Negara Netral Agama
Negara Netral Agama
Ustadz Titok Priastomo
“Negara itu netral agama“. Di zaman ini, mantra itu hampir menjadi common sense. Saking umumnya, tak sedikit orang ikut-ikutan mempercayainya, tanpa sadar entah sejak kapan mereka percaya itu, tanpa tahu mengapa mereka membenarkan mantra itu, seolah ia benar sejak dari sononya.
Pendukung pikiran “negara itu netral agama” banyak juga yang mengaku cinta Islam, mereka sering baca Al Qur’an bareng-bareng, suka shalawatan rame-rame, bahkan sering terlihat serentak mengucap “amin..amin..”, saat bilal shalat tarawih mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali radhiyallhu ‘anhum.
Penganut paham ini, baik muslim maupun non-muslim, biasa berkata, “negara jangan masuk dalam urusan keyakinan.” Terasa aneh, bagi mereka, jika negara sampai menjadi alat agama untuk menerapkan ajarannya, mewajibkan apa yang diwajibkan agama, melarang segala yang diharamkan oleh agama dalam ranah kehidupan publik. Seharusnya, masih menurut mereka, negara dan agama punya ruang masing-masing, terpisah oleh sekat yang jelas. Agama itu milik pribadi, urusan privat, sedangkan negara milik semua orang, bukan milik agama tertentu saja. Maka tak layak kepentingan sebuah agama mendominasi arah kehidupan bernegara.
“… I esteem it above all things necessary to distinguish exactly the business of civil government from that of religion and to settle the just bounds that lie between the one and the other…”
Itu kata John Locke dalam Second Treatise-nya yang mewakili pikiran mereka, tak perlu saya terjemahkan karena saya yakin semua bisa memahaminya (takut salah menerjemahkan adalah alasan sebenarnya).
Sekarang coba kita aktifkan mode perenungan, membiarkan pikiran kita kritis terhadap beberapa “kebenaran” yang terlanjur mengendap dalam jiwa kita, lalu mempertanyakan, ‘benarkah suatu negara tak boleh condong pada agama tertentu?’ Pertanyaan macam itu sebenarnya mempersyaratkan perenungan yang dalam tentang “apakah kebenaran itu?” dan “apakah acuannya?”. Tapi diskusi tentang itu akan terlalu panjang untuk kita selipkan di sini. Saya asumsikan saja semua pembaca ini muslim, punya keimanan bahwa kebenaran yang bersifat normatif terletak pada apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa beliau ma’shum, bebas dari sembarang kesalahan dalam menyampaikan dan memperagakan pesan Tuhannya. Maka pertanyaannya: bagaimana posisi Nabi saw terkait diskursus hubungan antara agama dan negara ini?
Apakah Rasulullah saw juga menganut paham “negara itu netral agama”? Oke, orang bisa mengasumsikan demikian. Namun jika itu benar, lantas kira-kira negara siapa yang akan menaklukkan penduduk kota Makkah, menyudahi peperangan mereka terhadap Islam, menghukum beberapa musuh Allah yang ada di antara mereka, menghancurkan berbagai berhala di sekitar Ka’bah dan mengislamkan sebagian besar penduduk di sekitarnya? Negara mana yang akan mengirim surat dan delegasi-delegasi dakwah ke berbagai suku Arab dan bahkan negeri-negeri sekitar? Negara mana yang akan menyatukan seluruh Bangsa Arab kemudian mengkondisikan mereka untuk berbondong-bondong memeluk Islam? Bukankah semua itu dilakukan oleh negara yang dipimpin oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah itu namanya bukan memasukkan kepentingan Islam ke dalam wilayah negara? Apa beliau salah?
Bagaimana dengan para sahabat ra, apa negara mereka juga netral agama? Jika Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali –ridhwanullah ‘alaihim- menganut paham itu, lantas negara siapa yang akan menindak gerakan murtad dan nabi-nabi palsu di Jazirah Arab yang sempat mengancam keberlanjutan Islam itu? Negara mana yang akan menegakkan hukum atas suku-suku yang menolak menyerahkan zakat? Negara mana yg akan menyelenggarakan proyek penyelamatan manuskrip ayat-ayat Al Qur’an yang terserak itu, mengumpulkannya, menyalinnya lalu menyebarluaskan mushaf, bacaan dan pembacanya ke berbagai negeri? Negara mana yg akan mendatangi Syam, Mesir, Irak, Persia dan Asia Tengah sehingga penduduk negeri-negeri itu tunduk, sebagian rela membayar jizyah, sementara sebagian besar lainnya tertunjuki kepada kebenaran dan berbondong-bondong memasuki agama Allah setelah menyaksikan keangungan Islam dari dekat? Bukankah yang melakukan semua itu adalah negara yang dipimpin oleh para khalifah yang mendapat petunjuk? Apa mereka salah?
Bagaimana dengan negeri kita? Coba kita pikirkan: kira-kira jika Demak itu termasuk “negara netral agama” dan tidak membawa misi Islamisasi Jawayang saat itu bernuansa Hindu-Budha, apa mungkin mayoritas orang Jawa bisa menikmati warisan keIslaman dari kakek-kakek mereka seperti saat ini? Bukankah keislaman nenek moyang kita erat kaitannya dengan politik dakwah yang dijalankan oleh para sultan dan penguasa muslim? Apa mereka keliru?
Jelas, Rasulullah saw dan para khulafa memimpin negara yang tidak netral agama. Leluhur kita pun juga meneladani jalan mereka. Apa mereka salah? Apa kita masing bingung menentukan siapa yang benar pikiran dan prilakunya, John Locke ataukah Rasulullah‘alaihish shalatu was salam?