Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tidak Menyentuh Akar Masalah

MUSTANIR.net – Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si., M.Si, Ph.D, Med.Sc, menghadiri pembukaan Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024 yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan (9-12-24). Mengusung tema ‘Teguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju’, acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan nasional dan internasional.

Prof. Widodo memberikan rekomendasi strategis pemberantasan korupsi, meliputi penguatan independensi KPK dan kolaborasi lintas lembaga dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi, digitalisasi manajemen pemberantasan korupsi untuk memitigasi risiko korupsi digital, pelembagaan nilai budaya dan etika dalam tata kelola penyelenggaraan negara.

Prof. Widodo juga mengusulkan perbaikan pada indikator pemberantasan korupsi, meliputi indikator pemanfaatan teknologi digital, indikator independensi KPK dan kolaborasi antar lembaga, pendekatan budaya dan edukasi etika, efektivitas penegakan hukum bagi pelaku korupsi, indikator kepemimpinan yang lebih kuat, indeks partisipasi publik, monitoring dan evaluasi berkala atas program pemberantasan korupsi.

Tidak Menyentuh Akar Masalah

Hanya saja pengamat Desi Dwi A, SP menilai upaya-upaya ini tidak menyentuh akar masalah. Berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan pemerintah, ujarnya, termasuk membentuk KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Para penyidiknya berulang kali mengalami pergantian. Namun, jumlah kasus yang digelar makin banyak, yang menunjukkan makin banyaknya kasus tipikor. Bahkan, angka korupsinya juga makin besar,” jelasnya kepada M News, Ahad (12-1-2025).

Pelaku tipikor juga makin merata, ulasnya, mulai dari kepala daerah, rektor, politisi hingga hakim agung. “Belum lagi hukuman yang tidak setimpal. Terbaru kasus korupsi Harvey Moeis dalam kasus timah senilai Rp300 triliun hanya dihukum penjara 6,5 tahun dan denda senilai Rp1 M,” ucapnya.

Ditambah lagi, ucapnya, ada statement Presiden yang menyatakan akan memaafkan para koruptor asalkan mereka mengaku dan mengembalikan aset yang mereka curi.

Jadi, menurutnya, semua ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum menyentuh akar persoalan. “Mulai dari undang-undang yang dinilai memandulkan fungsi KPK hingga aparat penegak hukum dan putusan sanksi yang tebang pilih membuat pemberantasan korupsi menjadi blunder di negeri ini,” urainya.

Pangkal Permasalahan

Desi memandang, pangkal permasalahan korupsi di negeri ini sejatinya adalah penerapan sistem sekuler kapitalistik. “Suksesi kepemimpinan berbiaya tinggi dengan proses yang rumit adalah awalnya. Hasilnya, akan lahir para pejabat politik yang tersandera utang politik,” cetusnya.

Ia mengutarakan, siapa pun yang ingin menjabat dalam sistem demokrasi sekular ini harus mengeluarkan biaya kampanye cukup besar dengan segala gimik politik untuk merangkul suara rakyat. “Tercatat untuk menjadi anggota dewan saja perlu modal mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah,” jelasnya.

Akibatnya, ia mengatakan, calon pejabat harus memiliki modal dan atau akses kepada pemilik modal yang akan mampu mengantarkan mereka sebagai penguasa. “Setelah menjabat, “wajar” apabila kebijakan yang dibuat adalah mengembalikan modal dan “membalas jasa” kepada pemilik modal yang mengantarkan mereka pada kursi penguasa,” kritiknya.

Dampaknya, ia memaparkan, rakyat menjadi apatis pada pemerintahan yang ada. “Jangankan mengkritik penguasa, mereka seperti “mati rasa” pada rezim dan hanya peduli pada urusan perut atau pemenuhan kebutuhan masing-masing sehingga pemberantasan korupsi hanya menjadi ilusi,” ungkapnya..

Berbeda dengan Islam

Desi menilai, ini jauh berbeda dengan Islam yang menjadikan akidah dan ketakwaan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat bahkan bernegara. “Para pemimpin adalah raain atau pemelihara urusan rakyat. Hanya mereka yang memiliki kemampuan dan ketakwaan saja yang boleh mengemban amanah kepemimpinan,” ujarnya.

Pemimpin bertakwa, lanjutnya, akan takut kepada Allah sehingga tidak berani menyentuh harta milik umum dan menzalimi rakyatnya.

Apalagi, paparnya, suksesi kepemimpinan dalam Islam juga tidak memerlukan biaya besar, juga tidak berlaku periodik karena kepala daerah akan dipilih dan diaudit oleh khalifah (kepala negara) kaum muslim. “Mekanisme ini secara otomatis akan menutup pintu-pintu korupsi dalam negara Khilafah Islam,” ucapnya.

Selain itu, tambahnya, ketakwaan yang ada pada masyarakat mendorong mereka terus melakukan kontrol pada penguasa, terutama saat penguasa abai atau lalai terhadap penerapan syariat Allah Taala dan menjalankan amanah kepemimpinannya.

“Dalam hal ini, terjadi hubungan timbal balik yang harmonis dalam masyarakat sesuai hadis riwayat Muslim, ‘Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.’,” ungkapnya.

Akan tetapi, gambaran pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya ini tidak akan lahir dari sistem demokrasi sekular yang diterapkan hari ini. “Mereka hanya bisa lahir dari penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Jadi, sudah saatnya kita melakukan perubahan sistemis menuju penerapan Islam kafah, bukan sebatas perubahan rezim,” tutupnya. []

Sumber: M News

About Author

Categories