Penyimpangan Akidah dan Dekonstruksi Tauhid dalam Nalar Politik Modern

MUSTANIR.net – Di tengah dunia modern yang mengagungkan konsep negara bangsa, demokrasi, dan konstitusi buatan manusia, terjadi penyakit akut yang merasuki hampir seluruh tatanan kehidupan umat: lahirnya dosa sistemik yang bekerja secara struktural karena manusia tidak lagi berhukum kepada Allah. Sistem-sistem ini diberi legitimasi legal, politik, dan sosial sehingga pelanggaran terhadap hukum Allah tidak lagi dianggap dosa, bahkan dianggap wajar, sah, dan modern.

Hukum yang Allah wajibkan justru disingkirkan dan digantikan oleh parlemen, mahkamah konstitusi, dan lembaga politik yang posisinya dinaikkan melebihi Allah al-Hakim. Inilah bentuk kesyirikan politik yang tidak dianggap sebagai syirik oleh masyarakat kontemporer, padahal para ulama generasi awal telah menegaskan bahwa siapa pun yang memindahkan otoritas hukum dari wahyu kepada akal manusia telah merusak tauhidnya.

Lebih parah lagi, struktur kehidupan modern membuat dosa-dosa tersebut bekerja secara otomatis—tanpa harus dilakukan individu per individu. Sistem finansial riba berjalan setiap hari melalui bank, fintech, dan regulasi negara; sistem peradilan tidak merujuk kepada hukum Allah tetapi kepada undang-undang buatan manusia; hukum keluarga dan waris diganti dengan hukum sipil; dan dalam skala global, hukum internasional mengatur umat manusia tanpa merujuk sedikit pun kepada wahyu Ilahi.

Semua ini adalah bentuk pelanggaran kolektif yang dilegalkan negara, sehingga dosa menjadi hukum, dan hukum Allah menjadi pelanggaran. Dalam konteks inilah gagasan para ulama Masyumi dahulu menjadi relevan untuk direnungkan kembali, sebab mereka telah memberi peringatan sebelum Indonesia memasuki era modern yang sepenuhnya menyingkirkan hukum Allah dari struktur kehidupan publik.

Pandangan para ulama Masyumi seperti Buya Hamka dan Kiai Haji Isa Anshary dalam sidang Konstituante bukanlah suara pinggir atau reaksi emosional, melainkan puncak konsistensi teologis terhadap prinsip akidah Islam. Ketika mereka memperingatkan bahwa menjadikan dasar negara selain Islam adalah bentuk penyimpangan yang mengarah kepada kekufuran, mereka memahami sepenuhnya posisi syariat dalam tauhid.

Hukum bukan sekadar instrumen pengaturan sosial atau administrasi pemerintahan, tetapi merupakan manifestasi langsung dari tauhid uluhiyyah dan rububiyyah. Pencipta hukum adalah Allah, maka siapa pun yang menempatkan manusia sebagai pencipta hukum pada aspek kehidupan apa pun telah memindahkan sebagian hak ketuhanan kepada manusia itu sendiri. Di sinilah letak akar seluruh problem politik modern: manusia menggantikan Allah sebagai legislator, kemudian menjadikan hukum buatan mereka sebagai sumber legitimasi tertinggi yang harus ditaati, sekalipun bertentangan dengan wahyu.

Dalam salah satu pidato monumentalnya di sidang Konstituante, sebagaimana dikutip Irfan Hamka dalam buku Ayah, Buya Hamka berkata: “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” [1] Ungkapan ini merupakan artikulasi akidah. Jalan ke neraka yang dimaksud adalah jalan untuk meninggalkan hukum Allah, menempatkan ideologi manusia sebagai rujukan tertinggi, serta membuka pintu bagi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan negara.

Al-Qur’an telah mengingatkan: “Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS al-Mâ’idah: 44). Ayat ini bukan sekadar peringatan moral, tetapi merupakan penetapan teologis bahwa penolakan terhadap hukum Allah secara sadar dan prinsipil adalah bentuk kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari batas-batas iman.

Ketika Buya Hamka menyatakan bahwa mengambil dasar selain Islam adalah jalan ke neraka, ia merujuk kepada kerangka nash yang menegaskan bahwa ketidaktaatan struktural pada hukum Allah adalah bentuk pemberontakan terhadap Rububiyyah-Nya. Pada masa sahabat, konsep ini sangat jelas: siapa pun yang berhukum selain hukum Allah dianggap telah melakukan bentuk syirik politik, meskipun ia masih menjalankan ibadah ritual.

Ibn ‘Abbas, Tâwûs, dan sebagian tabi’in menafsirkan ayat tentang berhukum kepada selain Allah sebagai kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam apabila disertai keyakinan bahwa hukum selain Allah lebih baik atau sama baiknya. Inilah pemahaman yang dipegang pula oleh ulama kontemporer seperti Hamka.

Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka menulis: “Islam adalah satu ajaran yang datang dari langit… mengandung syariat dan ibadat, mu’amalat dan kenegaraan… Dia tidak boleh dipreteli… Apabila ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, kafirlah orangnya, walaupun dia masih sembahyang.” [2] Pernyataan ini secara eksplisit menolak model kompromi agama-negara yang sering diusung dalam diskursus modern.

Baginya, ajaran Islam bersifat integral; menolak satu bagian sama halnya menolak keseluruhan. Sikap ini sejalan dengan kecaman Allah terhadap bani Israil yang memilih sebagian hukum dan meninggalkan sebagian lainnya (QS al-Baqarah: 85). Dalam konteks politik modern, ketika negara memisahkan diri dari syariat dan mengadopsi hukum sekuler, ia sebenarnya sedang melakukan tindakan memotong-motong agama secara sistemik.

Kiai Haji Isa Anshary dalam sidang Konstituante bahkan lebih gamblang lagi: “Kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam… lebih universal dari Islam… orang demikian itu murtadlah dia… haram jenazahnya dikuburkan secara Islam.” [3] Banyak kalangan modern menganggap ucapan ini keras, tetapi ia selaras dengan kaidah ushul fikih yang telah disepakati ulama: man istaḥalla mā ḥarramallāh fa-huwa kāfir.

Kaidah ini berarti bahwa orang yang menghalalkan sesuatu yang sudah jelas keharamannya berdasarkan nash mutawatir adalah kafir. Penetapan hukum adalah hak Allah; menghalalkan pembuatan hukum oleh manusia, serta menjadikannya lebih baik daripada hukum Allah, adalah kekufuran akidah. Pernyataan Isa Anshary merupakan implementasi teologis.

Di dunia modern, banyak orang tidak menyadari bahwa sistem hukum yang dibangun tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga menentukan siapa yang berhak menjadi sumber legislasi. Ketika konstitusi menetapkan parlemen atau mahkamah konstitusi sebagai pemegang otoritas tertinggi, maka posisi Allah dalam tasyri’ telah dipindahkan kepada mereka.

Itulah sebabnya syirik modern sering tidak disadari: dahulu manusia menyembah berhala sebagai pencipta hukum, sekarang menyembah institusi hukum sebagai satu-satunya sumber kebenaran legal. Delegitimasi hukum Allah kemudian terjadi melalui jalur konstitusional, bukan teologis, tetapi efek teologisnya sama: menurunkan Allah dari posisi legislator tertinggi.

Dalam konteks Indonesia, sikap para ulama Masyumi lahir dari kesadaran akidah bahwa menjauhkan hukum Allah dari struktur negara berarti memutuskan hubungan antara iman dan kehidupan nyata. Mereka memahami bahwa negara bukan sekadar institusi administratif, tetapi alat untuk menerapkan hukum yang mengatur kehidupan manusia.

Jika hukum yang digunakan adalah hukum selain Allah, maka struktur negara itu sendiri menjadi alat penyelisihan terhadap syariat. Para ulama Masyumi melihat bahaya jangka panjangnya: masyarakat akan terbiasa menganggap hukum selain Allah sebagai norma, dan generasi berikutnya akan mengenal agama hanya sebagai ritual privat tanpa struktur sosial politik yang menegakkan nilai-nilainya. Akibatnya, umat akan terperangkap dalam dosa sistemik yang terus bekerja tanpa disadari.

Pandangan mereka tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa Islam sejak awal menolak pemisahan agama dan negara. Rasulullah ﷺ membangun negara berdasarkan wahyu, bukan hasil kompromi politik. Para sahabat setelah beliau juga mengambil sikap sama: hukum Allah menjadi satu-satunya rujukan. Abu Bakr ash-Shiddiq berkata dalam pidato pelantikannya: “Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku menyelisihi keduanya, maka tidak ada ketaatan atas kalian.” [4]

Prinsip ini menunjukkan bahwa legitimasi politik dalam Islam sepenuhnya bersandar pada ketaatan kepada Allah sebagai sumber hukum. Tanpa itu, negara kehilangan keabsahannya secara syar’i.

Dalam tatanan politik modern, banyak kaum Muslim yang terjebak oleh narasi bahwa hukum manusia lebih efektif atau adaptif. Namun narasi ini bertentangan dengan al-Qur’an dan ijma’ sahabat. Ketika hukum manusia dijadikan standar, maka logika politik yang berlaku adalah logika sekular: agama boleh mengatur moral personal, tetapi tidak boleh menyentuh ranah publik.

Padahal Islam adalah agama yang mengatur seluruh dimensi kehidupan, tanpa kecuali. Menyingkirkan syariat dari urusan publik berarti menyingkirkan separuh ajaran Islam. Hal inilah yang disebut Buya Hamka sebagai pemretelan agama. Tidak ada kompromi dalam hal ini: agama hanya sah jika diambil secara total. Allah berfirman: “Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS al-Baqarah: 208)

Para ulama Masyumi melihat bahwa negara yang tidak berhukum kepada Allah akan menciptakan sistem legal yang memproduksi dosa secara otomatis. Misalnya, undang-undang menghalalkan riba, padahal Allah telah menyatakan perang kepada pelakunya (QS al-Baqarah: 279). Undang-undang mengatur pernikahan, waris, muamalah, dan kriminal tanpa merujuk kepada syariat; akibatnya, dosa-dosa besar menjadi legal.

Ketika negara melegalkan sesuatu yang Allah haramkan, sistem itu bukan sekadar salah, tetapi zalim secara teologis. Penegakan hukum Allah menjadi keharusan akidah, bukan sekadar aspirasi politik. Oleh karena itu, peringatan ulama Masyumi bukan terlalu keras, tetapi terlalu sedikit didengar.

Lebih jauh lagi, negara sekuler tidak hanya netral terhadap agama, tetapi aktif menyingkirkannya dari ranah publik. Pendidikan dibangun tanpa orientasi tauhid; hukum dibuat tanpa merujuk kepada wahyu; dan sistem ekonomi, politik, serta sosial tidak memberikan ruang bagi prinsip-prinsip syariat. Dengan demikian, sekularisme bukan sekadar pemisahan agama dari negara, tetapi ideologi yang menempatkan manusia sebagai pusat otoritas absolut.

Inilah bentuk syirik modern yang paling halus dan paling berbahaya, karena ia bekerja melalui mekanisme legal dan institusional, bukan ritual pagan. Para ulama Masyumi menyadari bahaya ini jauh sebelum mayoritas Muslim memahaminya, sehingga mereka menegaskan bahwa dasar negara tidak boleh selain Islam.

Sebagian orang berargumen bahwa Islam cukup menjadi nilai moral, tidak perlu menjadi dasar hukum. Namun argumen ini bertentangan dengan nash dan ijma’. Islam tidak menempatkan dirinya sebagai “nilai” yang harus disesuaikan dengan hukum lain; Islam menempatkan dirinya sebagai hukum itu sendiri. Dalam Islam, tidak ada ruang bagi dualisme hukum. Jika hukum Allah ditinggalkan, maka manusia telah menolak tauhid hakimiyyah.

Dalam banyak negara Muslim kontemporer, deradikalisasi agama justru berarti penyingkiran syariat. Ini bukan hal baru; sejarah kolonialisme menunjukkan bahwa salah satu proyek terbesar penjajah adalah mengganti hukum Islam dengan hukum mereka. Proses ini masih berlanjut hingga kini, dan umat Muslim sering tidak menyadarinya karena dilakukan melalui mekanisme politik yang dianggap normal.

Para ulama Masyumi bukan hanya berjuang untuk identitas politik Islam, tetapi untuk memelihara akidah umat agar tidak terjerumus ke dalam kekufuran struktural. Ketika hukum manusia dijadikan rujukan tertinggi, ia menciptakan ketundukan pada otoritas selain Allah. Ketundukan ini, dalam istilah para ulama, adalah ‘ubudiyyah siyasiyyah—penghambaan politik.

Orang mungkin mengira ia bebas, tetapi sebenarnya ia patuh dan tunduk kepada lembaga yang memproduksi hukum. Inilah sebabnya mengapa para ulama menyatakan bahwa menjadikan hukum selain Allah sebagai sumber legislasi adalah bentuk syirik uluhiyyah. Bukan karena seseorang menyembah lembaga itu secara fisik, tetapi karena ia menundukkan dirinya pada otoritas hukum selain Allah. Dalam Islam, makna ibadah tidak terbatas pada sujud, tetapi mencakup ketaatan total kepada otoritas tertinggi.

Jika umat Islam tidak mengembalikan hukum Allah ke posisi tertinggi, mereka akan terus hidup dalam dosa sistemik yang bekerja melalui negara dan masyarakat. Dosa menjadi terstruktur, terprogram, dan terlegitimasi secara konstitusional. Inilah alasan utama mengapa ulama Masyumi memperingatkan bahwa mengambil dasar selain syariat adalah jalan menuju neraka: karena ia menggantikan Allah sebagai sumber hukum. Dalam akidah Islam, itu adalah bentuk kekufuran yang tidak dapat ditawar.

Dengan demikian, pandangan para ulama Masyumi harus dipahami bukan sebagai retorika politis atau nostalgia tahun 1950-an, tetapi sebagai warisan akidah yang mengingatkan umat bahwa menolak syariat berarti menolak bagian inti dari tauhid. Mereka melihat bahwa pilihan yang diambil suatu bangsa akan menentukan apakah ia hidup dalam ketaatan atau hidup dalam sistem yang memproduksi dosa setiap hari.

Karena itu, tulisan ini bukan sekadar refleksi historis, tetapi seruan teologis bahwa umat Islam harus kembali kepada hukum Allah sebagai satu-satunya dasar negara dan sistem kehidupan. Jika tidak, tatanan modern akan terus membawa umat menuju kekufuran struktural yang tersembunyi di balik legitimasi politik. []

Sumber: Arman Tri Mursi

Catatan Kaki:
[1] Irfan Hamka, Ayah, Republika Penerbit, 2013, hlm. 259.
[2] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 3, Pustaka Panjimas.
[3] Risalah Sidang Konstituante Republik Indonesia 1957, Pidato KH Isa Anshary (Fraksi Masyumi).
[4] Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Khilafah Abu Bakr.

About Author

Categories