
Sejarah Nation-State dan Kritik atas Nation-State
MUSTANIR.net – Nation-state (negara-bangsa) adalah negara yang didasarkan pada konsep nasionalisme. Dalam nation-state, rakyat mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah “bangsa” (nation), yaitu suatu komunitas manusia yang menganggap dirinya satu kesatuan karena kesamaan etnis, sejarah, bahasa, budaya, atau faktor pemersatu lainnya.
Identitas sebagai “bangsa” inilah yang menjadi dasar adanya hak untuk mendirikan sebuah negara. Ketika negara ini terwujud dalam realitas, ia disebut negara-bangsa atau nation state. Inilah konsep dasar dari nation-state.
Implikasi dari konsep nation-state ini, satu negara yang terdiri dari banyak bangsa (multi bangsa) akan dianggap salah. Demikian pula satu bangsa yang bercerai-berai ke dalam banyak negara akan dianggap salah (Adams, 2004: 119 & 126).
Nation-state awalnya tumbuh di Eropa pasca Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia) tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal (monarki) di Eropa saat itu. Dalam sistem feodal yang bersifat tradisional dan disakralkan oleh Gereja Katolik ini, satu komunitas tidak didasarkan pada identitas sebagai “bangsa”, tetapi sebagai sebuah dinasti yang dipimpin oleh para pangeran (prince) yang menguasai satu wilayah tertentu yang telah mereka warisi.
Misalnya, 300 tahun sebelum Revolusi Prancis (1789), wilayah yang disebut Belgia sekarang ini, secara terus menerus diperintah oleh Duke of Burgundy, Raja Spanyol dan Kaisar Austria (Adams, 2004: 120).
Setelah Revolusi Prancis (1789), juga dua revolusi lainnya di Barat, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Glorious Revolution di Inggris (1688), konsep nation-state turut menjadi penentu struktur geo-politik Eropa. Bersama-sama dengan ide-ide utama yang dihasilkan pada Abad Pencerahan (abad ke-17 s/d ke-19), seperti demokrasi, liberalisme, dan sekularisme, konsep nation-state akhirnya diekspor melampaui tempat kelahirannya di Eropa, terutama melalui jalan penjajahan.
Nation-state dapat dikritik dengan dua cara.
Pertama: dengan menjelaskan kelemahan konsep nation-state itu sendiri, baik secara teori ataupun praktik.
Ke dua: dengan menjelaskan pertentangannya dengan Islam.
Kelemahan konsep nation-state dapat dilihat dari berbagai segi.
Pertama: nasionalisme—sebagai dasar nation-state—adalah ide yang paling lemah secara intelektual.
Demikian kritik Ian Adams dalam bukunya, Political Ideology Today (1993). Artinya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir secara jernih dan rasional.
Karena alasan itulah, nasionalisme memerlukan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional, peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga, dll), rekayasa sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dan sebagainya (Adams, 2004: 143).
Ke dua: pengertian nation (bangsa)—sebagai dasar konsep nation-state—tidak jelas.
Konsep bangsa sebenarnya lebih sebagai mitos atau imajinasi, bukan sebagai realitas faktual. Ini dapat dibuktikan kalau kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu komunitas menjadi suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab, kesamaan etnis.
Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau Mesir, kesamaan etnis mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang terdiri dari multi enis dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas jawaban kesamaan etnis tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu etnis, yaitu Melayu, tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa. Orang suku Papua, di satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang Indonesia lainnya yang berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin di Australia yang masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda.
Mungkin akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa, tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah belah menjadi banyak negara. Kemusykilan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan) (Adams, 2004: 144).
Ke tiga: nasionalisme adalah ide kosong yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana sebuah masyarakat diatur.
Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu dan tempat, nasionalisme ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti liberalisme, konservatisme, berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang menjadi penyebab semua perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme memang tidak mengatakan apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata Ian Adams, “Ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).
Kritik di atas adalah kritik secara teori untuk nation-state.
Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.
Ada pun pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali tampak dalam ikatan pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara.
Dalam nation-state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah ﷺ dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi sesama muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan bahwa orang-orang muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586). []
Sumber: KH M Shiddiq al-Jawi