Nabi Muhammad ﷺ Tidak Mengajarkan Moderasi Beragama

MUSTANIR.net – Opini moderasi terus digaungkan oleh para pengusungnya ke seluruh penjuru dan menyasar semua kalangan dengan berbagai cara. Untuk menguatkan ide moderasi, para pengusungnya terus mencari argumentasi agar pendapatnya bisa diterima.

Kali ini dengan mengatakan bahwa Nabi ﷺ mengajarkan untuk selalu bersikap moderat. Padahal, apa yang mereka sampaikan sungguh jauh dari fakta sirah Nabi ﷺ. Sungguh, syahwat moderasi telah mendorong mereka untuk menyandarkan hal yang bertentangan dengan Islam kepada Nabi kita tercinta, Muhammad ﷺ.

Diketahui, dalam acara yang diinisiasi oleh PC INU Jepang, Said Aqil Siradj menuturkan bahwa Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad ﷺ untuk berjuang dan berdakwah selama 13 tahun, tetapi hanya mendapatkan pengikut 120 orang.

“13 tahun Nabi Muhammad ﷺ mendapat tekanan dan siksaan, bahkan beberapa sahabat terbunuh sehingga Nabi terpaksa hijrah ke Yatsrib. Selama 13 tahun, Islam menjadi agama individu. Barulah saat memasuki Yatsrib, Rasulullah ﷺ diperintah oleh Allah untuk membentuk organisasi, namanya umat wasatiah atau moderat,” tuturnya.

Ia juga menambahkan bahwa di Yatsrib kala itu ada muslim pendatang dan muslim pribumi, serta Yahudi yang menjadi mayoritas karena terdiri dari tiga suku, yaitu bani Quraidhah, bani Qainuqa’, dan bani Nadhir.

“Begitu melihat penduduk yang plural, bineka, kemudian Nabi ﷺ membentuk masyarakat berdasarkan kesamaan cita-cita, visi, dan misi. Bukan kesamaan suku maupun agama. Setelah itu disepakati nama negaranya, yaitu Madinah. Nabi Muhammad ﷺ menyebarkan agama Islam dari markasnya, yaitu masjid,” tambahnya.

Ia juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak mengajarkan terorisme dan radikalisme, melainkan memberikan pelajaran yang sangat bernilai kepada para sahabatnya untuk menegakkan hukum seadil-adilnya, membangun masyarakat modern, yaitu wasatiah atau toleran. (nu.or.id, 09/11/2022)

Dari pernyataan tersebut, tampak jelas jika pengusung moderasi beragama kembali menarik dalil untuk melegitimasi ide mereka melalui apa yang mereka klaim sebagai pesan Rasulullah ﷺ untuk bersikap moderat. Padahal, pada masa Rasulullah ﷺ, sama sekali tidak dikenal sikap moderat dalam arti yang mereka tetapkan saat ini. Rasulullah ﷺ menjalankan dakwahnya semata-mata mengikuti apa yang Allah wahyukan, termasuk hijrah.

Dari pernyataan itu pula, ada beberapa hal yang harus diluruskan—bukan sekadar dikritisi—karena sesungguhnya banyak perkataannya yang tidak sesuai fakta. Terjadi pula pengaburan terhadap syariat Islam yang Rasulullah ﷺ bawa. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi umat, terlebih jika pendapat-pendapat keliru ini diadopsi oleh umat.

Setidaknya, ada tiga hal yang harus diluruskan.

Pertama, Rasulullah tidak mengajarkan moderasi.

Memang, tidaklah salah pernyataan Kiai Said bahwa Rasulullah ﷺ tidak mengajarkan radikalisme dan terorisme. Benar bahwasanya Rasulullah ﷺ tidak pernah mengajarkan para sahabat untuk berbuat kekerasan, kecuali terhadap kafir harbi dan itu pun harus sesuai dengan tuntunan Islam, yaitu jihad fi sabilillah. Bahkan, beliau ﷺ menjadikan jihad sebagai salah satu metode untuk menyebarkan Islam.

Akan tetapi, Rasulullah ﷺ tidak pula mengajarkan moderasi beragama sebagaimana tengah digaungkan oleh pengusungnya. Adanya persamaan dalam satu aspek, yaitu antikekerasan, tidak lantas bisa diklaim sama. Harus ada pendalaman terhadap aspek lainnya.

Jika kita melihat sejarah, sesungguhnya istilah ‘moderasi beragama’ tidak datang dari Islam, melainkan merupakan istilah baru. Istilah ini ada sejak Revolusi Iran 1979, sebagaimana penjelasan Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran. Ia menegaskan hal itu dalam artikelnya (2001) berjudul ‘Moderate Islamist? American Policy Interest’, sebuah artikel ilmiah dalam The Journal of National Committee on American Policy.

Menurut Fereydoon Hoveyda, istilah ‘Islamic moderation’, ‘moderate muslim’, atau ‘moderate Islam’ mulai banyak digunakan setelah 1979 oleh jurnalis dan akademisi untuk mendeskripsikan konteks hubungan antara dua hal, yakni di satu sisi adalah muslim, Islam, atau Islamist (aktivis Islam); di sisi lain adalah Barat (the West). Nah, dalam konteks inilah, muncul istilah ‘moderate Islamist’ (aktivis Islam moderat) yang dianggap pro Barat (the West), khususnya Amerika Serikat.

Sebagai lawan dari ‘moderate Islamist’ itu, muncullah label ‘hard-line Islamist’ (aktivis Islam garis keras), yakni mereka yang menginginkan Islam secara murni dan menolak ideologi Barat. (al-Wa’ie, 14/10/2021)

Terlebih lagi, sebagian besar ide moderasi beragama justru bertentangan dengan Islam. Salah satunya adalah menganggap semua agama benar dan semua agama sama. Dari sinilah lahir ide toleransi beragama. Padahal, ini bertentangan dengan QS Ali Imran ayat 19 dan 85.

Jika demikian halnya, tidak mungkin Rasulullah ﷺ mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Segala yang Rasulullah ﷺ sampaikan adalah berasal dari wahyu Allah taʿālā. Walhasil, terkait risalah, tidaklah mungkin akan bertentangan dengan Islam.

Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm: 3-4)

Dari penjelasan fakta dan dalil ini, sangat jelas bahwa Rasulullah ﷺ sama sekali tidak mengajarkan moderasi beragama. Rasulullah ﷺ mengajarkan Islam dan menjalankan dakwahnya semata-mata mengikuti wahyu Allah taʿālā, termasuk soal hijrah.

Ke dua, Rasulullah ﷺ tidak membentuk organisasi bernama ‘umat wasatiah atau moderat’, melainkan negara Islam (daulah Islamiah).

Jika kita membaca secara saksama literatur tepercaya mengenai masyarakat Madinah, kita akan menemukan bahwa kondisi masyarakatnya memang plural, terdiri dari berbagai bangsa dan suku.

Dalam kitab ad-Daulah al-Islamiyyah karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, di sana dihuni tiga kelompok besar, yaitu kaum muslim (Muhajirin dan Ansar yang merupakan mayoritas penduduk Madinah); kelompok musyrik (bani Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam dan jumlahnya sedikit); dan empat golongan kelompok Yahudi (bani Qainuqa di Madinah dan tiga lainnya—bani Nadhir, Yahudi Khaibar, dan bani Quraizhah—di luar Madinah).

Ketika tiba di Madinah, Rasulullah ﷺ membangun Negara Islam dan masyarakat Islam, bukan sekadar organisasi. Dengan kata lain, peleburan suku-suku bangsa, bahkan kabilah-kabilah yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat, menghasilkan suatu masyarakat khas yang terdiri dari kumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama. Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara mempersatukan seluruh umat manusia dengan menerapkan aturan Islam secara kafah.

Rasulullah ﷺ juga mulai membangun interaksi di antara mereka atas dasar akidah Islam dan mengajak mereka untuk menjalin persaudaraan karena Allah, yaitu persaudaraan yang berpengaruh kuat, menyentuh aspek muamalah, harta, dan seluruh urusan mereka.

Beliau ﷺ mempersaudarakan bani Aus dan Khazraj, yakni Hamzah (paman beliau) dan Zaid (budak beliau). Beliau ﷺ juga menyatukan Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu dengan Kharijah bin Zaid sebagai saudara.

Lebih dari itu, jika kita mencermati sirah Nabi (perjalanan dakwah Rasulullah ﷺ), kita dapat memahami bahwa institusi yang Rasulullah ﷺ bangun adalah sebuah negara Islam, daulah Islamiah. Hal ini tampak nyata dari berbagai kebijakan Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara, seperti mengangkat Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu dan Umar raḍiyallāhu ‘anhu sebagai dua wazir atau muawwin (pembantunya).

Rasulullah ﷺ bersabda, “Wazirayya fi as-sama’i Jibril wa Mikail, wa wazirayya fi al-ardhi Abu Bakar wa Umar. (Pembantuku di langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar)” (HR Hakim dan Tirmidzi dari Abi Sa’id al-Khudri)

Selain itu, Rasulullah ﷺ mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman. Hal ini termaktub dalam sabdanya, “Aku mengutus kepadamu, wahai penduduk Yaman, keluargaku yang terbaik.”

Rasulullah ﷺ juga memobilisasi laki-laki muslim untuk berperang di jalan Allah dan kadang-kadang beliau ﷺ mengutus sahabatnya sebagai panglima perang dalam saraya (ekspedisi) atau untuk mengintai pasukan musuh. Ini sebagaimana terjadi sebelum Perang Badar,

Rasulullah ﷺ mengirim Abdullah bin Jahsy beserta tujuh sahabat lainnya menuju Makkah. Fakta tidak terbantahkan, Rasulullah ﷺ memimpin pasukan dalam Perang Badar dan perang-perang lainnya.

Dari penelaahan terhadap berbagai aktivitas Rasulullah ﷺ di Madinah, sangat jelas bahwa beliau ﷺ menjalankan tugas dan wewenang sebagai kepala negara, bukan ketua organisasi.

Ke tiga, Rasulullah ﷺ menerapkan hukum Islam, bukan kesepakatan.

Jika kita mengikuti peristiwa pada masa Rasulullah ﷺ dengan membaca literatur yang tepercaya, kita akan mendapati bahwa apa yang diterapkan pada masa dahulu itu adalah hukum Islam, yaitu hukum yang datang dari Allah taʿālā yang diwahyukan kepada Rasulullah ﷺ melalui Malaikat Jibril. Bukan hukum yang lain, apalagi hukum kesepakatan. Bahkan, entitas Yahudi yang tinggal di Madinah pun diwajibkan untuk tunduk pada hukum ini, sekalipun mereka tidak dipaksa masuk ke dalam Islam.

Hal ini terbukti dengan adanya Piagam Madinah. Dalam pasal 23 disebutkan, “Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad ﷺ.”

Kemudian dikuatkan dengan pasal 42, “Apabila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, penyelesaiannya diserahkan menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad ﷺ.”

Ini membuktikan bahwa syariat Islamlah yang dijadikan sebagai hukum negara, bukan berdasarkan kesepakatan.

Sebagai penyampai risalah Islam, Rasulullah ﷺ pun bersifat maksum, terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karenanya, apa pun yang beliau ﷺ terapkan dalam kehidupan beragama dan berbangsa, seluruhnya dalam bimbingan wahyu dari Allah Taala. Semuanya senantiasa terjaga dari kesalahan.

Sementara itu, kesepakatan berbangsa dalam konstitusi—sebagaimana diklaim para pengusung moderasi beragama—merupakan buah pikir manusia. Jika ini benar-benar terjadi, berarti ajaran Islam hanya sebagai subordinat yang tunduk pada pikiran manusia yang sebenarnya serba terbatas, tetapi kemudian dipaksakan untuk dijadikan standar kebenaran mutlak dan tertinggi. Tentu saja hal ini mustahil terjadi dalam kehidupan Rasulullah ﷺ.

Nyatalah, sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat yang dibentuk Rasulullah ﷺ adalah berdasarkan kesepakatan (karena ada kesamaan visi misi serta cita-cita) adalah mengada-ada. Bisa jadi karena kesalahan dalam membaca fakta.

Semua perbuatan Rasulullah ﷺ ada dalam bimbingan wahyu Allah taʿālā, termasuk ketika berhijrah, mendirikan negara Islam di Madinah, kemudian menerapkan seluruh aturan Allah taʿālā yang selanjutnya menjadi aturan bagi umat Islam seluruhnya sampai kiamat nanti, tanpa kecuali.

Khatimah

Demikianlah, fakta menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah mengajarkan moderasi beragama karena konsep ini bertentangan dengan Islam. Mustahil Rasulullah ﷺ melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Islam, bukan?

Begitu pula terkait institusi yang Rasulullah ﷺ bangun, bukanlah organisasi biasa, melainkan sebuah negara, yakni daulah Islamiah. Kala itu, Nabi Muhammad ﷺ sebagai kepala negaranya, memimpin perang, mengirim utusan, ataupun mengangkat beberapa sahabat menjadi aparat negara.

Di sinilah pentingnya umat Islam memahami sirah Rasulullah dan juga seperti apa sesungguhnya sejarah Islam. Hal ini agar umat tidak mudah terkelabui oleh pihak-pihak yang berupaya menjauhkan mereka dari pemahaman Islam yang lurus. Wallahualam bissawab. []

Sumber: Najmah Saiidah

About Author

Categories