Rakyat Indonesia Butuh Sistem Islam Bukan MEA

mea

Rakyat Indonesia Butuh Sistem Islam Bukan MEA

Mustanir.com – Tak lama lagi Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki era pasar bebas ASEAN (MEA). Dengan adanya MEA,  kawasan Asia Tenggara akan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi; sebuah kawasan yang sangat kompetitif dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta terintegrasi penuh dengan perekonomian global.

Sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima hal mendasar, yaitu (1) pergerakan bebas barang;(2) pergerakan bebas jasa; (3) pergerakan bebas investasi; (4) pergerakan bebas modal; dan (5) pergerakan bebas pekerja terampil. Jelaslah bahwa dalam MEA bukan hanya barang dan jasa yang bebas bergerak, namun tenaga kerja juga bebas keluar-masuk negara lain.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara berkembang, tipis harapan Indonesia mampu bersaing dalam era pasar bebas ala ASEAN itu. Hingga saat ini daya saing produk, baik dari sisi kualitas maupun harga masih kalah dari beberapa negara ASEAN lainnya. Beragam kebijakan ekonomi pemerintah dalam bentuk pencabutan subsidi dan liberalisasi perdagangan, semakin melemahkan kekuatan produk Indonesia dalam persaingan dengan produk-produk asing.

Dari sisi tenaga ahli dan terampil, jumlah yang dimiliki Indonesia juga terbatas. Paradigma pendidikan yang dimiliki pemerintah justru mencetak tenaga-tenaga pekerja siap pakai yang hanya menjadi pekerja level bawah. Hendri Saparini, Ph.D (ekonom dari CORE Indonesia) menyatakan, saat ini saja ketika MEA belum diberlakukan, para pekerja terampil dari India sudah memasuki bursa ketenagakerjaan di Indonesia. Dan mereka banyak menempati pos-pos penting dalam bidang produksi tekstil negara ini.

Sementara dari sisi potensi pasar, Indonesia memiliki bonus demografi. Dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, disertai tingkat konsumtivitas yang tinggi pula, menjadikan negara ini sebagai pangsa pasar yang sangat menggiurkan.

Tampak bahwa pihak yang paling diuntungkan dengan adanya MEA adalah negara maju. Karena mereka lebih siap bersaing dari berbagai sisi, baik dari kebijakan pemerintah, kekuatan investasi serta kesiapan SDM tenaga ahli. Sehingga ke depannya, negara-negara maju inilah yang akan memanfaatkan ASEAN untuk perluasan pasar bagi produk barang, jasa serta tenaga kerja mereka tanpa hambatan biaya cukai, dsb. Bisa dibayangkan, akan banyak corporate global yang menancapkan investasinya untuk menguasai SDA dan SDM Indonesia. Jelaslah, MEA adalah alat baru untuk menjajah negara-negara berkembang di bidang perekonomian.

Dampak MEA Bagi Masyarakat

Terhitung sejak 2003-2013, Penguasaan lahan oleh korporasi (dengan luas 5.000-30.000 Ha) mengalami pertumbuhan sebesar 24,57%. Hal ini berakibat makin hilangnya akses petani gurem dan kecil terhadap lahannya (luas lahan 0-5000) sebanyak 5.177.195.  Ketika MEA diberlakukan, maka para petani akan semakin termarginalkan karena kalah bersaing dengan korporasi besar. Tak pelak, angka kemiskinan kaum tani bahkan jumlah pengangguran pun semakin meningkat (Rahmi Hertanti, Indonesia For Global Justice).

Belum lagi imbas persaingan produk lokal dan impor. Dengan modal yang jauh lebih besar, dan penguasaan teknologi canggih plus keberpihakan negara, maka negara besar dapat memproduksi barang jauh lebih banyak, yang konsekuensinya dapat menghasilkan harga jual lebih rendah. Sementara masyarakat pada umumnya memilih membeli produk yang lebih murah meski impor,  sehingga lambat-laun pengusaha lokal pun akan banyak yang gulung tikar karena kalah saing.

Yang lebih berbahaya lagi adalah jika korporasi asing dapat masuk menguasai sektor-sektor vital negara karena kekuatan modal  yang besar, maka barang-barang kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas bumi, dan barang tambang lain, serta sumber mata air dan hutan akan menjadi milik mereka. Rakyat akan kehilangan haknya, sedangkan pemerintah tidak bisa mengintervensi. Peran negara sebagai pelayan rakyat semakin tereduksi, hanya berfungsi sebagai regulator saja.

Akhirnya, korporasi asing dapat menyetir penguasa. Dengan mempengaruhi perpolitikan suatu negara untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan perusahaan serta negara asalnya, walaupun itu harus mengorbankan jutaan rakyat lokal.

Negara Lalai dan Tak Mandiri

Kesepakatan negara-negara berkembang dalam MEA ini merupakan bentuk kelalaian dan ketidakmandirian negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara berkembang termasuk juga negeri-negeri muslim lainnya saat ini berada dalam hegemoni kapitalis, mereka rela membebek apapun program yang disodorkan oleh negara-negara kapitalis meski merugikan rakyatnya. Padahal mereka hanya diperalat untuk memuaskan kerakusan kapitalis dalam menjajah baik secara fisik maupun non fisik (melalui berbagai kebijakan-kebijakan skala global, regional maupun nasional).

Penjajahan negara-negara kapitalis ini merupakan jalan keluar bagi Barat untuk keluar dari krisis ekonomi yang tak kunjung surut bahkan semakin menuju titik kritis. Disamping sebagai solusi atas tingginya tingkat konsumsi masyarakat barat. Menurut Abdul Qadim Zallum bahwa tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang.

Konsep Ekonomi Islam Yang Menyejahterakan

Islam sebagai suatu ideologi/mabda’ yang berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui memiliki tata ekonomi dunia yang dapat menyejahterakan. Sistem ekonomi ini diterapkan oleh Institusi Pemerintahan Islam dalam bentuk Khilafah Islamiyah, yang memiliki karakteristik sebagai  junnah (pelindung) dan raa’in (pengatur).

Prinsip Khilafah dalam mengelola kehidupan publik:

1.  Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan pemenuhan hajat hidup publik.

2.  Anggaran mutlak untuk pengeluaran kemaslahatan publik dan fasilitas umum, yang ketiadaannya mengakibatkan kemudharatan

3.  Institusi pemerintah penyedia barang dan jasa hajat hidup publik adalah perpanjangan tangan negara.

4.  Negara tidak dibenarkan mengambil pemasukan dari fasilitas umum  seperti rumah sakit, sarana dan prasarana transportasi publik, termasuk jalan umum.

5.  Industri-industri barang publik berstatus milik umum wajib mengutamakan fungsi pelayanan dari pada fungsi bisnis.

6.  Tidak dibenarkan model kemitraan pemerintah swasta,KPS (Puclic Private Partnership, P3S).

7.  Kekuasaan bersifat sentralisasi, administrasi bersifat desentralisasi.

8.   Independent terhadap agenda politik hegemonik. Serta anti Penjajahan.

9.   Strategi  pelayanan mengacu pada tiga hal, yaitu : Kesederhanaan aturan; Kecepatan layanan; Dilakukan oleh individu yang kompeten dan capable.

10. Karakter penguasa, Kepemimpinan   (Syakhsyiyah mas’uliyah) : Taqwa,  Rafiq (lemah lembut),  hubungan  dilingkupi  ketulusan, tidak menyentuh sedikitpun harta kekayaan umum, memerintah dengan Islam

11. Hanya khilafah, bagian integral system kehidupan Islam.

Prinsip dasar perdagangan internasional Khilafah :

  1. Dalam perdagangan luar negeri (foreign trade), Negara Khilafah akan campur tangan untuk mencegah dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi lain, serta campur tangan terhadap para pelaku bisnis Kafir harbi danmu’ahid
  2. Dalam perjanjian perdagangan luar negerinya, Negara Khilafah membuat kesepakatan berdasarkan asas kewarganegaraan pedagang, bukan asas komoditas

Oleh karena itu, para pelaku bisnis yang keluar masuk wilayah Negara Khilafah, terbagi menjadi 3 kelompok dengan perlakuan berbeda : Warga Negara Khilafah (baik muslim maupun non muslim ahli-dzimmah), Orang-orang Kafir mu’ahid, Orang-orang Kafir harbi.

Kemampuan khilafah Islam dalam menerapkan sistem pemerintahan dan ekonomi seiring dengan pandangan Islam yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kapitalisme serta sistem demokrasi yang telah gagal menyejahterakan masyarakat dunia.

Sejarawan Will Durant menuturkan kebijakan perdagangan Khilafah Abbasiyyah di era Harun al-Rasyid “Di antara keistimewaan ekonomi yang dinikmati oleh wilayah Asia Barat (Timur Tengah) adalah adanya satu pemerintahan yang menguasai kawasan ini, di mana sebelumnya telah terbelah menjadi empat negara. Dampak dari kesatuan wilayah ini adalah hilangnya semua halangan tarif dan tax, serta halangan-halangan perdagangan yang lain di dalam negeri. Ini ditambah dengan fakta, bahwa bangsa Arab tidak seperti bangsawan Eropa yang selalu memalak pedagang dan memeras mereka. Aktivitas perdagangan ini terus berlanjut, dan berhasil menghembuskan kehidupan yang kuat di seluruh penjuru negeri hingga puncaknya pada abad ke-10. Di saat Eropa masih mengalami kemunduran hingga pada level terendah. Ketika perdagangan ini telah tiada, jejak-jejaknya masih tersisa dan tampak jelas dalam sejumlah bahasa Eropa, di mana sejumlah kosakata telah masuk di dalamnya. Seperti Tariff, Magazine, Cravan dan Bazaar.”

Masyarakat Dunia Butuh Khilafah

Atas dasar itu, tak ada alasan bagi seorang muslim melirik solusi selain sistem Islam untuk menjadi tatanan ekonomi dunia. Ketika ia menyatakan beriman pada Allah, sudah sepatutnya pula keimanan itu mengembalikan pemahamannya terhadap Islam sebagai ideologi (tatanan kehidupan) dengan pemahaman yang benar.

Sudah saatnya kaum muslimin mengembalikan penerapan Islam Ideologi dalam sistem Khilafah Islamiyah yang ditetapkan oleh nash syara’, bukan sistem demokrasi buatan manusia. Khilafah Islamiyah institusi Islam yang terbukti hampir 13 abad mampu mewujudkan tatanan kehidupan dunia yang menyejahterakan dan menghantarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Saatnya kembali kepada Islam dengan mengikuti toriqoh Rasulullah SAW dalam menegakkan khilafah Islamiyah dalam suatu pergerakan politik di seluruh dunia bersatu dengan satu tujuan yang sama. Wallahu a’lam (sumber)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories