Pedoman Penggunaan Urf Dalam Menetapkan Hukum Syar’i
Pedoman Penggunaan Urf Dalam Menetapkan Hukum Syar’i
Oleh
Ustadz Anas Burhanudin MA
DEFINISI ADAT DAN URF
Adat menurut arti bahasa adalah cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan.[1] Sedangkan adat istiadat adalah: tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. [2] Kata ini berasal dari kata العَادَة dalam bahasa Arab dengan arti yang sama.[3]
Adapun menurut istilah agama, para Ulama berbeda ungkapan dalam mendefinisikan adapt. Diantara definisi yang mereka sebutkan adalah, “Perkara yang terulang-ulang dan dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat” [4] Jadi, menurut istilah agama, tidak semua perkara yang terulang-ulang disebut adat, tapi harus bisa diterima fitrah dan akal sehat.
Adat mencakup kebiasaan individu dan kebiasaan orang banyak. Kebiasaan orang banyak dikenal juga dengan istilah ‘urf (العُرْف). Jadi, istilah adat lebih umum dari ‘urf; karena istilah ‘urf hanya dipakai untuk menunjukkan kebiasaan banyak orang banyak saja, dan tidak mencakup kebiasaan individu.[5] Demikianlah perbedaan antara adat dan ‘urf, namun keduanya sama-sama dipakai dan diperhitungkan dalam menetapkan hukum syar’i. [6]
ADAT DAN URF DIPERHITUNGKAN DALAM AGAMA ISLAM
Agama Islam memperhitungkan adat dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah.[7] Banyak ayat dan hadits yang menunjukkan hal ini, di antaranya:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla dalam dua ayat berikut :
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. [al-Baqarah/2:228]
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf. [an-Nisâ’/4:19]
Sebagian ahli tafsir menafsirkan kalimat “bil ma’ruf” dalam dua ayat di atas dengan kalimat “sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku di tempat dan masa suami dan isteri berada. Suami memperlakukan isteri dengan baik, sesuai dengan adat yang dikenal dan berlaku di masyarakat, demikian sebaliknya perlakuan isteri kepada suami.[8]
2. Firman Allâh Azza wa Jalla dalam Surat al-Mâidah/5 ayat ke-89 :
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Allâh tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (denda melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla mensyaratkan bahwa makanan dan pakaian yang diberikan hendaknya yang sedang-sedang saja dan biasa diberikan kepada keluarga sendiri. Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan yang umum berlaku, karena manusia tidak sama dalam hal ini. Mereka berbeda-beda sesuai kondisi dan kemampuan mereka.[9]
3. Hadits riwayat al-Bukhari (no. 5364) :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ.)) فَقَالَ: (( خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ))
Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Hindun binti Utbah berkata, “Wahai Rasûlullâh, sungguh Abu Sufyân orang yang pelit dan tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang aku ambil tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah secukupnya untuk dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.”
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan adat dan kebiasaan yang berlaku sebatas standar batasan nafkah yang berhak diperoleh isteri. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan nominalnya. Ini menunjukkan bahwa ‘urf bisa diperhitungkan dalam hal-hal yang batasannya tidak ditentukan syariah. [10]
4. Hadits riwayat Abu Dâwud (no. 3569) :
أَنَّ نَاقَةً لِلْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ دَخَلَتْ حَائِطَ رَجُلٍ فَأَفْسَدَتْهُ، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ الأَمْوَالِ حِفْظَهَا بِالنَّهَارِ وَعَلَى أَهْلِ الْمَوَاشِي حِفْظَهَا بِاللَّيْلِ
Bahwasanya unta al-Bara’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu masuk kebun seseorang dan merusaknya. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hukuman bahwa pemilik kebun wajib menjaga kebunnya di siang hari, dan apa yang dirusak unta di malam hari menjadi tanggungan pemilik unta. [Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albâni t dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah no. 2332]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melandaskan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pada kebiasaan yang umum berlaku bahwa pemilik ternak melepaskan ternak mereka di siang hari dan tidak melepasnya di waktu malam. Sedangkan pemilik kebun biasanya berada di kebun pada siang hari saja. Maka barangsiapa menyelisihi kebiasaan ini, berarti ia teleh teledor dalam menjaga hak miliknya, sehingga laksana orang yang menyimpan hartanya di tengah jalan, maka orang yang mencurinya tidak dikenai potong tangan. Ini menunjukkan bahwa ‘urf diperhitungkan dalam penetapan hukum ini. [11]
5. Hadits riwayat Ahmad (no. 26716), Abu Dâwud (nomor 274 ):
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تُهَرَاقُ الدَّمَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَفْتَتْ لَهَا أُمُّ سَلَمَةَ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: (( لِتَنْظُرْ عِدَّةَ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي كَانَتْ تَحِيضُهُنَّ مِنْ الشَّهْرِ قَبْلَ أَنْ يُصِيبَهَا الَّذِي أَصَابَهَا، فَلْتَتْرُكْ الصَّلاةَ قَدْرَ ذَلِكَ مِنْ الشَّهْرِ، فَإِذَا بَلَغَتْ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ تَسْتَثْفِرْ بِثَوْبٍ ثُمَّ تُصَلِّي))
Dari Ummu Salamah isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seorang wanita mengeluarkan darah (istihâdhah) pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ummu Salamah memintakan fatwa untuknya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari haid dia setiap bulannya sebelum mengalami sakit yang sekarang ini, maka hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak hari itu, dan jika sudah selesai, hendaklah dia mandi kemudian membalutnya dengan kain lalu shalat.” [Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albâni dalam Misykat al-Mashâbîh no. 559]
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merujuk kepada jumlah hari haid yang biasa dialami wanita tersebut sebelum mengalami istihâdhah. Ini menunjukkan bahwa adatlah yang dipakai untuk menetapkan hukum di atas.
Dari keterangan ayat-ayat dan hadits-hadits ini dapat disimpulkan bahwa adat dan ‘urf dijadikan hukum dalam hal-hal yang tidak ada ketentuannya dalam syariah Islam. Empat poin pertama menunjukkan bahwa adat orang banyak (‘urf) diperhitungkan, dan poin terakhir menunjukkan bahwa adat individu juga dipakai dalam menetapkan hukum syar’i. Karenanya, para Ulama menyebutkan sebuah kaidah fikih yang agung :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
adat itu dijadikan hakim.
Maksudnya, (adapt) dalam pandangan syariah memiliki kekuatan dan menjadi rujukan dalam menentukan hukum syar’i.[12]
TIDAK SEMUA ADAT (URF) MENJADI RUJUKAN
Di depan telah dijelaskan bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah secara detail.[13] Namun perlu diketahui bahwa tidak semua adat dan ‘urf menjadi rujukan. Ada syarat-syarat yang harus ada pada suatu adat agar bisa menjadi muhakkam, di antaranya :
1. Harus muththarid atau ghalib. Muththarid artinya adat dan ‘urf harus konstan, tidak berubah-ubah, dan menyebar di masyarakat. Adapun ghalib berarti bahwa ‘urf itu lebih sering dipakai daripada ditinggalkan. Adapun jika suatu ‘urf tidak terkenal dan tersebar, atau berubah-ubah, atau lebih sering ditinggalkan, maka ia tidak bisa dijadikan landasan penetapan suatu hukum.
2. ‘Urf itu sudah ada dan masih berlaku saat hukum ditetapkan. Jadi jika ‘urf belum berlaku saat penetapan hukum, atau sudah tidak berlaku lagi, maka ‘urf itu tidak bisa diperhitungkan dalam penetapan suatu hukum.
3. Tidak ada persetujuan yang diucapkan atau tertulis yang menyelisihi adapt, jika ada, maka persetujuan itu yang dipakai. Misalnya, jika kebiasaan pada suatu masyarakat adalah membebankan biaya pengangkutan barang dagangan kepada pembeli, kemudian suatu ketika pembeli menetapkan syarat bahwa biaya pengangkutan barang ditanggung penjual lalu penjual setuju. Dalam kasus ini, adat masyarakat di atas tidak dipakai, dan yang dipakai adalah persetujuan ini.
4. ‘Urf tidak boleh menyelisihi dalil-dalil syar’i. Jika dalil menetapkan suatu hukum syar’i, kemudian adat ‘urf yang berlaku di masyarakat menyelisihi hukum tersebut, maka ‘urf tersebut tidak dianggap dan menjadi tidak bernilai. Syarat yang terakhir ini adalah yang terpenting dan disepakati oleh para Ulama. Dan kesalahan banyak orang pada pemberlakuan suatu adat biasanya terjadi pada syarat ini.
KEBIASAAN YANG TIDAK SEJALAN DENGAN SYARIAT DILARANG
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Konsekuensinya, agama ini tidak peru lagi ditambah-tambah. Tidak ada satu kebaikanpun, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Dan tidak ada satu keburukanpun, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umat beliau untuk waspada terhadapnya.
Sayangnya, seiring dengan perkembangan Islam ada sebagian umat Islam yang lalai akan hakikat ini. Sebagian kaum Muslimin menciptakan tata cara ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak juga yang menciptakan upacara-upacara atau peringatan-peringatan yang tidak pernah ada pada masa generasi awal umat Islam. Mereka berdalih bahwa hal ini sudah menjadi adat dan tradisi sudah turun temurun, dan Islam menghormati adat bahkan memperhitungkannya dalam menetapkan hukum. Merekapun menyebutkan kaidah fikih (العَادَةُ مُحَكَّمة). Benarkah dalih mereka ini?
Kalau melihat keterangan para Ulama di atas, kita dapatkan bahwa kaidah ini dipakai dalam bab mu’âmalah (yang mengatur hubungan sesama manusia), yaitu pada hal-hal yang ketentuannya tidak diatur syariah. Kalaupun ada memiliki hubungan dengan ibadah seperti bab thaharah (merujuk hari haid yang biasa dialami), maka itu bukan dalam hal memunculkan tata cara ibadah baru atau hari raya yang tidak ada contohnya. Lihatlah pada dalil-dalil pemakaian ‘urf di atas! Pemakaiannya tidaklah seperti yang mereka praktekkan.
Dan sudah diketahui secara umum bahwa hukum asal dalam ibadah adalah semua ibadah tidak boleh dilakukan, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya. Maka adalah sebuah kesalahan jika ada orang yang melakukan ibadah yang tidak ada dalil, kemudian saat diingatkan dia mengatakan “Tidak ada dalil khusus yang melarang hal ini”. Dalih seperti ini seharusnya diucapkan dalam bab mu’âmalah, yang hukum asalnya adalah boleh, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. Dalam bab ibadah, orang yang memunculkan tata cara ibadah atau hari raya barulah yang harus mendatangkan dalil.[15]
Di samping itu, adat yang demikian tidak memenuhi syarat untuk dijadikan landasan penetapan hkkum karena menyelisihi dalil yang melarang adanya cara perkara-perkara baru dalam agama seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa mengada-adakan dalam perkara (agama) kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka amalan tersebut tertolak. [HR. al-Bukhari, no. 2550 dan Muslim no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]
Dan dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka amalan tersebut tidak diterima.
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain dari al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu anhu :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.[HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Mâjah no. 46, dihukumi shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah 6/238]
PENUTUP
Dengan demikian jelaslah bahwa adat dan ‘urf diperhitungkan dalam syariat Islam dan dijadikan hakim dalam perkara yang tidak diatur ketentuannya oleh agama. Namun tidak semua ‘urf diakui, tapi harus memenuhi beberapa syarat. Syarat terpenting adalah tidak boleh menyelisihi dalil-dalil syar’i. Jelas pula kesalahan orang yang berlindung dibalik perisai adat untuk melegalkan bid’ah dalam beragama. Semoga Allâh membimbing umat Islam kepada pemurnian sunnah, karena itulah jalan kebangkitan mereka. Wallahu Ta’ala A’lam.
Referensi:
– al-Mantsûr fil Qawâ’id, Badruddin az-Zarkasyi, Kemenag Kuwait.
– al-Mu’jamul Wasîth, al-Maktabah al-Islamiyyah.
– al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Dr. Abdurrahman al-Abdullathif.
– al-Wajîz fi Idhâh Qawâ’idil Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi al-Borno, Muassasah ar-Risalah.
– Fathul Bâri, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Darussalam.
– Fathul Qadîr, asy-Syaukani, Darul Hadits.
– Mu’jam Maqayisil al-Lughah, Darul Jil.
– Syarh Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi.
– http://kamusbahasaindonesia.org/
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. http://kamusbahasaindonesia.org/adat#ixzz1aqLypiQa
[2]. http://kamusbahasaindonesia.org/adat%20istiadat#ixzz1aqLZUb8O
[3]. Mu’jam Maqayisil al-Lughah 4/182 , al-Mu’jamul Wasîth hlm. 635
[4]. al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah 2/4.
[5]. al-Wajîz, hlm. 276
[6]. al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah 2/6.
[7]. al-Mantsûr fil Qawa’id hlm. 356.
[8]. Fathul Qadîr 1/351.
[9]. Tafsir Ibnu Katsir 3/173.
[10]. Fathul Bâri 9/630.
[11]. Ma’âlim as-Sunan 2/241.
[12]. al-Wajîz, hlm. 276.
[13]. al-Mantsûr fil Qawa’id hlm. 356.
[14]. Lihat: al-Qawa’id al-Fiqhiyyah 2/13-19.
[15]. Syarh Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idih, hlm. 80