Negara Pemalak Keras Terhadap Rakyat, Lembut Kepada Asing
Negara Pemalak Keras Terhadap Rakyat, Lembut Kepada Asing
Oleh: Farid Wadjdi
Pemerintah rezim Jokowi tampaknya akan semakin membabi buta memalak rakyatnya. Berbagai kemungkinan dilakukan untuk mengejar target pajak yang semakin tinggi. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengemukakan target penerimaan pajak pemerintah pada 2015 sesuai dengan target Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebesar Rp 1.300 trilyun. Angka ini mengalami kenaikan Rp 400 trilyun atau 44 persen dibandingkan penerimaan pajak pada tahun sebelumnya.
Banyak pihak meragukan target ini bisa dicapai, mengingat target pajak tahun lalu yang di bawah Rp 1.200 trilyun saja sulit dipenuhi. Dengan target pajak Rp 1.200 trilyun saja, artinya dalam sebulan harus dikumpulkan Rp 100 trilyun. Kalau dibagi 20 hari berarti Rp 5 trilyun dalam sehari. Sangat berat, kecuali pemerintah nekad menghalalkan secara cara.
Tampaknya, semangat menghalalkan segala cara mulai tampak. Pedagang batu akik yang lagi trendi, rencananya akan dikenakan pajak. Meskipun kemudian diklarifikasi, tidak semua penjual batu akik yang dikenai pajak, hanya yang sudah teregistrasi, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Pemerintah juga berencana mengenakan pajak sebesar 10 persen terhadap penggunaan listrik di atas 2.200 VA. Kebijakan ini dikritik karena akan membuat masyarakat kecil semakin menjerit. Apalagi saat ini sangat sulit untuk mendapatkan listrik di bawah 2200 VA. Menurut Husna Zahir dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), kebijkan ini akan memberatkan karena listrik berkaitan erat dengan kebutuhan primer masyarakat.
Bagaimanapun pembebanan pajak akan membebani masyarakat. Pajak, langsung atau tidak, akan menambah beban biaya produksi perusahaan, yang biasanya akan dibebankan ke masyarakat (konsumen). Ujung-ujungnya akan menambah beban ekonomi masyarakat. Apalagi kalau pajak dikenakan kepada perusahaan kecil, tentu memberatkan dan bisa memperlambat pengembangan perusahaan.
Peningkatan beban pajak ini menunjukkan rezim Jokowi-JK melanjutkan kebijakan neo-liberalisme yang memang mengandalkan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Lebih kurang 75 persen APBN Indonesia berasal dari pajak. Akibatnya hampir semua aspek dalam sistem kapitalisme tidak luput dari pajak.
Di sisi lain, sumber-sumber pendapatan yang besar dari pemilikan umum seperti tambang emas, gas, batubara, dan minyak justru diserahkan ke asing atas nama privatisasi dan liberalisasi. Jadilah negara memosisikan diri sebagai pemalak rakyatnya sendiri. Di sisi lain negara menjadi pengasuh setia perusahaan-perusahaan besar lokal maupun asing yang mengeruk keuntungan besar dari kekayaan alam negeri ini.
Tidak hanya itu, pajak dijadikan alasan melegalkan perampokan kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan asing. Negara pun kehilangan kekayaan negara, seperti migas, tambang, hutan dan sebagainya, dengan alasan pajaknya sudah disetor ke kas negara oleh perusahaan-perusahaan swasta baik lokal ataupun internasional. Padahal penghasilan dari kekayaan alam kalau dikelola langsung oleh negara dengan sebaik-baiknya jauh lebih besar dari pada pajak yang diberikan perusahaan-perusahaan swasta baik lokal maupun asing itu.
Ironisnya, untuk menarik pajak dari rakyat, pemerintah neoliberal ini demikian keras dan nyaris tanpa kasih sayang. Apapun yang bisa dikenakan pajak, akan dikenakan pajak, tidak peduli akan menyusahkan rakyat. Sementara berhadapan dengan perusahaan-perusahaan asing pemerintah demikian lembek, toleran, dan baik hati.
Lihatlah sikap pemerintah yang demikian tunduk kepada PT Freeport Indonesia. Di satu sisi, pemerintah terus membebani rakyatnya dengan pembatasan subsidi dan kenaikan TDL, biaya pendidikan dan kesehatan, dividen selama tiga tahun terakhir senilai Rp 4,5 trilyun telat dibayar. Tidak hanya itu dividen 2013 senilai 1,5 trilyun, direlakan, tidak bisa ditagih. Alasannya, laporannya sudah ditutup.
Tidak hanya itu, setelah diberikan kelonggaran 6 bulan untuk membangun smelter, PT Freeport, masih belum menjalankan kewajibannya. Namun, pemerintah tetap saja berbaik hati, memberikan perpanjangan waktu 6 bulan lagi lewat MoU baru antara pemerintah dan PT Freeport pada Ahad (25/1/2015). Perusahaan asal Amerika ini pun langsung bisa mengekspor lagi. Padahal berdasarkan UU Minerba tahun 2009, yang berlaku 12 Januari 2014, perusahaan tambang yang belum membangun smelter dilarang mengekspor barang tambang mentah, termasuk emas.
Dalam Islam sendiri dikenal ada pajak yang diistilahkan dengan dharibah. Namun praktiknya berbeda sama sekali dengan praktik pemungutan pajak dalam sistem kapitalisme. Selain tidak menjadi tumpuan pendapatan negara, pajak juga dipungut dalam kondisi darurat. Saat negara menghadapi kejadian luar biasa; atau saat adanya pembiayaan yang wajib ditunaikan, sementara kas negara kosong atau kurang. Karenanya, sifat pajak dalam Islam hanya bersifat komplemen, bukan sumber pendapatan utama.
Selain itu, pajak juga hanya diambil dari orang Islam yang mampu, dengan syarat diambil tidak lebih dari yang dibutuhkan, dan waktunya dibatasi dalam waktu tertentu (tidak terus menerus). Dalam membiayai negara, negara khilafah akan mengandalkan berbagai sumber. Salah satu yang paling bisa diandalkan adalah pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan alam, tambang dan migas yang dikelola negara secara langsung karena merupakan pemilikan umum (milkiyah ‘amah).
Inilah yang membedakan negara khilafah dengan negara sekuler atau negara kapitalis. Negara khilafah merupakan dawlah ri’âyah yang mengurus seluruh kebutuhan rakyatnya. Sementara negara kapitalisme merupakan dawlah jibâyah (negara pemalak) yang selalu membebani rakyat dengan pajak dan pungutan-pungutan lainnya seperti BPJS. Seluruh beban penyelenggaraan negara harus ditanggung oleh rakyat, melalui skema pajak. Kalau tidak cukup, dengan utang, dan itu pun pembayarannya harus ditanggung oleh rakyat juga. Menyedihkan!