Pemimpin Kafir Haram!
Pemimpin Kafir Haram!
Empat belas abad yang lalu Baginda Nabi Muhammad saw. sudah mengingatkan umatnya:
«أَهْلَكَ أُمَّتِيْ رَجُلاَنِ: عَالِمٌ فَاجِرٌ، وَجَاهِلٌ مُتَعَبِّدٌ »
Ada dua orang yang membinasakan umatku: orang berilmu yang durjana dan orang bodoh yang suka beribadah (Al-Mawardi dalam Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn).
Menjelang Pilkada atau Pilpres, umat Islam telah mendapatkan ujian, khususnya dari mereka yang disebut orang berilmu. Pasalnya, mereka berani mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah serta apa yang telah disepakati sebagai Ijmak. Segala dalih dikemukakan. Bahkan ada yang dengan jelas berani menyatakan, “Ayat Konstitusi lebih tinggi dari ayat al-Quran.” Dengan alasan itu, dia tidak lagi mengindahkan larangan al-Quran. Padahal dia mengklaim sebagai Muslim. Larangan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak pun mereka terjang. Bahkan mereka tidak segan menyesatkan umat dengan mengatakan, “Mana yang lebih baik, pemimpin Muslim yang korup atau pemimpin kafir yang bersih?”
Ada pula argumentasi lain, bahwa kepala daerah berbeda dengan kepala negara. Karena itu, kata mereka, larangan mengangkat pemimpin kafir sebagai kepala negara tidak berlaku untuk kepala daerah. Lebih mengerikan lagi, mereka tidak segan membajak pendapat ulama sekelas Imam al-Mawardi, seolah umat Islam bisa mereka bodohi dengan manipulasi mereka.
Pemimpin Diangkat untuk Menegakkan Agama
Islam memang mensyariatkan pengangkatan pemimpin dan penguasa bagi kaum Muslim. Islam mensyariatkan hal itu untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan oleh syariah. Pemimpin kaum Muslim itu diangkat untuk menegakkan agama Allah, menegakkan syariah-Nya, mewujudkan amar makruf nahi mungkar, meninggikan kalimat-Nya, menjaga pelaksanaan hudûd-Nya, memelihara hak-hak para hamba-Nya serta mengatur urusan kaum Muslim baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Dalam syariah, pemimpin (peguasa) itu diangkat tidak lain untuk menerapkan syariah secara menyeluruh. Penerapan syariah secara menyeluruh akan membuahkan rahmat untuk seluruh manusia. Dengan pemimpin yang menerapkan syariah itulah akan terwujud Islam rahmatan lil ‘alamin.
Imam al-Mawardi di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah (hlm. 5) menyatakan, “Imamah adalah topik untuk khilafah nubuwwah dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Mengakadkan Imamah/Khilafah untuk orang yang menegakkan hal itu di tengah umat adalah wajib.”
Jika demikian tugas dan pentingnya kepemimpinan bagi kaum Muslim, maka bagaimana mungkin pemimpin kafir—yang tidak mengimani Islam—akan menegakkan tugas-tugas itu? Bagaimana mungkin pemimpin kafir—yang tidak mengetahui dan meyakini mana yang makruf dan mana yang mungkar—akan bisa menegakkan amar makruf nahi mungkar? Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak mengetahui dan meyakini urusan keagamaan kaum Muslim akan bisa mengurusi dan memperhatikan urusan kaum Muslim? Oleh karena itu, sangat jelas bahwa orang kafir tidak mungkin diangkat menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.
Pemimpin Kafir Haram!
Dengan tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً﴾
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.” (TQS an-Nisa’ [04]: 141).
Ayat ini merupakan kalimat berita [kalam al-khabar] yang berisi larangan (nahy). Ini karena adanya hurufnafyu al-istimrâr “lan” yang bermakna “penafian untuk selamanya”. Artinya, Allah SWT melarang untuk selamanya orang kafir menguasai orang Mukmin. Karena itu, berdasarkan ayat ini semua ulama sepakat, bahwa haram mengangkat orang kafir menjadi pemimpin kaum Mukmin (Ibnu al-‘Arabi, Ahkâmal-Qur’ân, I/641).
Dalam nash lain dengan tegas Allah SWT melarang kita menjadikan orang kafir sebagai wali:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ﴾
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali, selain kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mengandung larangan atas kaum Mukmin untuk bersahabat, berteman, saling memberi dan meminta nasihat, berkasih sayang serta menyebarkan rahasia orang Mukmin kepada mereka (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, Juz I/867).
Ubadah bin Shamit ra. menuturkan dari Nabi saw.:
«وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ»
“Hendaknya kita tidak mengambil alih urusan itu dari yang berhak.” Baginda bersabda, “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.” (HRal-Bukhari).
Jika penguasa Muslim yang telah menjadi kafir saja wajib diganti, maka larangan ini juga berlaku untuk mengangkat orang kafir menjadi penguasa kaum Muslim. Jika mempertahankan pemimpin Muslim yang berubah menjadi kafir dilarang, apalagi memilih orang kafir menjadi pemimpin.
Selain al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Kalau kemudian tampak kekufuran pada dirinya, maka dia wajib diganti.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VI/315).
Ibn Mundzir juga menyatakan, “Telah sepakat para ahli ilmu yang menjadi rujukan, bahwa orang kafir tidak berhak mempunyai kekuasaan atas kaum Muslim dalam urusan apapun.” (Ibn al-Qayyim, Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, II/787).
Kepala Negara dan Kepala Daerah Sama
Memang ada pendapat Imam al-Mawardi tentang “wazîr tanfîdz” yang tidak disyaratkan harus Muslim karena hanya menangani urusan administrasi. Pendapat ini kemudian digunakan untuk mengabsahkan kebolehan gubenur non-Muslim. Terkait itu maka redaksinya harus dilihat dengan cermat sebagai berikut, “Adapun wizârah tanfîdz hukumnya lebih lemah dan lebih ringan syaratnya. Pasalnya, kewenangan dalam urusan (wizârah tanfîdz) ini terbatas pada melaksanakan dan menjalankan pandangan Imam (Khalifah). Wazir ini menjadi perantara Imam (Khalifah) dengan rakyat dan wali (kepala daerah). Dia bertugas menyampaikan apa yang diinstruktikan dari Imam (Khalifah) dan menjalankan apa yang telah disebutkan Imam (Khalifah). Dia juga melaksanakan apa yang diputuskan oleh Imam (Khalifah), memberitahukan pengangkatan wali (kepala daerah) dan penyiapan tentara. Dia juga bertugas menyampaikan kepada Imam (Khalifah) perkara penting yang ada serta peristiwa penting yang silih berganti, agar dia bisa menjalankan apa yang diinstruksikan kepada dirinya. Dia merupakan pembantu dalam menjalankan berbagai urusan, bukan wali dan orang yang diangkat untuk mengurus urusan tersebut. Jika dia dilibatkan dalam memberikan pendapat, itu lebih khusus atas nama wazir. Jika dia tidak dilibatkan maka itu lebih menyerupai perantara dan utusan…Dia tidak boleh memerintah sehingga harus berilmu, tetapi dia hanya berhak terhadap dua perkara: Pertama, menyampaikan kepada Khalifah. Kedua, menyampaikan dari Khalifah.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 34-35).
Dalam kalimat berikutnya, Imam al-Mawardi menyatakan, “Berdasarkan empat perbedaan di antara dua kategori ini maka ada empat perbedaan syarat pada kedua wazir tersebut. Pertama: Merdeka menjadi patokan bagi wizârah tafwîdh, tetapi tidak bagi wizârah tanfîdz. Kedua: Islam menjadi patokan wizârah tafwîdh, tetapi tidak bagi wizârah tanfîdz. Ketiga: Ilmu tentang hukum syariah menjadi patokan bagi wizârah tafwîdh, tetapi tidak bagi wizârah tanfîdz. Keempat: Mengetahui urusan perang dan kharaj menjadi patokan bagi wizârah tafwîdh, tetapi tidak bagi wizârah tanfîdz.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 36).
Jelas, yang dimaksud dengan wazîr tanfîdz oleh Imam al-Mawardi adalah pembantu Khalifah di bidang administrasi; bukan kepala daerah, baik wali maupun amil. Dia tidak boleh membuat keputusan, apalagi memerintah. Itulah posisi wazîr tanfîdz yang dimaksud oleh Imam al-Mawardi. Artinya, dia bukan pembuat kebijakan; bukan kepala daerah, baik tingkat I maupun tingkat II.
Kesimpulan ini bisa dilihat pada bab berikutnya ketika beliau membahas bab Taqlîd al-Imârah ‘ala al-Bilâd (pengangkatan kepala daerah). Pada bab ini beliau menegaskan bahwa syarat kepala daerah sama dengan syarat wazîr tafwîdh. Dalam hal ini, Imam al-Mawardi menyatakan:
وَتُعْتَبَرُ فِي شُرُوْطِ هَذِهِ الإمَارَةِ الشُّرُوْطُ المُعْتَبَرَةُ فِي وِزَارَةِ التَّفْوِيْضِ
Syarat-syarat yang diakui dalam syarat kepala daerah ini adalah syarat-syarat wizârah tafwîdh (Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthâniyyah, hlm. 41).
Terkait syarat-syarat wizârah tafwîdh beliau antara lain mengatakan, “Dalam pengangkatan wizârah ini, syarat yang diberlakukan adalah syarat Imamah, kecuali nasab saja.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 30).
Karena itu merupakan kesalahan besar, bahkan melakukan kebohongan atas nama al-Mawardi, jika dikatakan bahwa kepala daerah boleh non-Muslim, dengan alasan sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Mawardi. Padahal Imam al-Mawardi tidak pernah menyatakan seperti itu. Gubenur, walikota, bupati adalah kepala daerah, atau dalam bahasa beliau termasuk imârah ‘alâ al-bilâd, yang tidak boleh dijabat oleh non-Muslim. Itulah pendapat Imam al-Mawardi.
Wahai Kaum Muslim:
Dengan demikian keharaman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (penguasa) telah sedemikian jelas. Tidak ada argumentasi syar’i yang bisa membenarkan pengangkatan pemimpin (penguasa) kafir atas kaum Muslim. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [sumber]