Pemimpin Amanah Tidak Lahir dari Rahim Demokrasi

MUSTANIR.net – Tahun politik kian memanas. Capres dan cawapres dari berbagai koalisi pun telah diumumkan. Pesta demokrasi setiap lima tahun sekali ini tinggal menghitung waktu.

Demokrasi memang masih menjadi acuan sistem pemerintahan oleh negara ini. Padahal, banyak mata menyaksikan betapa demokrasi ini telah melahirkan kerusakan demi kerusakan, salah satunya para pemangku kekuasaan yang senantiasa melegalisasi kekuasaannya demi kepentingan atau keuntungan pribadi maupun golongannya.

Contoh kepentingan yang sering terjadi dan dihadapi di demokrasi ialah abuse of power. Terminologi ini dipakai untuk menyebut tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Jabatan dan kekuasaan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Saat seseorang memiliki jabatan, secara otomatis ia akan mendapatkan kewenangan-kewenangan tertentu. Bukan rahasia lagi, sistem demokrasi pula yang justru memfasilitasi penyalahgunaan wewenang kekuasaan.

Reformasi terus bergulir, pemimpin kian berganti dari satu ke yang lainnya. Begitu pun jajaran kementerian dan para anggota DPR yang telah berganti wajah dari satu rezim ke rezim lainnya. Namun, tetap saja, abuse of power dan penyalahgunaan wewenang ini tidak pernah hilang dan selalu menetap dalam sistem ini.

Faktor-faktor Penyalahgunaan Wewenang

Penyalahgunaan wewenang tidak terlepas dari berbagai faktor, yakni individu, lingkungan sosial dan politik, ekonomi, dan lainnya. Sistem demokrasi memelihara karakter buruk, seperti ambisi yang berlebihan ataupun keserakahan.

Adanya tekanan politik atau kepentingan bisnis juga menjadi salah satu penyebab penyalahgunaan wewenang. Kekuasaan yang tidak dapat dikendalikan membuat banyak pejabat publik yang tidak dapat menahan keinginan untuk memiliki segalanya, termasuk kekuasaan. Walhasil, banyak yang menyalahgunakan wewenang.

Dalam demokrasi, muncul pandangan bahwa orang yang berwenang dapat bertindak bebas. Siapa pun yang memiliki jabatan tinggi akan bebas bertindak sesuka hati atau memiliki wewenang tidak terbatas.

Demokrasi juga meniscayakan lemahnya penegakan hukum terhadap perilaku penyalahgunaan wewenang. Banyak fenomena rakyat biasa yang melakukan kesalahan kecil, hukumannya berat dan lama. Akan tetapi, jika pejabat publik atau pemimpin meskipun kesalahannya fatal, hukumannya malah ringan. Begitulah, hukum di Indonesia cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Moral dan mental yang lemah pun menjadi “kawan akrab” dalam sistem demokrasi. Bukan pada satu atau dua orang, tetapi mayoritas penguasa dan pejabat dalam demokrasi yang memiliki wewenang atau jabatan tinggi, memiliki moral buruk, seperti korupsi ataupun menyalahgunakan wewenang atau jabatan.

Ditambah pandangan kapitalistik bahwa makin tinggi jabatan, biasanya kebutuhan hidup juga akan makin tinggi. Pengeluaran yang “lebih besar daripada tiang” dapat mengakibatkan seorang pejabat dapat menyalahgunakan wewenangnya untuk meraup keuntungan materi bagi diri sendiri. Belum lagi adanya pengawasan yang lemah, yakni dari pihak-pihak yang terkait, terutama para penegak hukum, misalnya dalam pengawasan anggaran.

Beratnya Amanah Jabatan dan Kekuasaan

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang sangat menjunjung kepemimpinan sebagai sebuah amanah. Siapa pun yang memegang amanah kepemimpinan, pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subḥānahu wa taʿālā di akhirat kelak.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari dan Muslim)

“Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu ia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat (kebaikan), kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR Bukhari)

Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah subḥānahu wa taʿālā untuk mengurus urusan kaum muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya, maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariat Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah, dan mengabaikan hudud (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka, dan tidak menegakkan keadilan di tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini, dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarah Shahîh Muslim)

Oleh karena itu, generasi salaf saleh terdahulu khawatir, bahkan takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan). Mereka sangat memahami sabda Nabi ﷺ, “Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu pada hari kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian.” (HR Nasa’i dan Ahmad)

Anehnya, saat ini, peringatan Nabi ﷺ tersebut justru dipraktikkan dengan “sangat sempurna”. Orang-orang sekarang justru rata-rata amat bernafsu atas kekuasaan dan jabatan. Mereka seolah tidak peduli jabatan dan kekuasaan itu akan berubah menjadi penyelesaian dan kerugian bagi mereka pada hari kiamat kelak.

Islam juga mendorong agar para pemimpin, baik penguasa maupun pejabat negara, untuk selalu bersikap adil. Pemimpin adil tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Pemimpin adil hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang juga adil. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam khilafah.

Sejak Rasulullah ﷺ diutus, tidak ada yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah dan adil, kecuali dalam masyarakat yang menerapkan sistem Islam. Kita mengenal khulafaurasyidin yang terkenal akan kearifan, keberanian, dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum muslim.

Mereka adalah para negarawan ulung yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga masyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur.

Stabilitas dan kewibawaan negara Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang. Khalifah Umar bin Khaththab terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (lihat: Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).

Khatimah

Kini, kita telah memahami bahwa tidak ada perubahan yang terjadi dalam demokrasi yang setiap tahun politik sekadar berganti wajah. Tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah kita yang bisa melahirkan para pemimpin yang adil dan amanah?

Kembalinya sistem pemerintahan Islam ini tentunya harus diperjuangkan oleh kaum muslim. Ini agar terwujud Islam rahmatan lil ‘alamin, khususnya dalam kehidupan bernegara.

Wallahualam. []

Sumber: Novita Sari Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories