinar, Said langsung membaca: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, seolah satu musibah besar menimpanya. Istri gubernur bertanya: “Apa yang terjadi? Apakah Amirul Mukminin wafat?” “Lebih besar dari itu,” jawab Said. “Telah datang dunia kepadaku untuk merusak akhiratku.”

“Bebaskan dirimu dari malapetaka itu,” saran istrinya, tanpa mengetahui bahwa malapetaka itu adalah uang seribu dinar. Said bertanya: “Apakah kamu mau membantuku?” Istrinya mengangguk. Ia meminta istrinya untuk segera membagikan seribu dinar itu untuk fakir miskin, tanpa sisa untuk keluarganya. Sungguh perilaku istri yang layak dipuji. Wallahuálam.[](kholda)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories