(Shutterstock)

Pandemi Corona dan Model Negara yang Tidak Manusiawi

MUSTANIR.netLockdown, sebagaimana yang dilakukan di beberapa negara, sepertinya ‘tidak mungkin’ dilakukan penguasa. Apalagi sudah ada penegasan dari pemerintah melalui Presiden dan BNPB, “pemerintah tidak akan mengambil langkah lockdown”. [detiknews,22 Maret 2020] Pemerintah ngotot memilih social distancing, walau desakan lockdown begitu sangat masif. Seperti raungan sirine tanda bahaya yang tidak bermanfaat bagi si pekak telinga.

Sosial Distancing, Lockdown, dan Natural Selection 

Lepas dari polemik di masyarakat, strategi paling ampuh, jitu, dan tidak ada perselisihan pendapat dalam menangani penyebaran Covid-19 adalah lockdown. Wuhan berhasil mengatasi corona dengan strategi lockdown. Italia juga menerapkan strategi yang sama, dan kini sudah mulai menunjukkan keberhasilan. Selain karena penyebarannya yang cepat, inang virus ada kalanya tidak menunjukkan tanda-tanda terinfeksi. Jika manusia carrier virus dibiarkan bergerak, area terinfeksi akan semakin meluas. Jumlah korban semakin banyak dan masif.

Mengapa pemerintah tidak mengambil langkah lockdown? Alasan paling logisnya adalah:

Pertama, sumber daya pemerintah, khususnya keuangan sangatlah lemah. Jika kebijakan lockdown dipilih, pemerintah berkewajiban mem-backup kebutuhan sehari-hari rakyat selama masa karantina. Masalahnya, apa pemerintah sanggup? Jika sanggup sampai berapa lama? Dana yang ready berapa, dan jika kurang dari sumber mana, dana bisa diperoleh? Jika utang, apa resikonya bagi perekonomian rakyat masa datang, dan bla, bla, bla, rumit dan ruwet.

Kedua, ketersediaan sumber daya manusia –kuantitas maupun kualitas terbatas– terbatas dan mungkin tidak memadai; khususnya petugas medis dan keamanan. Apabila pemerintah memilih kebijakan lockdown, itu artinya pemerintah harus mengerahkan petugas keamanan yang cukup banyak untuk mengawasi lalu lintas orang. Pemerintah juga harus menyediakan tenaga paramedis dan dokter dalam jumlah yang mampu meng-cover keseluruhan area lockdown.

Pertanyaannya, apa pemerintah sanggup? Bagaimana mekanismenya? Jika sanggup bagaimana cara mengatur dan memastikan seluruh masyarakat menjalankan skenario lockdown dengan tertib dan terkontrol? Bla, bla, bla, masih ada sederet pertanyaan yang bisa jadi membuat pemerintahan semakin kelabakan.

Akhirnya, bisa jadi karena rumit, njlimet, dan berat, pemerintah menetapkan skenario social distancing. Pilihan pemerintah, tentu saja dianggap masuk akal dan realistis dengan mempertimbangkan semua alasan di atas. Hanya saja, sekali lagi harus dinyatakan bahwa social distancing dan physical distancing, bukanlah pilihan rasional dan manusiawi dalam konteks sebagai langkah membendung laju penyebaran Covid-19.

Mengapa tidak rasional? Karena satu-satunya jalan untuk memastikan terhentinya penyebaran corona adalah penguncian, dan menghentikan lalu lintas manusia hingga dipastikan suatu kawasan zero dari virus.

Mengapa tidak manusiawi? Sebab, rakyat dipaksa untuk bertahan hidup sendiri, hingga alam menyeleksi mereka. Yang mampu bertahan akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah, akan dibiarkan ‘mati dimangsa’ Covid-19. Kebijakan yang diambil pemerintah memperlihatkan betapa nyawa rakyat tidak lebih berharga daripada biaya lockdown.

Pemerintah sadar maupun tidak sadar, tengah menjalankan teori natural selection-nya Charles Darwin. Alamlah yang akan menyeleksi spesies mana yang sanggup bertahan hidup. Dengan kata lain, pemerintah tengah menjalankan kebijakan pembiaran dan ‘hukum rimba’, siapa yang kuat yang menang. Rakyat dijebloskan ke dalam kandang yang berisi monster ganas. Dibiarkan berhadapan dan bertarung dengan sang monster, tanpa dilengkapi senjata yang memadai. Siapa yang sanggup bertahan di kandang, maka ia hidup, sedangkan yang tidak mampu bertahan, dibiarkan tewas dimangsa monster jahat.

Lalu siapa yang bisa bertahan dalam kebijakan natural selection? Tentu saja mereka yang memiliki sumber daya lebih. Sementara, rakyat kecil dan lemah dibiarkan berjuang mempertahankan hidupnya sendiri. Rakyat kecil dan lemah kini harus berhadapan dengan 3 monster ganas; kesulitan hidup, monster corona, dan penguasa abai. Lalu, apa gunanya ada pemerintah, jika ia tidak mampu melindungi rakyatnya. Lalu apa gunanya penguasa, jika ia tidak kuasa menjaga nyawa dan ketentraman rakyatnya?

Pikiran Jahat dan Model Negara yang Tidak Manusiawi 

Penguasa-penguasa yang berpaham materi-centris, selalu menumpukan kebijakan-kebijakan mereka pada kalkulasi-kalkulasi materi. Kemanusiaan, agama, dan norma tidak akan pernah disertakan dalam kebijakan mereka, kecuali ada manfaat materi di dalamnya. Perhitungan materi selalu di atas segalanya. Bahkan materi sudah dianggap Tuhan. Untung rugi ala para pedagang, adalah mindset berfikir dan standarisasi baku pembuatan kebijakan.

Di dalam masyarakat kapitalis-sosialis-materialis, tidak ada yang namanya halal dan haram, beradab atau tidak. Yang ada hanyalah untung dan rugi secara materi. Semua akan dikorbankan demi mengejar materi, meskipun untuk itu harus mengorbankan etika dan agama, bahkan nyawa orang lain.

Sebuah kesalahan besar, jika Anda masih mengharapkan kesejahteraan; harmonitas alam; hidup tenang saling membantu; lalu lintas barang, jasa, dan manusia yang lancar; menjunjung tinggi kemanusiaan; dan mentauhidkan Sang Pencipta, dari sistem brengsek kapitalisme-sosialisme-sekulerisme serta negara bangsa.

Di dalam sistem kapitalis, rakyat dituntut untuk berjuang hidup sendiri. Dia harus mengurus dirinya sendiri. Negara tidak turut campur dalam kegiatan ekonomi. Tidak ada tempat bagi kemalasan dan kelemahan. Pemikir-pemikir kapitalis selalu mengatakan, “Menyerahkan urusan manusia kepada mekanisme pasar bebas merupakan keadilan. Mekanisme pasar bebas akan memacu kompetisi, dan kompetisi akan memicu lahirnya produk-produk dengan harga murah dan berkualitas tinggi.”

Sayangnya, mekanisme pasar bebas yang berkeadilan tidak pernah mewujud dalam realitas. Pasar tetap saja dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa yang memiliki efisiensi produksi tinggi. Perusahaan-perusahaan kecil gulung tikar, sekarat, dan akhirnya menemui ajal. Timpangnya mekanisme ‘pasar bebas’ dalam sistem kapitalis disebabkan karena aset-aset milik umum, seperti air, tambang, hutan, dan aset-aset vital milik umum lainnya diserahkan secara legal kepada perusahaan-perusahaan swasta, melalui kebijakan privatisasi.

Akibatnya, pelaku-pelaku pasar mau tidak mau harus membeli kebutuhan-kebutuhan vital dari mereka. Jika tidak mau beli, pelaku pasar akan kesulitan menyambung hidup dan bisnisnya. Benar, menguasai pasar bukanlah perkara tercela. Hanya saja, pengusaha-pengusaha besar itu berhasil menguasai pasar bukan karena kemampuan dan skill yang hebat, tetapi lebih karena ia diberi kuasa negara untuk menguasai aset vital yang mau tidak mau, terpaksa atau tidak, rakyat harus membeli dari mereka.

Ketidakadilan, ketimpangan, dan anomali di bidang ekonomi, menjalar dan menginfeksi bidang-bidang lain. Di bidang politik, sudah menjadi rahasia umum, para pengusaha selalu berada di balik mobilisasi kekuasaan vertikal. Bahkan, saking tamak dan rakusnya, kini mereka menjelma menjadi penguasa. Apakah mereka berkuasa untuk mensejahterakan rakyat? Sekali lagi bukan. Tetapi untuk melapangkan ekspansi dan penjarahan mereka atas aset-aset vital rakyat. Pengusaha yang juga penguasa tentu lebih full power.

Di bidang hukum, para pengusaha, acapkali mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melegalisasi sejumlah Undang-Undang yang sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memuluskan kepentingan dan ambisi para pengusaha. Begitu pula aparatnya, tidak lagi independen dan menjadi garda terdepan penjaga keamanan dan keadilan. Mereka kini menjadi centeng dan jongos para pengusaha, akibat tersumpal dan terjerat jebakan recehan para pengusaha.

Lalu bagaimana dengan nasib rakyat? Rakyat harus berjuang mempertahankan hidupnya sendiri. Beban hidup mereka semakin berat. Mereka harus berjibaku, banting tulang untuk menghidup keluarga. Mereka harus rela menyerahkan sebagian besar waktunya bekerja di perusahaan-perusahaan dengan gaji yang hanya cukup untuk bertahan hidup. Ironisnya, di tengah beban hidup mereka yang semakin berat, mereka harus membayar pajak, premi, dan palakan-palakan lain.

Celakanya lagi, mereka juga harus urunan menalangi utang-utang para pengusaha brengsek dan koruptor iblis yang telah menggondol uang rakyat. Seandainya penguasa-pengusaha berhaluan psikopat itu tidak ada, alias hidup tanpa kepemimpinan mereka, keadaan rakyat mungkin jauh lebih baik. Sebab, tidak akan lahir kebijakan-kebijakan jahat yang merusak harmoni mereka. Ketidakteraturan rakyat justru disebabkan karena mereka diatur oleh para penguasa yang berfikiran ala binatang rimba.

Begitu pula bentuk kenegaraan yang diadopsi dan diterapkan, nation state, diakui atau tidak, semakin menyuburkan mental-mental bengis tak berperikemanusiaan. Kekurangan dana di negeri ini untuk melakukan lockdown, sebenarnya bisa diselesaikan dengan bantuan negara-negara lain. Begitu pula krisis kaum muslim di Palestina, India, Suriah, dan krisis-krisis nation state lain, politik maupun ekonomi, sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah saat manusia di dunia tidak disekat-sekat dalam dinding nation state.

Apa sih sulitnya berbagi dengan sesama manusia? Apa sih sulitnya saling membantu problem negara lain? Apa sih sulitnya mengkoordinasi seluruh manusia untuk bersama-sama menghadapi problem-problem bersama, semacam corona? Memang sulit, bahkan mustahil. Sebab, manusia dipecah belah dalam negara-negara bangsa. Lalu lintas mereka dibatasi. Pendapatan dikuasai hanya oleh negara-negara besar. Lebih jauh lagi, setiap negara merasa hanya berkewajiban mengurus negaranya sendiri. Yah, individualis massal negara bangsa.

Coba Anda bayangnya, seandainya lalu lintas barang dan manusia di seluruh dunia tidak dipersulit atau tidak dihalangi oleh negara bangsa, niscaya problem-problem kemanusiaan di dunia bisa ditangani dengan mudah. Tidak hanya itu, cost-cost tak perlu yang selama ini membebani distribusi barang dan jasa, bisa dihilangkan. Harga barang turun, kualitas barang semakin berkualitas. Problem-problem nasional, saat ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan kemampuan-kemampuan lokal. Bahkan lokalitas sudah tidak lagi relevan menopang sistem dunia yang menuntut adanya kecepatan dalam lalu lintas, pengambilan kebijakan, dan subordinasi yang sifatnya global.

Dari sinilah rakyat harus sadar. Saat ini mereka hidup di sebuah masyarakat dan negara yang sakit, akibat penerapan sistem dan tata aturan ganjil rumusan para psikopat. Rakyat terus dibodohi, dilupakan, dialihkan, dan disesatkan dengan berbagai macam tipu daya oleh penguasa-penguasa bodoh, yang ber-mindset kapitalis-liberalis-materialis.

Bukankah di barisan mereka ada para ulama, kyai, dan ustadz? Pertanyaannya, apakah dengan keberadaan para kyai, ulama, dan ustadz tersebut di tengah-tengah mereka, syariat Islam diterapkan? Apakah dengan keberadaan mereka, para penguasa yang bodoh terhadap Islam, mau belajar dan tunduk di bawah syariat Islam? Ternyata tidak! Tidak ada penerapan syariat Islam! Tidak ada perubahan menuju sistem Islam! Yang ada, Islam semakin dikerdilkan, dipinggirkan, bahkan diubah-ubah sesuai keinginan para penguasa bodoh. Benar, keberadaan ulama, kyai, dan ustadz di sisi mereka hanyalah kedok dan siasat licik untuk mengelabui umat Islam. Benar-benar kurang ajar dan bedebah! Ulama dan asatidz yang harusnya dimuliakan, mereka peralat dan diperlakukan secara tidak senonoh!

Oleh karena itu, ke depan kita harus tinggalkan dan kubur dalam-dalam negara bangsa, paham kapitalisme, dan penguasa-pengusaha yang berparadigma untung-rugi dalam mengatur urusan rakyat. Sudah seharusnya rakyat kembali kepada Dzat yang Menciptakan harmoni, keseimbangan, dan keteraturan alam semesta. Alam semesta teratur begitu indah dan harmonis karena seluruh bagiannya taat kepada hukum Allah SWT yang berlaku untuk alam semesta (sunnatullah).

Matahari tidak pernah menyimpang dari garis edar yang telah ditetapkan Allah. Begitu pula bumi dan seisinya. Semua berjalan dengan teratur, rapi, dan apik, karena ketundukan dan kepatuhan mereka kepada aturan Allah SWT. Jika saja matahari tidak taat kepada aturan Allah, niscaya seluruh keseimbangan alam semesta akan terganggu. Bahkan, alam semesta akan rusak dan hancur binasa akibat ketidakpatuhan matahari pada aturan Allah.

Begitu pula kehidupan manusia. Keharmonisan, keteraturan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keindahan hanya bisa terwujud tatkala seluruh urusan manusia di atur dengan aturan Allah SWT. Penyimpangan, pengabaian, dan penolakan terhadap hukum Allah, akan menjatuhkan siapa saja pelakunya ke dalam lembah penderitaan dan kesengsaraan.

Badai corona mengingatkan kita untuk kembali kepada hukum Allah, syariat Islam, dan kembali menerapkan sistem kenegaraan universal, yakni khilafah Islamiyyah. Negara bangsa telah gagal, bahkan semakin memerosokkan manusia ke dalam kehinaan dan ketidakmanusiawian. Corona memberi pelajaran kepada kita, paham kapitalisme, sosialisme-komunisme, dan negara bangsa adalah pilihan salah dan menyesatkan yang dipilih oleh penguasa-penguasa bodoh. Paham-paham busuk ini harus segera dicampakkan dari kehidupan manusia, dan dikubur ke dalam liang sejarah, bersama dengan sejarah kelam kaum-kaum terdahulu yang durhaka kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. []

Sumber: Pringga Sonya

About Author

Categories