Dekrit 5 Juli 1959: Politik Tentara & Titik Balik Otoritarianisme Sukarno

MUSTANIR.net – Lewat dekrit, Indonesia di bawah Sukarno dianggap semakin otoriter. Banyak sejarawan menganggap ini adalah salah satu noda hitam yang ditorehkan Sukarno.

Sukarno, seperti revolusi yang dirintisnya, memang pribadi yang penuh paradoks. Jasa-jasanya kepada republik tidak akan pernah terganti. Tapi, di sisi yang lain, tak bisa ditampik juga bahwa beberapa kebijakan yang pernah diambilnya menyisakan noda hitam sejarah.

Salah satunya adalah ketika Sukarno secara sadar—walaupun merupakan usulan dengan sedikit tekanan dari Angkatan Darat—mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit mengubah sama sekali sistem pemerintahan dari yang sebelumnya demokrasi parlementer ke sistem terpimpin yang cenderung otoriter.

Banyak peneliti dan sejarawan menyebutkan peristiwa ini adalah periode ‘hitam’ masa kepemimpinan Sukarno sekaligus menjadi titik mula kejatuhannya di kemudian hari. Akan tetapi, secara ironis Sukarno sendiri justru menyebutnya sebagai “tahun penemuan kembali revolusi kita.” Hal ini dia katakan dalam pidato di hadapan ribuan orang pada upacara peringatan ulang tahun ke-14 Indonesia, tepat satu bulan lebih dua belas hari setelah Dekrit terbit.

Ia melanjutkan, “Saya merasa seperti Dante dalam Divina Commedia. Saya merasa bahwa revolusi kita telah menderita semua jenis penderitaan Inferno! Dan kini, dengan kembalinya kita ke Konstitusi 1945, kita menjalani pemurnian untuk masuk surga!” (Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia, hlm. 10).

Era 1950-an adalah dekade kisruh Indonesia. Zaman ini memang penuh pergolakan. Tidak hanya pergolakan fisik seperti DI/TII, PRRI-Permesta, dan kekacauan lain, tapi juga pergolakan di parlemen. Saat itu, kabinet dan perdana menterinya kerap bergonta-ganti.

Ini adalah masa penuh kerja bagi Angkatan Darat, yang kala itu dipimpin Abdul Haris Nasution. Angkatan Darat bahkan mengalami banyak problem internal di periode ini, salah satunya adalah Peristiwa 17 Oktober 1952.

Di masa setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang Undang Dasar RIS pun tidak terpakai lagi. Konstitusi yang dipakai adalah Undang-undang Dasar Sementara (UUDS), hingga terbentuk Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 yang sejak 10 November 1956 ditugasi membuat undang-undang dasar. Sampai meletusnya PRRI-Permesta pada 1958, Badan Konstituante masih belum juga menyelesaikan tugasnya.

Pada 22 April 1959, dalam sidang Konstituante, Sukarno menganjurkan agar bangsa dan negara Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Lebih dari sebulan kemudian, pada 30 Mei 1959, pemungutan suara dilakukan. Sebanyak 269 suara setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Karena tidak memenuhi kuorum, maka pemungutan suara ulang pun dilakukan. Namun pemungutan suara ulang itu tetap gagal.

Sejak 3 Juni 1959, reses di Konstituante pun diberlakukan. Di saat reses ini, Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, yang kala itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), segera mengambil tindakan.

Atas nama Pemerintah dan Penguasa Perang Pusat (Paperpu), ia mengeluarkan Peraturan No. Prt/Peperpu/040/1959, yang isinya melarang kegiatan politik. Partai Nasional Indonesia (PNI), yang dipimpin mantan Walikota Jakarta, Suwirjo, berada di belakang Sukarno. Menurut terbitan PNI yang berjudul PNI dan Perdjuangannja (1960: 81), partai ini kemudian menyimpulkan bahwa Dekrit Presiden adalah cara terbaik untuk memecah kebuntuan konstitusi.

Kembali ke UUD 1945

Kemudian, seperti dicatat Harun al-Rasjid dalam Sekitar Proklamasi, Konstitusi dan Dekrit Presiden (1968: 34), pada 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI Suwirjo mengirim kawat (pesan) kepada Sukarno, yang saat itu sedang berada di Jepang.

Sukarno tiba di tanah air pada akhir Juni. Menurut catatan Ruben Nalenan dalam Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng (1982: 153), “Ia [Sukarno] bekerja keras untuk mengeluarkan dekrit.”

Sukarno tak hanya didukung PNI—partai yang telah dibangunnya sejak muda tapi pernah mati itu—tapi juga didukung Angkatan Darat dan kepala stafnya yang loyal kepadanya. “Dengan mendapat dukungan penuh Angkatan Darat, maka diberlakukanlah kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959,” tulis Anhar Gonggong dalam Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah, dan Federalisme (2001: 37).

Menurut Anhar Gonggong pula, Konstituante tak bisa dikatakan gagal membuat undang-undang dasar baru, melainkan belum selesai dengan tugasnya itu.

Dalam dekrit yang dikeluarkan pada 5 Juli 1959 itu, Sukarno menyebut, “Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, menetapkan pembubaran Konstituante.”

Hal terpenting lain dalam dekrit tersebut tentu saja: “Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi, bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.”

Selain pembubaran Konstituante, diumumkan pula pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah utusan golongan dan daerah. Juga dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Adnan Buyung Nasution, yang ketika dekrit dikeluarkan sedang kuliah di Australia, menyatakan bahwa perubahan politik tersebut baru kemudian diketahuinya.

“Dengan Dekrit Presiden Sukarno bertanggal 5 Juli 1959 yang banyak dikecam itu, sistem pemerintahan diubah kembali ke keadaan yang terjadi pada tiga bulan pertama kemerdekaan, sebelum dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X,” tulis Adnan Buyung dalam Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan (2010: 71). Intinya, di mata Adnan Buyung, “Indonesia kembali ke sistem otoriter.”

Hatta Berdiri di Seberang Jalan

Orang yang menjadi pengkritik paling keras kebijakan tersebut tidak lain adalah Mohammad Hatta. Hatta memang memposisikan diri sebagai pengkritik keras Sukarno melalui tulisan-tulisannya setelah memutuskan mundur secara resmi dari kursi wakil presiden pada 1 Desember 1956.

Kritik terhadap Sukarno dan Dekrit salah satunya lewat esai monumental yang berjudul Demokrasi Kita, dimuat di majalah Pandji Masjarakat pada 1960.

“Sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang bertujuan menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya, dan kemakmuran yang sebesar-besarnya. Sementara realita saat ini pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,” tulis Hatta.

Hatta bahkan menyebut bahwa tindakan Sukarno “bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat.” Meski begitu, lanjutnya, “Dia dibenarkan oleh partai-partai dan suara terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat.”

“Tidak lama sesudah itu, Presiden Soekarno mengambil langkah lagi. Setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja, dengan suatu penetapan, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri,” tukasnya.

Pada waktu yang hampir bersamaan ketika Sukarno hendak membubarkan partai-partai oposisi seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Hatta mendesak mereka “untuk tetap memperbaiki diri mereka sendiri.” Jangan sampai kepercayaan publik pada mereka dihancurkan.

Hatta mengusulkan agar hanya ada enam partai di Indonesia. Satu mewakili “arah demokrasi nasional” masing-masing untuk Islam, Katolik Roma, dan Protestan, satu untuk sosialis, dan satu lagi untuk komunis. Hatta juga mengulangi konsep awalnya tentang peran partai politik, yaitu bahwa partai “harus melatih dan mendidik massa dan mengolah rasa tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan masyarakat” (Indonesia Raya (Djakarta) dan Jawa Bode, 31 oktober 1956, sebagaimana dikutip oleh Justus M van der Kroef dalam Far Easter Survey, Vol. 26, No.8 (Aug., 1957), pp. 114).

Dua proklamator tersebut memang akhirnya berpisah sedemikian jauh. Ketika bekerja sama sebagai dwi tunggal, mereka saling melengkapi. Mereka berhasil menghadapi masa-masa sulit di awal kemerdekaan. Keduanya sukses menangkis tantangan serius dari dalam negeri mulai dari keresahan rakyat hingga pemberontakan yang muncul di berbagai daerah seperti DI/TII, PRRI, dan Permesta. Juga ancaman dari luar, yakni agresi militer yang dilancarkan Sekutu.

Dalam Serial Bapak Bangsa yang disusun oleh Tempo pada 2010, mereka digambarkan sebagai dua sisi mata uang yang saling memerlukan dan melengkapi. “Keduanya memang bisa berbuat banyak jika bekerja sama. Hatta memerlukan kehangatan dan kemampuan Sukarno untuk berkomunikasi dengan massa orang Jawa. Sukarno mengambil keuntungan dari disiplin, integritas, dan keterampilan Hatta di bidang ekonomi.”

Menuju Otoritarianisme

Jika yang diinginkan oleh Sukarno adalah suasana harmoni tanpa konflik internal, maka Demokrasi Terpimpin jelas telah memenuhi obsesi tersebut. Tapi jelas pula kalau hal tersebut bukanlah demokrasi. Sukarno menyusun kabinet sendiri, menunjuk perdana menteri, dan mengangkat semua anggota parlemen (Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia, hlm. 12-14).

Dengan kekuasaan yang semakin tak terbatas, Sukarno menjadi semakin leluasa mengayuh roda “revolusi belum usai” yang telah lama didengung-dengungkan. Pidatonya masih tetap menggelegar dan panggungnya kian gemerlap. Segala macam tanda pangkat kemiliteran kini lengkap ia kenakan.

Tapi di sisi yang lain, kampanye untuk merebut Irian Barat, konfrontasi dengan Malaysia, dan ‘pemberontakan’ di Perserikatan Bangsa-Bangsa makin menjauhkannya dari masalah serius yang sedang dihadapi di dalam negeri: kemiskinan, kelaparan, dan inflasi yang melejit. Ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah juga semakin tak terjembatani. Pada saat yang sama ia semakin terobsesi untuk membangun patung-patung monumental dan gedung-gedung raksasa di seluruh penjuru kota Jakarta.

Selain itu, Sukarno juga semakin agresif menggasak lawan-lawan politik yang tak sejalan dengannya. Dia juga memberangus pers; wartawan yang menurutnya merupakan simpatisan PSI dan Masyumi turut dipenjara. Tak ayal lagi sikap ini menyemai bibit-bibit perlawanan yang maha hebat dari kalangan mahasiswa yang sering disebut dengan Angkatan 66.

Segala persoalan ini mencapai kulminasi pada Januari 1962. Ketika sedang berkunjung ke Sulawesi Selatan, Sukarno mengalami percobaan pembunuhan.

Sukarno naik pitam karena hal tersebut, lalu mendesak agar musuh-musuh politiknya dihukum. Pada bulan yang sama, Januari, Sjafrudin, Natsir, Simbolon, Burhanuddin, serta banyak pemimpin senior Masyumi dan PSI dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses peradilan. Musuh lamanya, Sjahrir, yang sedang sakit dan tidak lagi banyak terlibat dalam kegiatan politik, turut digasak.

“Dengan ditahannya para pemimpin Islamis dan nasionalis yang sejak awal revolusi dan masa sebelumnya, maka politik Indonesia (pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959) tampak jelas semakin pahit,” kata Ricklefs dalam buku babonnya Sejarah Modern Indonesia, 1800-2008, (hlm. 559).

Sukarno Kian Otoriter

Mengembalikan Indonesia kepada UUD 1945 merupakan keputusan politik yang aneh dan membingungkan. Dalam hal ini, Indonesia memberlakukan kembali konstitusi yang sudah tidak terpakai. Tapi keputusan itu dianggap sesuatu yang jempolan bagi banyak orang Indonesia masa kini. Mereka tak hiraukan sisi lain dari dekrit: membuat Sukarno makin berkuasa.

Bagi orang Indonesia yang terpapar indoktrinasi dan propaganda Orde Baru, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah terobosan politik yang terpuji. Kenyataannya, setelah Dekrit Presiden, semua kekuasaan pemerintahan berada di tangan presiden. Inilah era yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Sebuah periode politik yang lahir berkat dukungan Angkatan Darat, meski beberapa pimpinan Angkatan Darat di akhir-akhir pemerintahan Sukarno juga tidak menyukainya.

Di masa Demokrasi Terpimpin, tidak terdengar lagi jabatan perdana menteri. Meski menjelang kejatuhan Sukarno, ia punya tiga Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada Subandrio, Chaerul Saleh, dan Johannes Leimena.

Di tahun-tahun berikutnya, Sukarno justru dijadikan presiden seumur hidup. Pelaku dari penetapan itu tak lain adalah MPRS. Dan Sukarno yang makin uzur menerima begitu saja, bahkan bangga sekali, dengan kebijakan yang tidak demokratis itu.

“Pada tanggal 18 Mei 1963, melalui sidang MPRS, ditetapkan Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, suatu keputusan yang bertentangan UUD 1945. Ketetapan ini ditandatangani oleh ketua dan wakil-wakil MPRS, yaitu Chaerul Saleh (Murba), Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI) dan Walujo Puspoyudo (Tentara),” tulis Ahmad Syafi’i Maarif dalam Islam dan Politik (1996: 107).

Sangat mustahil jika Waluyo, yang berasal dari Angkatan Darat, bertindak sendiri tanpa pembicaraan dengan pimpinannya, Letnan Jenderal Ahmad Yani. Kala itu, Nasution sudah jadi Menteri Pertahanan. Setelah G30S gagal, pada 1967, Nasution, yang tidak lagi punya pasukan, ditunjuk untuk memimpin MPRS gaya baru yang berisi unsur-unsur anti-komunis dan anti-Sukarno.

Jika dulu MPRS mendukung Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, MPRS gaya baru bernafsu menjatuhkannya sebagai presiden. Nasution, yang dulu ikut melapangkan jalan Demokrasi Terpimpin, akhirnya ikut menjatuhkan Demokrasi Terpimpin yang katanya otoriter itu.

Setelah itu, Nasution dan MPRS gaya baru juga ikut melahirkan Orde Baru dengan jargon Demokrasi Pancasila—yang bagi sebagian orang tak jauh nuansanya dengan Demokrasi Terpimpin. []

Sumber: Mustaqim Aji Negoro & Petrik Matanasi

About Author

70 thoughts on “Dekrit 5 Juli 1959: Politik Tentara & Titik Balik Otoritarianisme Sukarno

  1. Hello, i reaad your blopg fro tiome to tjme aand i owwn a similar onee and i waas juzt wondering iif yoou
    get a lot oof pam remarks? If soo how do you prevvent it, any pluginn or anytthing
    yyou can recommend? I get sso much lately it’s driving me
    maad so anyy help iss very mch appreciated.

  2. I’ve been broweing omline more than 4 hours today,
    yyet I nevver found any interesting article likme yours.

    It iss preetty wotth enough foor me. In my opinion, if aall webmasters annd bliggers made god content ass you did, the internet will be a loot more
    useeful than eever before.

  3. I was recommended this website through my cousin. I am now not positive whether this post is written by
    means of him as no one else realize such specified
    about my trouble. You’re incredible! Thanks!

  4. Undeniably believe that that you said. Your favorite reason appeared to be on the web the easiest factor to bear in mind of.
    I say to you, I definitely get irked while other people consider issues that they plainly do not recognize about.
    You controlled to hit the nail upon the highest and also outlined
    out the entire thing with no need side effect
    , folks could take a signal. Will probably be again to get more.
    Thanks

  5. Heya i’m for the first time here. I found this
    board and I find It really useful & it helped me out much.
    I hope to give something back and help others
    like you aided me.

  6. What’s Taking place i’m new to this, I stumbled upon this I’ve found It
    positively helpful and it has helped me out loads.
    I am hoping to contribute & help different customers like its
    helped me. Great job.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories